Thursday, October 2, 2008

Negara Punya Mau, Rakyat Punya Mampu (The Story Inside Motivation and Capability)

Oleh: Iyung Pahan

Setiap pemimpin menginginkan rakyatnya sejahtera, aman dan sentosa. Namun dengan adanya kebijakan pimpinan yang kurang terukur dan adanya bencana (misal: tsunami, gempa bumi, banjir bandang, lumpur panas dan berbagai kecelakaan di darat, laut dan udara) dapat mengganggu semua yang dicita-citakan itu. Sebagai contoh, kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 dianggap sebagai pemicu meningkatnya jumlah penduduk miskin yang tadinya berjumlah 35,10 juta jiwa menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Secara berseloroh seorang Profesor mengatakan kebalikannya, bahwa kenaikan harga BBM terbukti berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin .... karena yang miskin akhirnya mati!
Selama negara Indonesia berdiri, berbagai program pengentasan kemiskinan sudah digulirkan, tetapi provinsi seperti NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara (Malut) dan Papua tidak ditemui banyak perubahan yang berarti. Berdasarkan analisis data tentang indikator kemiskinan yang didasarkan pada variabel ekonomi, pendidikan, ketengakerjaan, lingkungan dan kesehatan, kelima propinsi di atas masih dibawah rataan nasional untuk hal tertentu.
Untuk menciptkan kemandirian daerah yang diikuti dengan masyarakat yang sejahtera di era otonomi daerah dalam konteks globalisasi ekonomi dunia, pemerintah dapat melakukan berbagam macam metode pembangunan dan pendekatan, antara lain:

  1. Pembangunan infrastruktur untuk memacu pengembangan wilayah yang terisolir. Investasi infrastruktur seperti pembangunan jalan dan jembatan akan meningkatkan arus barang dan jasa ke daerah yang terisolir sehingga dapat segera menggairahkan kegiatan ekonomi setempat.
  2. Pengembangan jumlah dan mutu modal insani (human capital) melalui mekanisme pendidikan dan pelatihan.
  3. Regionalisasi pembangunan ekonomi dengan menerapkan konsep keunggulan komparatif untuk melakukan pembangunan berbasis kearifan lokal.
  4. Program pengentasan kemiskinan dengan memberikan akses terhadap pembiayaan dana murah seperti kredit usaha rakyat (KUR), dana revitalisasi perkebunan, pertanian dan peternakan.
  5. Pemekaran daerah dengan menggunakan konsep anggaran bergulir untuk mengembangkan suatu wilayah, sehingga sesudah melewati periode waktu tertentu, seluruh daerah telah mendapat infrastruktur baru berdasarkan payung hukum pemekaran daerah.

Tahapan yang diperlukan pemerintah dan dunia usaha untuk melakukan perbaikan maupun peningkatan kapasitas potensi untuk mengurangi kemiskinan secara nasional adalah hal yang telah berulang kali dilakukan oleh pemerintah tetapi belum berhasil sampai saat ini. Kegagalan sebagai akibat proses pengambilan keputusan yang salah terutama disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah mendeteksi masalah. Kegagalan selalu datang berulang karena akar permasalahannya tidak tersentuh sama sekali, atau adanya turbulensi yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan makro dan/atau mikro. Pengambilan keputusan pemerintah dan dunia usaha yang tidak efektif perlu diperbaiki dengan pendekatan strategik berbasis indikator ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, lingkungan dan kesehatan.

Strategi dibuat sesuai dengan kondisi pemerintah (organisasi) untuk mencapai tujuan indikator ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, lingkungan dan kesehatan, yaitu membuat hal apa yang dapat dilakukan dengan mengetahui kedudukan (internal dan eksternal), proyeksi potensi (internal), proyeksi permintaan (eksternal) dan persaingan (internal dan eksternal). Turbulensi lingkungan yang dihadapi organisasi kemudian dipilah-pilah dalam kerangka strategi sehingga menjadi informasi yang terstruktur dan mempertajam pisau analisis untuk membedah alternatif-alternatif yang tersedia menjadi suatu keputusan yang paling tepat.

Pendekatan strategik memberikan kesempatan untuk berpikir strategi, menyusun strategi, merealisasikan konsep strategi, dan implementasi operasional strategi. Berpikir strategi adalah merumuskan misi, visi dan strategi organisasi. Misi adalah apa yang ingin dicapai oleh suatu organisasi, visi adalah arah yang ditempuh untuk mencapai misi organisasi, dan strategi adalah penjabaran visi menjadi indikator-indikator yang merupakan batu-batu petunjuk jarak (milestone) dalam arah pencapaian visi organisasi.

Resep untuk keberhasilan penyusunan dan implementasi strategi adalah penyelarasan dan fokus. Strategi yang dibuat dan dipahami dengan baik, melalui penyesuaian dan koherensi sumber daya organisasi yang terbatas, dapat menghasilkan kinerja nonlinear yang hebat.

Pendekatan strategik adalah suatu perumusan, implementasi dan pengendalian untuk menyelesaikan tujuan yang diinginkan sesuai ruang lingkup, jangka panjang, dinamika dan sumberdaya yang memberikan dampak kebehasilan atau kegagalan pemerintah. Kelebihan pendekatan strategik adalah memberikan kerangka siap pakai (template) dalam memindai faktor lingkungan menjadi suatu kerangka yang terstruktur sehingga informasi yang didapat menjadi masukan yang sangat baik dalam mengambil keputusan yang tepat.

Strategi yang dibuat hanya akan efektif jika pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikannya. Banyak strategi yang gagal lebih karena implementasi yang buruk dari pada karena strategi itu menyimpang. Dalam kenyataan sebelumnya, pemerintah mungkin mengembangkan strategi yang tidak dapat diimplementasikan karena kurangnya kemampuan organisasi (organizational capability) dan kompetensi yang dibutuhkan untuk menerapkan strategi itu. Negara punya mau, rakyat punya mampu, kalau keduanya nggak bertemu, jangan salahkan kalau negeri ini masih le' toy.

Entropi Setelah Lebaran

Oleh: Iyung Pahan

Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2005, Jakarta akan menjadi kota nomor 8 terbanyak penduduknya di dunia (17,3 juta jiwa) yang disebabkan oleh arus migrasi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, sementara lingkungan tidak siap menerima beban tambahan penduduk. Daerah sumber arus migrasi bagi kawasan Jabodetabek adalah sbb.:

· Jawa Tengah = 457.017 jiwa
· Jawa Barat = 403.062 jiwa
· Sumatra = 199.455 jiwa
· Jawa Timur = 123.441 jiwa
· Banten = 61.747 jiwa
· Yogyakarta = 41.687 jiwa
· Sulawesi = 27.995 jiwa
· Bali dan Nusa Tenggara = 18.579 jiwa
· Kalimantan = 18.091 jiwa
· Total = 1.351.074 jiwa (7,81%)

Kawasan Jabodetabek menjadi tujuan utama dalam menarik penduduk migran karena kawasan ini merupakan pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat telekomunikasi, pusat keuangan (bank sentral), pusat industri, pusat perhubungan darat dan udara, serta pusat pelabuhan nasional. Delapan puluh persen uang di Indonesia beredar di Jakarta sehingga merupakan kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia (5,6% per tahun).

Dari analisis kondisi pendatang menurut latar belakang pendidikan dan lapangan kerja di Jabodetabek pada tahun 2006, terlihat bahwa Jakarta telah menjadi pusat jasa dan kawasan Bodetabek sarat dengan kegiatan industri yang membutuhkan tenaga kerja berketrampilan, di sisi lain sebagian besar pendatang di Jabodetabek berpendidikan rendah (tidak tamat SD/lulus SD) sehingga pilihan yang tersedia adalah sektor informal (pemulung, pekerja kasar dan pedagang kaki lima).

Motivasi para pendatang ke Jabodetabek disebabkan oleh faktor penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik bagi para pendatang adalah adanya peluang pemenuhan kebutuhan tenaga kerja karena tumbuhnya kawasan bisnis dan jasa, kondisi infrastruktur yang lebih baik, serta transportasi dan layanan publik yang kian membaik di Jabodetabek ketimbang daerah asalnya para pendatang. Faktor pendorong penduduk migran meninggalkan daerah asalnya untuk merantau ke Jabodetabek adalah karena terbatasnya peluang kerja di daerah, sementara mereka tetap harus makan untuk bertahan hidup. Untuk tingkat pendidikan yang sama, pendapatan penduduk di perdesaan ternyata lebih kecil dari di perkotaan. Hal ini memicu timbulnya usaha perbaikan nasib dengan melakukan urbanisasi ke ibukota Kabupaten, Propinsi dan Negara akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian, dan lebih tingginya pendapatan di kota. Walaupun mereka menyadari kondisi di Jabodetabek membutuhkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan tinggi, mereka tetap ke Jabodetabek karena peluang untuk bertahan hidup disana masih lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya.

Menurut kaidah termodinamika, energi akan mengalir dari sistem yang mempunyai derajat entropi lebih kecil ke sistem yang ber-entropi lebih besar sejalan dengan bertambah­nya waktu. Keragaman dapat dipostulatkan sebagai salah satu unsur energi. Arus migrasi penduduk dari daerah ke Jabodetabek merupakan contoh aliran energi dari daerah ber-entropi rendah (karena daerah relatif homogen) menuju Jabodetabek yang sangat heterogen (entropi tinggi) dan reaksi ini berlangsung spontan. Artinya bila keadaan tidak berubah (karena adanya gangguan sistem lain) aliran tersebut akan berjalan terus sampai mencapai suatu titik keseimbangan yang dinamis (homeostasis).

Aliran energi (dalam hal ini arus migrasi penduduk) berlangsung spontan dari daerah menuju Jabodetabek. Untuk mencegah aliran tersebut dan/atau membalikkan proses spontan tersebut, sistem pengelolaan pemerintahan di daerah (baca: pemerintah daerah asal pendatang) harus didukung oleh input energi (baca: Rupiah) berupa penciptaan lapangan kerja di daerah asal pendatang yang dijabarkan secara teknis dalam paket pembangunan agribisnis unggulan.

Pembangunan lima tahun di daerah asal pendatang dan di Jabodetabek harus dilakukan secara simultan dan saling melengkapi. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan pemerintah selama ini ternyata belum berhasil meningkatkan kesejahteraaan petani dan perkembangan desa. Salah satu faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan selama ini adalah terjadinya kecenderungan aliran bersih (transfer netto) sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran dengan disertai derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk secara berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar (terutama ke Jabodetabek).

Perpindahan ini memberikan dampak di berbagai kota utama berupa urbanisasi berlebihan (over-urbanization), sementara desa kehilangan tenaga-tenaga produktif yang seharusnya merupakan bagian dari mata rantai roda kehidupan dan roda ekonomi perdesaan. Proses urbanisasi yang tidak terkendali ini juga mengakibatkan turunnya produktivitas pertanian secara makro dan terjadinya proses pemiskinan secara sistematik di perdesaan, karena pendekatan pembangunan yang selama ini banyak mengakibatkan urban bias. Orientasi pembangunan industri di Jabodetabek juga menyebabkan perkembangan kota yang tidak teratur (urban sprawl) sehingga justru menimbulkan tekanan terhadap lingkungan seperti pembukaan lahan pemukiman yang tak terkendali, penggundulan hutan, pemukiman liar di ruang publik dan konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri. Sebaliknya, pembangunan pertanian di perdesaan berjalan sangat lamban karena kurangnya infrastruktur fisik, infrastruktur sosial, pendanaan komersial, dan modal insani (human capital) yang mumpuni. Pembangunan perdesaan menjadi tidak berkelanjutan sehingga banyak proyek pemerintah yang akhirnya sekedar menjadi monumen, terhenti setelah tidak ada pembiayaan lagi dari pemerintah, dan akhirnya pelan-pelan hancur dimakan zaman. Hal ini terjadi karena perencanaan pembangunan pertanian dan perdesaan tidak dilakukan dengan matang karena output total dan produktivitas per kapita yang tidak dapat memberi manfaat langsung, dan sistem usaha tani yang dijalankan masih tradisional dan kurang produktif karena keterbatasan lahan. Rata-rata luas lahan 0,1-0,5 ha/petani di Jawa jelas tidak mampu mencapai skala ekonomi. Insentif ekonomi yang diharapkan justru menjadi dis-insentif dengan praktek pungli yang merajalela, dan peningkatan produktivitas di sektor produksi justru habis disedot para pencari rente ekonomi dalam bentuk marjin tataniaga yang sangat mengeksploitasi petani.

Pemerintah di daerah asal tidak mungkin bisa mengembangkan industri seperti di Jabodetabek karena memerlukan investasi yang mahal sementara dana APBD tidak mencukupi, sehingga alternatif yang tersedia hanyalah melakukan pembangunan industri berbasis bahan baku produk pertanian (agroindustri) sesuai dengan keunggulan komparatif setempat. Keunggulan komparatif daerah harus dikembangkan sebesar-besarnya dengan menggunakan kendaraan agribisnis, karena hanya agribisnislah yang sanggup memberdayakan tenaga kerja dari sektor pertanian untuk masuk ke sektor (agro)industri dengan pelatihan ketrampilan yang seadanya. Membangun agribisnis di daerah asal pendatang berarti harus didukung oleh energi (baca: anggaran) yang lebih besar dari pada tingkatan energi pada periode sebelumnya. Sementara itu pemerintah pusat (Jabodetabek) harus melakukan pengetatan manajemen kependudukan berupa kebijakan daerah Jabodetabek yang semi tertutup bagi pendatang dengan persyaratan pendidikan dan ketrampilan serta adanya penjamin yang merupakan penduduk resmi Jabodetabek.

Pembangunan kawasan Jabodetabek dan pengembangan kawasan baru di daerah sebaiknya dilakukan dengan pendekatan klaster ekonomi. Kawasan Jakarta diposisikan sebagai klaster jasa, kawasan bodetabek sebagai klaster industri, kawasan jawa (pantura) sebagai klaster tanaman pangan, sumatra dan kalimantan sebagai klaster tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet), Indonesia Timur sebagai klaster tanaman bioenergi (jarak pagar) dan tanaman pangan (terutama Papua).

Untuk melaksanakan pengembangan kawasan baru, baik di Jabodetabek maupun di daerah asal penduduk migran, dibutuhkan pendekatan pengelolaan perubahan dalam organisasi pemerintah. Proses perubahan dalam organisasi pemerintah yang terencana akan memudahkan peninjauan dan identifikasi kontinu mengenai masalah-masalah yang perlu diperhatikan, sebagai bagian integral dari kebudayaan organisasi dari suatu penanganan manajerial. Pelaksanaan dapat dilakukan dengan delapan langkah tindakan perubahan yang dilakukan secperubahan ara berurutan dengan hasil akhir berupa perubahan yang permanen dalam budaya pemerintah yang tercermin dalam kebiasaan orang-orang di dalam pemerintahan. Delapan langkah tersebut adalah:

  1. Memahami dan menerima alasan kenapa pemerintah harus berubah
  2. Membentuk sebuah tim untuk melakukan perubahan (pilot proyek klaster ekonomi di suatu wilayah).
  3. Membuat visi organisasi (pemerintah) yang baru (terkait dengan klaster ekonomi).
  4. Mengkomunikasikan visi tersebut kepada seluruh organisasi (jajaran di suku dinas).
  5. Memberikan kekuasaan kepada orang-orang untuk melaksanakan perubahan (pilot proyek).
    – Setelah butir 4 dilaksanakan dengan memuaskan.
    – Ada persetujuan dari kepala daerah.
    – Buat perubahan melalui rencana tindakan: Apa, Siapa, Kapan, Dimana, Bagaimana, Mengapa.
  6. Buat laporan kemajuan perubahan dari pilot proyek (1-3 bulan) melalui master calendar dan milestone chart. Ciptakan “kemenangan-kemenangan kecil.”
  7. Konsolidasi dan lembagakan hasil tersebut melalui orang, proses, dan sistem. Setelah pilot proyek berhasil, terapkan perubahan tersebut pada keseluruhan organisasi.
  8. Membuat perubahan tersebut menjadi perubahan yang permanen melalui budaya organisasi sehingga menjadi kebiasaan bagi semua orang di dalam organisasi pemerintahan.

Sunday, September 28, 2008

Geliat Pasar Tradisional Melawan Fenomena Pasar Modern

Oleh: Iyung Pahan

Maraknya pembangunan pasar modern seperti hypermarket dan supermarket telah menyudutkan pasar tradisional di kawasan perkotaan, karena menggunakan konsep penjualan produk yang lebih lengkap dan dikelola lebih profesional. Kemunculan pasar modern di Indonesia berawal dari pusat perbelanjaan modern Sarinah di Jakarta pada tahun 1966 dan selanjutnya diikuti pasar-pasar modern lain (1973 dimulai dari Sarinah Jaya, Gelael dan Hero; 1996 munculnya hypermarket Alfa, Super, Goro dan Makro; 1997 dimulai peritel asing besar seperti Carrefour dan Continent; 1998 munculnya minimarket secara besar-besaran oleh Alfamart dan Indomaret; 2000-an liberalisasi perdagangan besar kepada pemodal asing), serta melibatkan pihak swasta lokal maupun asing. Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat dan dikuasai oleh satu manajemen tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat kebijakan penanaman modal asing.

Dampak dari hal yang dikemukakan, menurut survei AC Nielsen pada tahun 2004 didapatkan data bahwa pertumbuhan pasar modern 31,4% dan pasar tradisional bahkan minus 8,1%. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang dihadapi pasar tradisional sebagai wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi skala menengah kecil, yaitu:


  • Jumlah pedagangnya terus meningkat.
  • Kesadarannya rendah terhadap kedisiplinan, kebersihan dan ketertiban.
  • Pemahamannya rendah terhadap perilaku konsumen.
  • Visi dan misi pengelola pasar tidak jelas.
  • Pengelola pasar belum berfungsi dan bertugas secara efektif.
  • Standard operating procedures (SOP)-nya tidak jelas.
  • Manajemen keuangannya tidak akuntabel dan tidak transparan.
  • Kurang perhatian terhadap pemeliharaan sarana fisik (becek, bau dan kotor).
  • Pedagang kaki lima yang tidak tertib karena mendapatkan tempat yang tidak layak.
  • Adanya premanisme.
  • Tidak ada pengawasan terhadap barang yang dijual, serta standarisasi ukuran dan timbangan.
  • Masalah fasilitas umum.
  • Penataan los/kios/lapak yang tidak beraturan.

Namun demikian, pemerintah tetap berupaya membangun pasar tradisional di seluruh daerah dan juga hasil survei AC Nielsen, 29% konsumen tetap mengunjungi pasar tradisional dengan alasan harga lebih murah, harga dapat ditawar, banyak pilihan makanan dan produk segar, lokasi dekat dengan rumah, menyediakan segala yang diperlukan dan lainnya.

Dari ilustrasi (fakta dan data) yang dikemukan, banyak hal yang sebenarnya membuat pasar tradisional mulai kehilangan tempat di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Perilaku konsumen semakin demanding karena konsumen kian memahami haknya, sedangkan di sisi lain mereka hanya memiliki waktu dan kesempatan yang semakin terbatas untuk berbelanja. Perubahan perilaku konsumen yang cenderung demanding menyebabkan mereka beralih ke pasar modern. Pasar-pasar modern dikemas dalam tata ruang yang apik, terang, lapang, dan sejuk. Pengalaman berbelanja tidak lagi disuguhi dengan suasana yang kotor, panas, sumpek, dan becek. Konsumen kian senang menjadi raja yang dimanja.

Pasar tradisional beroperasi dalam jam yang terbatas, umumnya hanya beroperasi pada pagi hari dan tidak buka sampai sore atau malam hari. Para wanita yang bekerja biasanya memanfaatkan waktu istirahat makan siang untuk sekaligus berbelanja kebutuhan keluarga di pasar modern yang dekat dengan lokasi kerjanya. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan semakin meningkat, kurang dapat ditangkap oleh pengelola pasar tradisional yang tidak begitu memerhatikan kebersihan pasar dan fasilitas pasar. Kehadiran pasar-pasar modern membuat belanja menjadi suatu wisata keluarga yang memberikan pengalaman tersendiri.

Tahapan yang diperlukan oleh pasar tradisional untuk meningkatkan daya saing usahanya maupun bertahan (menghindar dari kematian) dalam kompetisi bisnis ritel menurut analisis masa depan terhadap organisasinya dalam memunculkan kegiatan ekonomi yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah (praktik dan strategik) adalah kemampuan daya tanggap, kelincahan, kemampuan belajar, kompetensi modal insani (human capital) dan kreativitas operator pasar tradisional sebagai bagian dari keunggulan organisasi belum menghasilkan kapasitas, fleksibilitas dan keragaman yang luas. Sebagai akibatnya pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, becek serta bau, dan karenanya hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah.

Pembangunan pasar tradisional pada tempat-tempat khusus yang nyaman seperti pasar tradisional kompleks perumahan BSD yang terintegrasi dengan melibatkan pengembang sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaannya (CSR), terbukti berhasil meningkatkan status pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat luas yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah. Pasar tradisional BSD terbukti dapat hidup dan berkembang pesat karena ramai dikunjungi seluruh lapisan masyarakat, yang tidak hanya dari BSD tetapi juga dari daerah sekitarnya seperti Bintaro dan Pondok Indah.

Kebijakan pemerintah (Keppres, Kepmen) yang berkaitan dengan pasar modern dan konsep manajemen kewirausahaan dalam memperbaiki pasar tradisional harus dilakukan dengan meningkatkan keunggulan pasar tradisional sehingga menghasilkan kapasitas, fleksibilitas dan keragaman yang luas sehingga membuat pasar tradisional menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat luas yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah.

Membiarkan pasar tradisional apa adanya dan meminta pemerintah menghambat pengembangan pasar modern tidak akan membantu pasar tradisional untuk bertahan hidup. Masyarakat selaku konsumen semakin menuntut kenyamanan, dan jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi pasar tradisional, maka secara otomatis mereka akan beralih ke pasar modern. Lonceng kematian pasar tradisional telah berdentang, dan pengunjung setia yang terakhir akan meninggalkan pasar tradisional ketika pasar tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhannya lagi. Keberadaan pasar tradisional tidak dapat diatur atau dilindungi oleh peraturan pemerintah setingkat apapun. Pasar tradisional hanya dapat dipertahankan jika mereka disediakan tempat khusus yang nyaman dan disediakan oleh pemerintah. Atas alasan itu pula, pasar modern tidak dapat dipersalahkan.

Pemerintah kurang melakukan pemberdayaan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi yang masih dibutuhkan oleh masyarakat luas, dan agak lambat menerapkan teknologi yang efektif dan metode baru untuk mengubah pasar tradisional menjadi pasar yang bersih dan nyaman bagi pengunjung tanpa membebani pedagang dengan biaya renovasi kios yang cenderung mahal.

Visi pemerintah dalam konteks logik, sistemik, lateral dan shared vision telah dicoba untuk dilaksanakan dengan revisi perda No. 6/1992 tentang pengelolaan pasar, dan perda No. 12/1999 tentang PD. Pasar Jaya, dimana operator memiliki kesempatan lebih besar untuk membangun fasilitas tambahan di pasar. Berdasarkan kedua perda tersebut, PD. Pasar Jaya (sebagai perpanjangan tangan pemerintah) dapat membangun fasilitas tambahan seperti kantor dan apartemen di atas pasar tradisional setelah mendapat persetujuan Dewan Kota. Pembangunan fasilitas tambahan akan mensubsidi harga renovasi kios bagi pedagang, sehingga renovasi pasar dapat dilakukan tanpa pembebanan biaya tambahan bagi pedagang yang sangat elastis terhadap kenaikan harga kios. Penterjemahan visi pemerintah dalam content teknologi, produk dan jasa, strategi dan struktur, serta budaya organisasi dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing usaha dan mempertahankan eksistensi pasar tradisional dalam lingkungan bisnis ritel di masa depan.

Meskipun informasi tentang gaya hidup modern dengan mudah diperoleh, masyarakat tampaknya masih memiliki budaya untuk tetap berkunjung dan berbelanja ke pasar tradisional. Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara pasar tradisional dan pasar modern. Perbedaannya adalah masih adanya proses tawar-menawar harga di pasar tradisional, sedangkan di pasar modern harga kondisinya sudah “kaku” dengan label harga. Dalam proses tawar-menawar terjalin kedekatan personal dan emosional antara penjual dan pembeli yang tidak mungkin didapatkan ketika berbelanja di pasar modern. Romantisme masa lalu ini masih dan mendapat tempat dalam budaya tradisional yang mempertahankan eksistensi pasar tradisional. Hal ini sejalan dengan hasil survei AC Nielsen yang masih menempatkan 29% konsumen sebagai konsumen fanatik pasar tradisional dengan berbagai alasan. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" dan telah menjadi bagian dari nilai budaya tradisional antara lain adalah pasar Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, dan pasar Johar di Semarang.

Dengan menempatkan rumusan efektivitas diatas efisiensi, ketika lonceng kematian pasar tradisional telah berdentang dan pengunjung setia yang terakhir telah meninggalkan pasar tradisional yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, sebesar apapun romantisme yang merepresentasikan nilai-nilai budaya tradisional, pasar tradisional akan tinggal kenangan dan menjadi ikon penghias musium peradaban masa lalu bangsa ini. Pasar tradisional yang tidak mampu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (zaman), jelas bukan tipe organisasi masa depan yang dapat selalu menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan. Untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional, dibutuhkan intervensi seluruh pemangku kepentingan untuk merubah organisasi pasar tradisional saat ini menjadi organisasi masa depan yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang selalu berubah. Semoga.

Ojek

Oleh: Iyung Pahan

Ojek sudah menjadi fenomena transportasi di Indonesia, khususnya muncul sebagai akibat kekosongan sarana transportasi dari penghapusan becak di beberapa daerah tertentu maupun akibat keterbatasan angkutan umum dan telah dianggap sebagai suatu sarana berbasis komunitas pascakrisis moneter, serta sarana bagi sebagian warga kota untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, sudah saatnya ojek diatur agar tidak menimbulkan masalah dan dapat dikendalikan melalui suatu payung hukum, terutama dalam pengkoordinasian yang terkait dengan perilaku berlalu lintas dan izin trayek, serta organisasi di kalangan pengojek.

Perkembangan ojek secara keseluruhan yang marak diberbagai penjuru tanah air pada akhir-akhir ini tidak lepas dari penjualan sepeda motor selama 5 tahun terakhir (2001-2005) yang rataan pertumbuhannya mencapai 37,37% dengan rincian sbb.:

  • 2001 = 1.650.770 unit (68,55%).
  • 2002 = 2.317.991 unit (40,42%)
  • 2003 = 2.823.702 unit (21,82%)
  • 2004 = 3.900.518 unit (38,13%)
  • 2005 = 4.600.000 unit (17,93%)
  • Rataan = (37,37%)

Kondisi lainnya dikarenakan faktor ketenagakerjaan yang terlalu kaku yang telah menimbulkan pengangguran penuh di atas 10 juta jiwa dan kemiskinan yang melilit sebagian besar penduduk akibat ekonomi yang tidak kunjung usai.

Hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah secara umum dan khususnya pemerintah daerah beserta instansi terkait (misal, Dinas Perhubungan, Kepolisian Daerah, Real Estate dan Asosiasi) dalam mengatur keberadaan ojek agar menghindari atau mengurangi terjadinya konflik yang tidak diinginkan dalam rangka pengembangan sarana transportasi berbasis komunitas dan upaya kegiatan mencari nafkah (kegiatan usaha informal dan penyerapan tenaga kerja masyarakat).

Jika ada masalah tikus di lumbung padi, solusinya adalah mengendalikan tikus-tikus tersebut tanpa membakar lumbungnya. Demikian juga dengan masalah ojek, jika ada ekses negatifnya, maka ekses negatif tersebut harus diselesaikan tanpa melarang praktik perojekan di daerah tersebut. Nilai ekonomi bisnis ojek sangat besar ditinjau dari penyerapannya terhadap peningkatan penjualan sepeda motor nasional, selain nilai sosialnya sebagai bisnis informal yang menjadi kantong penyerap pengangguran penuh sehingga mampu menjadi bantal kerusuhan sosial akibat menciutnya kesempatan kerja di sektor formal. Melarang praktik perojekan karena adanya beberapa ekses negatif akan menimbulkan kerugian besar baik secara makro maupun mikro.

Bisnis perojekan adalah bisnis yang tumbuh secara swadaya karena bertemunya faktor permintaan dan penawaran secara bebas. Permintaan yang tercipta karena kosongnya suatu ceruk pasar akibat keterbatasan angkutan umum dan penghapusan becak bertemu dengan penawaran yang tercipta karena tumbuhnya sektor informal akibat menciutnya kesempatan kerja di sektor formal pascakrisis moneter 1998. Bisnis perojekan adalah bisnis yang muncul secara swadaya masyarakat karena bertemunya berbagai kepentingan pada sisi penawaran dan permintaan. Karena dampaknya yang sangat besar terhadap pertumbuhan bisnis otomotif nasional (sepeda motor) selama 5 tahun terakhir dan besarnya fungsi jaring pengaman sosial yang melekat pada praktik perojekan, maka bisnis ini harus dilestarikan dengan perbaikan disana-sini untuk meminimumkan konflik yang terjadi di lapangan.

Harapan yang diinginkan adalah bisnis perojekan menjadi bisnis berbasis komunitas yang aman bagi pelaku bisnis maupun konsumennya. Akibat tidak berimbangnya faktor permintaan (jumlah konsumen ojek yang terbatas) dengan faktor penawaran (jumlah penarik ojek yang banyak), maka penarik ojek memiliki kecenderungan untuk saling berebut konsumen dan setengah memaksakan tarif yang mahal. Dalam kondisi tertentu, terjadi persaingan antara angkutan umum dengan ojek. Beberapa organisasi atau paguyuban penarik ojek menjalankan pendekatan premanisme dengan membentuk teritorial tertentu sebagai daerah operasi yang terlarang bagi angkutan umum, utamanya di daerah kompleks perumahan. Situasi ini menciptakan konflik antara penarik ojek dengan sopir angkutan umum, yang berdampak pada ketidaknyamanan dan biaya tinggi bagi konsumen.

Untuk mengatasi hal-hal ini diperlukan teknik-teknik penanganan konflik untuk menghasilkan resolusi konflik sehingga bisnis perojekan dapat dijalankan dengan dampak negatif yang sesedikit mungkin. Penyelesaian atau resolusi konflik perojekan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau teknik. Strategi yang paling sederhana adalah fokus pada pendekatan yang berbeda baik berupa kerjasama atau kompetisi, tetapi secara umum dapat dikelompokkan paling tidak dalam 3 tipologi yang berbeda seperti penekanan dan dominansi, kompromi, dan pemecahan masalah secara integratif.

Strategi penekanan dan dominansi adalah menekan konflik dan memaksanya “lenyap” ke bawah permukaan dengan menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Penekanan dan dominansi dapat dilakukan dengan: (1) Menghindari (avoiding) pengambilan posisi tertentu atau berpura-pura menganggap tidak ada konflik, (2) Meredakan (smoothing) konflik secara diplomatis dengan meminimumkan ketidaksesuain paham serta membujuk salah satu pihak untuk mengalah, (3) Memaksakan (forcing) dengan menggunakan kekuasaan struktural dan menolak seluruh argumentasi yang diajukan, (4) Melakukan penyelesaian melalui suara terbanyak (majority rule).

Kompromi dilakukan untuk meyakinkan pihak yang bersengketa guna mengorbankan sasaran-sasaran tertentu demi meraih sasaran-sasaran lain. Kompromi adalah metode resolusi konflik yang lemah karena selalu berusaha mengakomodir kepentingan seluruh pihak, sehingga sering kali akar perselisihan kepentingannya tidak disinggung sama sekali. Kompromi dapat terwujud dengan melakukan: (1) Pemisahan (separation) dimana pihak yang berkonflik dipisahkan satu sama lain sampai mencapai suatu solusi, (2) Arbitrase (arbitration) dimana pihak yang bekonflik menyerahkan solusi kepada penilaian pihak ketiga, (3) Penyelesaian alamiah karena faktor kebetulan (settling by chance) atau kejadian acak (random event), (4) Penyelesaian menurut peraturan-peraturan yang berlaku (resort to rules), dimana para pihak yang berkonflik tidak mencapai titik temu akhirnya setuju mengikuti peraturan-peraturan yang ada (go by the book), dan (5) Tindakan menyogok (bribing), dimana salah satu pihak yang bekonflik menerima imbalan tertentu untuk mengakhiri koflik yang belangsung.

Penyelesaian konflik secara integratif merubah konflik antarkelompok menjadi situasi pemecahan masalah bersama dengan bantuan teknik pemecahan masalah (problem solving). Pemecahan masalah secara integratif dilakukan dengan merubah konflik menjadi sebuah situasi pemecahan masalah dengan teknik konsensus, konfrontasi dan penggunaan tujuan-tujuan superordinat. Dengan teknik konsensus, pihak yang berkonflik dipertemukan guna mencapai solusi terbaik sehingga tidak ada satu pihakpun yang dikorbankan. Pada metode konfrontasi, asosiasi penarik ojek dan asosiasi pengemudi angkutan umum menyatakan pandangan masing-masing secara langsung dan terbuka kepada masing-masing pihak guna mencapai solusi rasional yang memaksimumkan pencapaian target masing-masing dan saling menguntungkan. Penetapan tujuan-tujuan superordinat merupakan metode penyelesaian konflik dengan mengalihkan perhatian para pihak yang bertikai dari konflik yang ada ke tujuan-tujuan superordinat. Sejenak mereka akan melupakan konflik yang ada dan terbius dengan tujuan-tujuan superordinat. Meskipun penyelesaian konflik secara integratif merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam praktiknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan konflik.

Dari keseluruhan teknik penyelesaian konflik yang ada, hanya strategi konfrontasi yang dapat dianggap sebagai pendekatan resolusi konflik karena memberikan kesempatan untuk berbeda pendapat dan kemudian menghilangkannya melalui pemecahan masalah yang kreatif. Keberhasilan metode konfrontasi antara lain disebabkan oleh: (1) Para pihak yang berkonflik setuju untuk memecahkan masalah sebagai sasaran utamanya, (2) Mereka membuat komitmen kepada diri sendiri untuk selalu mengambil posisi yang luwes ketimbang posisi yang kaku, (3) Para pihak mampu menjelaskan kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing, (4) Kemampuan memahami kebutuhan orang lain (dan dirinya sendiri) untuk menyelamatkan muka masing-masing, (5) Sikap apa adanya dan tidak menyembunyikan informasi-informasi penting, (6) Kemampuan mengendalikan emosi diri dan mencegah penggunaan kata “ya-tapi,” (7) Kemauan untuk memahami sudut pandang, kebutuhan dan sasaran pihak lain, (9) Kepiawaian mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi, menggali pemahaman dan dukungan lebih lanjut, (10) Kemampuan meyakinkan pada pihak yang memiliki kepentingan berbeda untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan (11) Kemampuan menghargai pihak lain ketika konflik telah selesai.

Keberhasilan dalam bernegosiasi menciptakan komunikasi terbuka, kemampuan mengenali kebutuhan dan kecemasan masing-masing pihak serta merespon kebutuhan tersebut secara timbal balik. Kondisi ini membawa pada jalan kompromi yang akhirnya bermuara menjadi konfrontasi yang menyelesaikan konflik secara integratif.

Pencarian Kebenaran: Sebuah Tinjauan Teoritis


Oleh: Iyung Pahan

Kebenaran (truth) adalah kesesuaian dengan fakta atau kenyataan. Kebenaran adalah suatu pernyataan yang sudah terbukti atau dipertimbangkan sebagai kenyataan agung yang memiliki makna tertinggi dan nilai eksistensi (The Free Web Dictionary, 2008). Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan itu tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah (Russell, 2006).

Menurut Wahyudi (2004), kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akalbudi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya (Wahyudi, 2004).


Menurut teori kebenaran metafisis/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas obyek. Kebenaran merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, serta didapat dari sesuatu itu sendiri. Menurut Deutsch (1979), kita memperolehnya melalui intensionalitas, dan tidak mendapatkannya dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu (misal: kesesuaian antara pernyataan dengan fakta). Kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, dan pernyataan tersebut benar kalau memang yang dinyatakan itu sungguh ada.

Banyak para ahli yang memaparkan ide tentang perspektif kebenaran termasuk bagaimana membuktikannya. Tulisan ini mencoba membahas masalah hakekat kebenaran dari perspektif kebenaran filsafat, kebenaran ilmiah, dan kebenaran non-ilmiah.

Kebenaran Filsafat

Menurut Julian Baggini terdapat dua aliran tentang kebenaran yang hampir merupakan paradoks dalam melihat kebenaran (Trian, 2005). Pertama, kebenaran realis yang menegaskan bahwa kebenaran itu ada, terlepas apakah kita mengetahuinya atau tidak. Kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Yang kedua, kebenaran nonrealis (hanya karena berlawanan dari realis) yang berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana, dimana kebenaran tidak pernah berada “di luar sana” (“the truth is out there”), dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat, individu ataupun budaya.

Kedua aliran kebenaran tersebut yang menyusun postulat dasar dalam menilai sesuatu, antara yang seharusnya dan yang terjadi, antara idealisme dan kenyataan, antara das solen dan das sein. Seperti dua garis sejajar, eksistensi keduanya jarang (untuk tidak dikatakan tidak pernah) bertemu dalam satu titik sederhana. Ini artinya, kebenaran dalam pandangan gradasi eksistensi adalah sebuah realitas yang memberikan penampakan multiplisitas (bermacam-macam). Antara kebenaran dan ketidakbenaran dalam kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan begitu saja karena adanya gradasi. Semakin sedikit esensi yang dikandung, semakin tinggi pula tingkat gradasinya.

Batasan antara kebenaran dan ketidakbenaran tak akan pernah selesai dibahas manusia sekalipun kita mengenal gradasi eksistensi. Karena ketidakmampuan memisahkan kebenaran dan ketidakbenaran secara tegas, manusia yang hidup di dunia fana tak pernah mencapai pemahaman akan kebenaran sejati. Kebenaran yang dicari manusia merupakan suatu kebenaran yang adalah benar (truth is true) dan bukan kebenaran yang tak pernah benar (truth never true). Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak (relatif) dan tidak ada kebenaran yang universal karena nalar manusia tidak memiliki kemampuan untuk menggapai kebenaran (Wilujeng dan Hadi, 2006).

Kebenaran itu dapat bersifat relatif maupun mutlak. Kebenaran relatif merupakan pernyataan yang mengandung kebenaran berdasarkan suatu standar atau kebudayaan tertentu, tapi menjadi suatu hal yang salah di standar/budaya lainnya. Sementara kebenaran mutlak merupakan kebenaran yang berlaku sama di manapun mereka berada.

Kebenaran filsafat diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa mashab. Dalam praktiknya, ada dualisme mashab yang mengakui beberapa kebenaran sekaligus, misalnya mengakui kebenaran realisme dan naturalisme (Wahono, 2008).




  • Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.


  • Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.


  • Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat, pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.


  • Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas kekuatannya sendiri. Filosofi resmi dari ajaran komunisme.


  • Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman sebagai pernyataan pikiran.


  • Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.

Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran yang mutlak, karena ia terus berkembang dengan semakin majunya kemampuan yang dimiliki manusia. Pada zaman Yunani Kuno, Aristoteles menyatakan bumi adalah pusat tata surya dan ide tersebut dianggap sebagai kebenaran ilmiah pada saat itu. Pada abad ke-16, ilmuwan Polandia bernama Nicolaus Copernicus menyatakan matahari adalah pusat tata surya, dan hal ini terbukti sampai saat ini merupakan kebenaran yang baru. Nilai kebenaran sains memang relatif, tergantung bukti-bukti dan argumentasi fisis yang jadi landasannya. Selama belum ada bukti yang menggugurkan suatu teori sains, maka teori itulah yang dianggap benar (Jamaluddin, 2007).

Pintu gerbang kebenaran ilmiah tertinggi dikaji secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah melalui kajian epistemologi, ontologi, dan aksiologi (Suriasumatri, 1982). Epistemologi adalah suatu teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan. Epistemologi adalah pemanfaatan prosedur kerja untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan metode ilmiah. Ontologi adalah apa yang ingin diketahui mencakup lingkup batas jati diri (being) dan keberadaan eksistensi penelaahan obyek (sasaran) keilmuan dan penafsiran tentang hakekat kenyataan yang khas serta perubahan dari objek keilmuan. Aksiologi adalah nilai tujuan pemanfaatan dan penggunaan pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebutuhan hidup manusia.

Pencarian kebenaran secara epistemologi menformulasikan kepercayaan sebelum adanya fakta dalam domain agama dan tahyul. Epistemologi di dalam agama Islam memiliki beberapa macam antara lain: (a) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan didalam al-Qur’an, (b) penginderaan (sensation), (c) tafaqquh (perception, concept), (d) penalaran (reasoning). Epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah, sehingga berhasil atau tidaknya setiap usaha manusia, tergantung kepada iradat Allah. Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subyek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka di satu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain pihak, epistemologi Islam juga berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Di sini manusia berfungsi subyek yang mencari kebenaran. Manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan sekaligus memberi interpretasinya. Dalam Islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan (Niriah, 2008).

Ada beberapa perbedaan antara Filsafat Pengetahuan Islam (Epistemologi Islam) dengan epistemologi pada umumnya. Pada garis besarnya, perbedaan itu terletak pada masalah yang bersangkutan dengan sumber pengetahuan dalam Islam, yakni wahyu dan ilham. Sedangkan masalah kebenaran epistemologi pada umumnya menganggap kebenaran hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Epistemologi Islam membicarakan pandangan para pemikir Islam tentang pengetahuan, dimana manusia tidak lain hanya sebagai khalifah Allah di muka bumi,yaitu sebagai makhluk pencari kebenaran. Manusia tergantung kepada Allah sebagai pemberi kebenaran.

Kepercayaan yang timbul setelah adanya fakta merupakan dasar dari sains dan filsafat ilmu postivisme logis yang dikemukakan oleh August Comte (1798-1857). Menurut Comte, bahan pengalaman inderawi harus dipertimbangkan oleh akal. Akal kemudian mengatur dan mensistimatisasi pengalaman secara logis sehingga terbentuklah pengetahuan. Metode positivisme logis berpangkal dari gejala faktual yang positif dan menafikan berbagai persoalan di luar fakta seperti metafisika dan agama. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan, positivisme terbatas pada gejala-gejala empiris saja.

Pada masa perkembangan awal positivisme logis (positivist logics), para tokoh yang dikenal sebagai “Lingkaran Wina” (Moritz Schlick dan Rudolf Carnap) mengemukakan bahwa teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences) ditetapkan melalui ‘verifikasi’ (misalnya pernyataan “tembaga menghasilkan daya listrik” adalah terbukti benar dan tidak terbantahkan lagi). Teori verifikasi ini amat berpengaruh di dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk di Indonesia. Tetapi sejak 1935 Karl Popper melalui bukunya The Logic of Scientific Discovery (Logik der Forschung) mengemukakan bahwa aturan-aturan untuk menetapkan hipotesis baru dan teori baru tidak ditentukan oleh konfirmasi positif, koroborasi dalam percobaan dan pengalaman ataupun oleh verifikasi. Banyak pernyataan (misalnya “semua tembaga di dalam alam semesta ini menghasilkan daya listrik”) tidak bisa diverifikasi karena tidak mungkin dilakukan. Bukan verifikasi yang menentukan melainkan ‘falsifikasi’ dan prinsip yang mengikutinya kemudian disebut prinsip ‘falsifiabilitas.’ Penemuan angsa-angsa berwarna hitam di Australia langsung memperlihatkan kebersalahan proposisi yang tadinya dianggap berlaku universal yaitu “semua angsa berwarna putih.” Dari pengamatan induktif yang menemukan bahwa ada angsa hitam, dapat dideduksikan secara umum juga bahwa “Ada angsa-angsa yang tidak putih.” Penemuan angsa hitam membuktikan kesalahan proposisi “semua angsa berwarna putih.” Tetapi daripada memfrustrasikan diri, hal ini justru dapat dilihat positif. Teori ilmiah yang baik adalah teori ilmiah yang dapat dibuktikan salah, sedangkan teori ilmiah yang tidak baik adalah teori ilmiah yang tidak dapat dibuktikan salah. Maka Popper sangat mengecam klaim-klaim beberapa teori besar yang memberi kesan tidak memberi tempat pada kemungkinan dirinya dapat salah, seperti teori negara dan masyarakat yang bersumber dari Plato, psiko-analisis dari Freud dan teori sosial dari Marx.

Teori Popper tidak mendapat sambutan yang sama seperti sambutan terhadap verifikasi. Namun sementara itu muncullah pertanyaan-pertanyaan apakah perkembangan ilmu atau lebih baik, sains, ditentukan oleh logika, entah logika yang mengarah pada verifikasi maupun logika yang mengarah pada falsifikasi? Atau adakah faktor-faktor lainnya yang ikut menentukan, bahkan lebih menentukan daripada logika dari ilmu itu sendiri? Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora sudah lama disadari bahwa faktor-faktor sejarah, komunitas ilmiah, dan orangnya (subyek yang meneliti) merupakan faktor-faktor yang amat menentukan. Tidak ada epistemologi pengetahuan yang dapat dilakukan tanpa menggabungkan teori pengetahuan, sejarah pengetahuan dan sosiologi pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam (“the natural sciences”) yang di Indonesia biasanya disebut “sains,” tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh penelitian terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Hipotesis baru dan teori baru tidak muncul oleh karena prinsip verifiabilitas maupun falsifiabilitas, melainkan oleh karena sebuah paradigma yang lama digantikan oleh sebuah paradigma yang baru. Jadi terjadi sebuah perubahan paradigma. Pemahaman tentang perubahan paradigma di dalam sains ini dikemukakan oleh Thomas Kuhn dari Amerika Serikat sejak tahun 1950-an. Menjelang tahun 60-an ia menerima permintaan dari International Encyclopedia of Unified Science untuk menulis rubrik mengenai sejarah ilmu, dan pada tahun 1962 rubrik itu diterbitkan sebagai sebuah buku yang secara khusus membicarakan paradigma ilmu dan ilmu normal. Buku ini segera menggoncangkan dunia ilmu pengetahuan alam, dan barangkali karena sifatnya yang kontroversial, maka pengikutnyapun tidak banyak. Dapat dikatakan bahwa komunitas sains umumnya tetap mengacu pada teori verifikasi, sebagian mengacu pada falsifikasi, namun sebagian besar mengabaikan saja teori perubahan paradigma dari Kuhn.

Menurut Kuhn, filsafat ilmu sebaiknya berguru pada sejarah ilmu yang baru. Katanya, Popper yang sudah disebut di atas, membalikkan kenyataan dengan terlebih dulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul upaya falsifikasi. Padahal perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Kemajuan ilmiah adalah bersifat revolusioner, dan tidak seperti anggapan sebelumnya, yaitu bersifat kumulatif (baca: evolusioner). Mengapa tidak disadari bahwa kemajuan itu bersifat revolusioner? Oleh karena hanya terasa revolusioner bagi mereka yang terkena dampaknya, atau lebih baik, mereka yang paradigmanya terkena dampak dari perubahan revolusioner ini. “Paradigma” menjadi konsep sentral dalam pemikiran Kuhn. Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh sebuah paradigma tunggal. Tetapi salah satu masalah dalam tesis Kuhn adalah pemahaman mengenai pengertian paradigma itu sendiri, yang ternyata tidak begitu jelas. Di satu pihak, Kuhn mengatakan bahwa “paradigma” yang ia maksudkan tidak sama dengan “model” atau “pola” melainkan lebih daripada itu. Tetapi kemudian dalam penerapan teori Kuhn ke bidang-bidang di luar sains, istilah “model,” “pola” dan “tipe” kerap dicampurkan saja dengan “paradigma.” Di dalam postscript, Kuhn mengakui bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam dua arti, (1) sebagai keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dsb yang dimiliki bersama oleh anggota komunitas ilmiah tertentu, dan (2) sejenis unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang kongkrit, yang jika digunakan sebagai model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains normal yang masih tersisa. Menurut Kuhn, kedua makna ini bisa dipakai, namun yang lebih mendalam secara filsafati adalah yang kedua.

Paradigma tunggal ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Yang dimaksudkan dengan ilmu normal adalah penelitian yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah pada masa yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu diakui pada suatu kurun waktu tertentu sebagai dasar atau pondasi bagi praktik selanjutnya. Para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma ini secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Karena paradigma diterima, maka dengan sendirinya para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma tersebut, karena paradigma itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun selama menjalankan penelitiannya, para ilmuwan bisa menemukan pelbagai kejanggalan berupa ketidaksesuaian teori dengan fenomena. Kejanggalan atau “anomali” ini justru merupakan sebuah petunjuk yang penting mengenai perkembangan ilmu. Jika anomali semakin menumpuk dan kualitasnya semakin meninggi, maka timbullah krisis. Dalam krisis ini orang mulai mempertanyakan paradigma. Pada waktu itu ilmuwan tidak lagi melakukan ilmu normal. Ia diperhadapkan pada pemilihan apakah akan kembali kepada cara-cara ilmiah yang lama, atau berpindah pada sebuah paradigma baru yang memecahkan masalahnya dan dengan demikian merupakan tandingan terhadap paradigma lama. Jika ia memilih yang terakhir, maka terjadilah sebuah revolusi ilmiah, oleh karena di antara paradigma baru dan paradigma lama tidak ada benang merah logika atau rasionalitas, dalam arti keduanya tidak bisa disesuaikan. Paradigma lama ditinggalkan bukan karena atau kurang ilmiah dibandingkan yang baru, tetapi karena dianggap tidak sesuai lagi untuk memecahkan masalah. Istilah yang dipakai oleh Kuhn untuk menyebut ketidakrasionalan ini adalah “incommensurable” atau “incommensurability.” Tetapi Kuhn menambahkan bahwa kebanyakan ilmuwan memilih untuk bertahan dalam ilmu normal dan mengikuti paradigma yang lama, oleh karena mengikuti paradigma yang baru membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah perubahan perspektip atau orientasi. Berbicara mengenai perspektip dan orientasi tidak dapat tidak menyebabkan orang berpikir mengenai “apa kata dunia” (“worldview”). Perubahan yang bersifat paradigmatik bisa mencakup perubahan worldview. Kuhn tidak menyangkal bahwa pemahamannya mengenai perubahan paradigma sains dipengaruhi oleh perkembangan di bidang psikologi Gestalt. “What were ducks in the scientist’s world before the revolution are rabbits afterwards.”

Di dalam banyak catatan-catatan pakar sains dijumpai pergumulan hebat dalam menghadapi anomali dan kenyataan paradigma baru. Einstein yang dapat disebut pembangun paradigma baru merasa “as if the ground had been pulled out from under one, with no firm foundation to be seen anywhere, upon which one could have been built.” Setelah menyadari dampak dari mereka yang kemudian memperkembangkan teori kuantum terhadap teologi, terutama mengenai Yang Ilahi, maka Einstein tidak ragu-ragu untuk memberi pernyataan teologis termasyhur yang bertentangan sendiri dengan posisi baru yang bersifat nondeterministik, di mana seharusnya dia berdiri: “The Old Man (maksudnya Tuhan) does not play dice with the universe.” Apabila Kuhn mengatakan bahwa kebanyakan ilmuwan bertahan dalam paradigma lama, maka bukanlah maksudnya untuk menilai negatip sikap tersebut. Kegiatan-kegiatan tradisional dari sebuah ilmu normal justru merupakan inti kegiatan ilmiah. Perlawanan seumur hidup terhadap paradigma baru dari mereka yang sudah terikat dengan paradigma lama bukanlah merupakan pelanggaran standar-standar ilmiah, melainkan justru indeks dari hakikat riset ilmiah itu sendiri. Perubahan paradigma mendatangi/menyatakan diri kepada ilmuwan dan bukannya bahwa ilmuwan itu secara sengaja berusaha menciptakan perubahan paradigma. Meskipun menurut Kuhn, apa yang dikemukakan oleh Max Planck “A new scientific truth does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but rather because its opponents eventually die, and a new generation grows up that is familiar with it,” ada benarnya, ia lebih suka membayangkan bahwa perpindahan kesetiaan dari sebuah paradigma lama ke paradigma baru terjadi kurang lebih sebagai pengalaman pertobatan. Bertobat berarti berubah perspektif dan orientasi, tetapi tidak berarti yang sebelumnya itu salah atau tidak benar. Hal itu menandakan bahwa ada kesejajaran di antara interaksi di dalam bidang sains dengan bidang agama. Sikap ilmuwan dan agamawan seringkali sama saja. Bukan hanya pada yang terakhir saja kita melihat perdebatan-perdebatan yang tidak kunjung habis, tetapi juga di bidang sains. Di kedua dunia, perdebatan baru selesai (atau tidak selesai?) apabila terjadi perpindahan paradigma. Susahnya dalam pengertian populer, istilah “revolusi” dan “pertobatan” mengandung makna etis: yang dulu salah atau jelek, makanya pindah ke yang baru, yang benar dan baik. Asal kita maklum saja bahwa Kuhn menggunakan kedua istilah tersebut tidak dalam pengertian populer.

Demikianlah jalannya perkembangan ilmu. Di dalam bukunya Kuhn memberikan contoh-contoh dari sains bagaimana revolusi di bidang sains terjadi. Revolusi-revolusi ini semuanya terjadi sesudah pertengahan abad 19, oleh karena sebelumnya tidak ada komunitas kaum ilmuwan. Sebelum itu ada berbagai paradigma yang berseliweran. Baru sesudah komunitas ilmuwan terbentuk, orang terbiasa bekerja dalam ilmu normal di bawah payung paradigma tunggal. Sebagai awam di bidang falasah sains tentu sulit sekali bagi saya untuk mengikuti uraiannya, tetapi yang dapat saya tangkap adalah bahwa perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam hal besar-besar saja, seperti perubahan pemahaman mengenai pusat alam semesta dari worldview Ptolemaian ke worldview Kopernikan-Galileian, atau dari worldview Newtonian ke worldview Einsteinian, tetapi juga dalam sejarah perkembangan fenomena listrik, oksigen dan lain-lain, yang merupakan “revolusi-revolusi kecil.” Yang masih tersisa adalah persoalan apakah tidak terdapat kemungkinan bahwa di dalam sains bisa terdapat dua paradigma, bahkan di dalam satu orang ilmuwan bisa terdapat dua paradigma? Di dalam prakata, Kuhn mengakui bahwa uraiannya mengenai pra-paradigma dan pasca-paradigma di dalam perkembangan ilmu dibuat terlalu ketat. Bisa terjadi kemungkinan (meskipun jarang), bahwa dua paradigma yang saling berkompetisi dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini tentunya berdampak pada pengertian Kuhn mengenai “revolusi.” Maka kadang-kadang dia berbicara mengenai “paradigm change” (“perubahan paradigma”), tetapi kadang-kadang juga mengenai “paradigm shift” (“pergeseran paradigma”). Terlepas dari ketidakkonsistenan ini Kuhn telah berjasa besar mendekatkan sains dengan ilmu-ilmu lainnya, sebagai ilmu yang sama-sama terikat pada ruang dan waktu.

Kebenaran ilmiah dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan kebenaran pragmatis, koresponden, koheren dan performatif yang membentuk sistem tertentu (Putrawan, 2008). Kebenaran ilmiah umumnya hanya dapat diperoleh dengan melakukan penelitian. Sekitar 99% diperoleh dengan keringat (kerja) dan hanya sekitar 1% yang diperoleh berdasarkan intuisi atau kebetulan.


Teori Pragmatis Tentang Kebenaran (the pragmatic theory of truth) dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti Charles S. Pierce dan William James. Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak. Contoh, ide bahwa kemacetan jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan oleh terlalu banyaknya kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang. Maka penyelesaiannya adalah “mewajibkan mobil pribadi ditumpangi oleh tiga orang atau lebih.” Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.



  • Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know how). Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” (know what) dan “pengetahuan mengapa” (know why) tetapi juga “pengetahuan bagaimana” (know how).


  • Teori Kebenaran Sebagai Persesuaian (the Correspondence Theory of Truth) pertama kali dimunculkan oleh Aristoteles berupa kesesuaian antara apa yang diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas apa adanya. Oleh karenanya kebenaran korespondensi disebut pula kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak. Contohnya Program Studi Manajemen dan Bisnis IPB ada di Gunung Gede. Jadi Sekolah Pascasarjana IPB ada di Gunung Gede karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung sesuai dengan kenyataan.


  • Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu. Intinya realitas adalah hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal pokok yang perlu digarisbawahi dalam teori korespondensi. Pertama, teori ini sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek. Subyek atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh obyek. Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat menekankan bukti (eviden) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi pengamatan atau penangkapan fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.


  • Teori Kebenaran Sebagai Keteguhan (the Coherence Theory of Truth) Kebenaran Koheren dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya. Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori koherensi ini. Contohnya, pengetahuan “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”


  • Bagi kaum empiris (kebenaran persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Tetapi bagi kaum rasionalitas, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini cukup memeriksa apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya, atau apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu 60 C. Karena air mendidih pada suhu 100 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih. Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 60 C dan sejalan dengan pengetahuan lain bahwa air mendidih pada suhu 100 C. Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih,” hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.


  • Teori Kebenaran Performative (the Performative Theory of Truth) dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang dianggap benar, demikian sebaliknya. Namun, justru inilah yang ingin ditolak oleh filsuf-filsuf ini. Menurut teori ini suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas. Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan itu terciptanya suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Contohnya, “Dengan ini saya mengangkat anda menjadi dosen pengasuh matakuliah Falsafah Sains.” Dengan pernyataan ini tercipta suatu realitas baru, realitas anda sebagai dosen Falsafah Sains.


  • Dengan demikian, sifat dasar kebenaran ilmiah selalu mempunyai paling kurang tiga sifat dasar, yaitu : struktur yang rasional-logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis). Kebenaran ilmiah yang rasional-logis adalah bahwa kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh karenanya kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang universal. Satu hal yang perlu dicatat bahwa perlu dibedakan sifat rasional dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sifat “masuk akal” ini terutama berlaku bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup pengetahuan. Contohnya tindakan marah menangis, dan semacamnya dapat sangat masuk akal walaupun mungkin tidak rasional.


  • Sifat empiris dari kebenaran ilmiah mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia ini.


  • Sifat pragmatis terutama hendak menggabungkan kedua sifat kebenaran lainnya, artinya kalau suatu pernyataan benar secara logis dan empiris maka pernyataan tersebut juga harus berguna dalam kehidupan manusia, yaitu membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.



Kebenaran ilmiah tidak bisa dibuat dalam suatu standar yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, karena banyaknya jenis ilmu dalam suatu pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya obyek dan metode, namun ilmu secara umum bertujuan mencapai kebenaran obyektif yang dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmiah tetap memiliki sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, karena ilmu diupayakan oleh manusia dan lingkungan komunitas sosialnya yang kemampuan akal budinya masih terus tumbuh dan berkembang (Wahyudi, 2004).




KEBENARAN NON-ILMIAH

Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah (Wahono, 2008). Beberapa diantaranya adalah:



  • Kebenaran Karena Kebetulan: Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan kristal urease oleh Dr. J.S. Summers.


  • Kebenaran Karena Akal Sehat (Common Sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar.


  • Kebenaran Agama dan Wahyu: Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tapi sebagian hal lain tidak.


  • Kebenaran Intuitif: Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung Kouros dan museum Getty.


  • Kebenaran Karena Trial dan Error: Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.


  • Kebenaran Spekulasi: Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.


  • Kebenaran Karena Kewibawaan: Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
Demikianlah tulisan saya dalam mencari kebenaran yang merupakan gabungan dari tema pertama (kebenaran) dan tema kedua (kebenaran ilmiah). Hasil eksplorasi ini memberikan kedalam philosofis dalam menafsirkan fenomena kehidupan dan pencarian jati diri pribadi sebagai sebuah tinjauan teoritis. Wassalam.




DAFTAR PUSTAKA



  1. Deutsch E. 1979, On truth: An ontological theory. The University Press of Hawai, Honolulu.

  2. Jamaluddin T. 2007. Netralitas sains. http://agorsiloku.wordpress.com/2007/%2002/%2011/perbedaan-cara-pandang-saintis-dan-pakar-filsafat-ilmu/(diakses tanggal 16.09.2008).

  3. Kuhn T. 1970. The Structure of scientific revolutions, revised ed. The University of Chicago Press. Chicago-London.

  4. Niriah A. 2008. Epistemologi ekonomi islam. http://agustianto.niriah.com/ 2008/03/11 epistemologi-ekonomi-islam/ (diakses tanggal 16.09.2008).

  5. Putrawan, B.K. 2008. Hakikat kebenaran. http://bkputrawan.blogspot.com/ 2008/02/hakikat-kebenaran.html

  6. Russell B. 2006. Fakta, kepercayaan, kebenaran dan pengetahuan, p.70-86. Dalam Suriasumantri J.S. Ilmu dalam perspektif, sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

  7. Singgih, E.G. Kuhn dan Küng: Perubahan Paradigma Ilmu dan Dampaknya Terhadap Teologi Kristen. www.geocities.com/perwati2003 (diakses tanggal 16.09.2008).
    Suriasumantri J.S. 1982. Filsafat ilmu : Sebuah pengantar populer. Sinar Harapan. Jakarta

  8. The Free Dictionary. 2008. http://www.thefreedictionary.com/Truth (diakses tanggal 16.09.2008).

  9. Trian H.A. 2005. Berbicara (lagi) tentang kebenaran. http://3an.blogspot.com/ /2005/06/berbicara-lagi-tentang-kebenaran.html (diakses tanggal 16.09. 2008).

  10. Wahono R.S. 2008. Hakekat kebenaran. http://romisatriawahono.net/2007/02/ 20/hakekat-kebenaran/ (diakses tanggal 16.09.2008).

  11. Wahyudi I. 2004. Refleksi tentang kebenaran ilmu. Jurnal Filsafat, 38(3):254-261.

  12. Wilujeng S.H., Hadi P.H. 2006. Makna kebenaran dalam epistemologi Friedrich WilhelmNietsche (The meaning of truth in Friedrich Nietsche’s epistemology). HUMANIKA Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Humaniora UGM, 19(3):371-381.