Oleh: Iyung Pahan
Kebenaran (
truth) adalah kesesuaian dengan fakta atau kenyataan. Kebenaran adalah suatu pernyataan yang sudah terbukti atau dipertimbangkan sebagai kenyataan agung yang memiliki makna tertinggi dan nilai eksistensi (The Free Web Dictionary, 2008). Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Bila hubungan itu tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah (Russell, 2006).
Menurut Wahyudi (2004), kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akalbudi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya (Wahyudi, 2004).
Menurut teori kebenaran metafisis/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas obyek. Kebenaran merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, serta didapat dari sesuatu itu sendiri. Menurut Deutsch (1979), kita memperolehnya melalui intensionalitas, dan tidak mendapatkannya dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu (misal: kesesuaian antara pernyataan dengan fakta). Kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, dan pernyataan tersebut benar kalau memang yang dinyatakan itu sungguh ada.
Banyak para ahli yang memaparkan ide tentang perspektif kebenaran termasuk bagaimana membuktikannya. Tulisan ini mencoba membahas masalah hakekat kebenaran dari perspektif kebenaran filsafat, kebenaran ilmiah, dan kebenaran non-ilmiah.
Kebenaran FilsafatMenurut Julian Baggini terdapat dua aliran tentang kebenaran yang hampir merupakan paradoks dalam melihat kebenaran (Trian, 2005). Pertama, kebenaran realis yang menegaskan bahwa kebenaran itu ada, terlepas apakah kita mengetahuinya atau tidak. Kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Yang kedua, kebenaran nonrealis (hanya karena berlawanan dari realis) yang berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana, dimana kebenaran tidak pernah berada “di luar sana”
(“the truth is out there”), dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat, individu ataupun budaya.
Kedua aliran kebenaran tersebut yang menyusun postulat dasar dalam menilai sesuatu, antara yang seharusnya dan yang terjadi, antara idealisme dan kenyataan, antara
das solen dan
das sein. Seperti dua garis sejajar, eksistensi keduanya jarang (untuk tidak dikatakan tidak pernah) bertemu dalam satu titik sederhana. Ini artinya, kebenaran dalam pandangan gradasi eksistensi adalah sebuah realitas yang memberikan penampakan multiplisitas (bermacam-macam). Antara kebenaran dan ketidakbenaran dalam kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan begitu saja karena adanya gradasi. Semakin sedikit esensi yang dikandung, semakin tinggi pula tingkat gradasinya.
Batasan antara kebenaran dan ketidakbenaran tak akan pernah selesai dibahas manusia sekalipun kita mengenal gradasi eksistensi. Karena ketidakmampuan memisahkan kebenaran dan ketidakbenaran secara tegas, manusia yang hidup di dunia fana tak pernah mencapai pemahaman akan kebenaran sejati. Kebenaran yang dicari manusia merupakan suatu kebenaran yang adalah benar (
truth is true) dan bukan kebenaran yang tak pernah benar (
truth never true). Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak (relatif) dan tidak ada kebenaran yang universal karena nalar manusia tidak memiliki kemampuan untuk menggapai kebenaran (Wilujeng dan Hadi, 2006).
Kebenaran itu dapat bersifat relatif maupun mutlak. Kebenaran relatif merupakan pernyataan yang mengandung kebenaran berdasarkan suatu standar atau kebudayaan tertentu, tapi menjadi suatu hal yang salah di standar/budaya lainnya. Sementara kebenaran mutlak merupakan kebenaran yang berlaku sama di manapun mereka berada.
Kebenaran filsafat diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa mashab. Dalam praktiknya, ada dualisme mashab yang mengakui beberapa kebenaran sekaligus, misalnya mengakui kebenaran realisme dan naturalisme (Wahono, 2008).
- Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
- Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.
- Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat, pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.
- Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas kekuatannya sendiri. Filosofi resmi dari ajaran komunisme.
- Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman sebagai pernyataan pikiran.
- Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.
Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran yang mutlak, karena ia terus berkembang dengan semakin majunya kemampuan yang dimiliki manusia. Pada zaman Yunani Kuno, Aristoteles menyatakan bumi adalah pusat tata surya dan ide tersebut dianggap sebagai kebenaran ilmiah pada saat itu. Pada abad ke-16, ilmuwan Polandia bernama Nicolaus Copernicus menyatakan matahari adalah pusat tata surya, dan hal ini terbukti sampai saat ini merupakan kebenaran yang baru. Nilai kebenaran sains memang relatif, tergantung bukti-bukti dan argumentasi fisis yang jadi landasannya. Selama belum ada bukti yang menggugurkan suatu teori sains, maka teori itulah yang dianggap benar (Jamaluddin, 2007).
Pintu gerbang kebenaran ilmiah tertinggi dikaji secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah melalui kajian epistemologi, ontologi, dan aksiologi (Suriasumatri, 1982). Epistemologi adalah suatu teori tentang pengetahuan yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan. Epistemologi adalah pemanfaatan prosedur kerja untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan metode ilmiah. Ontologi adalah apa yang ingin diketahui mencakup lingkup batas jati diri (being) dan keberadaan eksistensi penelaahan obyek (sasaran) keilmuan dan penafsiran tentang hakekat kenyataan yang khas serta perubahan dari objek keilmuan. Aksiologi adalah nilai tujuan pemanfaatan dan penggunaan pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebutuhan hidup manusia.
Pencarian kebenaran secara epistemologi menformulasikan kepercayaan sebelum adanya fakta dalam domain agama dan tahyul. Epistemologi di dalam agama Islam memiliki beberapa macam antara lain: (a) perenungan (
contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan didalam al-Qur’an, (b) penginderaan (
sensation), (c)
tafaqquh (
perception, concept), (d) penalaran (
reasoning). Epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah, sehingga berhasil atau tidaknya setiap usaha manusia, tergantung kepada iradat Allah. Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subyek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka di satu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain pihak, epistemologi Islam juga berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Di sini manusia berfungsi subyek yang mencari kebenaran. Manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan sekaligus memberi interpretasinya. Dalam Islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan (Niriah, 2008).
Ada beberapa perbedaan antara Filsafat Pengetahuan Islam (Epistemologi Islam) dengan epistemologi pada umumnya. Pada garis besarnya, perbedaan itu terletak pada masalah yang bersangkutan dengan sumber pengetahuan dalam Islam, yakni wahyu dan ilham. Sedangkan masalah kebenaran epistemologi pada umumnya menganggap kebenaran hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Epistemologi Islam membicarakan pandangan para pemikir Islam tentang pengetahuan, dimana manusia tidak lain hanya sebagai khalifah Allah di muka bumi,yaitu sebagai makhluk pencari kebenaran. Manusia tergantung kepada Allah sebagai pemberi kebenaran.
Kepercayaan yang timbul setelah adanya fakta merupakan dasar dari sains dan filsafat ilmu postivisme logis yang dikemukakan oleh August Comte (1798-1857). Menurut Comte, bahan pengalaman inderawi harus dipertimbangkan oleh akal. Akal kemudian mengatur dan mensistimatisasi pengalaman secara logis sehingga terbentuklah pengetahuan. Metode positivisme logis berpangkal dari gejala faktual yang positif dan menafikan berbagai persoalan di luar fakta seperti metafisika dan agama. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan, positivisme terbatas pada gejala-gejala empiris saja.
Pada masa perkembangan awal positivisme logis (
positivist logics), para tokoh yang dikenal sebagai “Lingkaran Wina” (Moritz Schlick dan Rudolf Carnap) mengemukakan bahwa teori-teori baru dalam ilmu pengetahuan alam (
natural sciences) ditetapkan melalui ‘verifikasi’ (misalnya pernyataan “tembaga menghasilkan daya listrik” adalah terbukti benar dan tidak terbantahkan lagi). Teori verifikasi ini amat berpengaruh di dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk di Indonesia. Tetapi sejak 1935 Karl Popper melalui bukunya
The Logic of Scientific Discovery (Logik der Forschung) mengemukakan bahwa aturan-aturan untuk menetapkan hipotesis baru dan teori baru tidak ditentukan oleh konfirmasi positif, koroborasi dalam percobaan dan pengalaman ataupun oleh verifikasi. Banyak pernyataan (misalnya “semua tembaga di dalam alam semesta ini menghasilkan daya listrik”) tidak bisa diverifikasi karena tidak mungkin dilakukan. Bukan verifikasi yang menentukan melainkan ‘falsifikasi’ dan prinsip yang mengikutinya kemudian disebut prinsip ‘falsifiabilitas.’ Penemuan angsa-angsa berwarna hitam di Australia langsung memperlihatkan kebersalahan proposisi yang tadinya dianggap berlaku universal yaitu “semua angsa berwarna putih.” Dari pengamatan induktif yang menemukan bahwa ada angsa hitam, dapat dideduksikan secara umum juga bahwa “Ada angsa-angsa yang tidak putih.” Penemuan angsa hitam membuktikan kesalahan proposisi “semua angsa berwarna putih.” Tetapi daripada memfrustrasikan diri, hal ini justru dapat dilihat positif. Teori ilmiah yang baik adalah teori ilmiah yang dapat dibuktikan salah, sedangkan teori ilmiah yang tidak baik adalah teori ilmiah yang tidak dapat dibuktikan salah. Maka Popper sangat mengecam klaim-klaim beberapa teori besar yang memberi kesan tidak memberi tempat pada kemungkinan dirinya dapat salah, seperti teori negara dan masyarakat yang bersumber dari Plato, psiko-analisis dari Freud dan teori sosial dari Marx.
Teori Popper tidak mendapat sambutan yang sama seperti sambutan terhadap verifikasi. Namun sementara itu muncullah pertanyaan-pertanyaan apakah perkembangan ilmu atau lebih baik, sains, ditentukan oleh logika, entah logika yang mengarah pada verifikasi maupun logika yang mengarah pada falsifikasi? Atau adakah faktor-faktor lainnya yang ikut menentukan, bahkan lebih menentukan daripada logika dari ilmu itu sendiri? Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora sudah lama disadari bahwa faktor-faktor sejarah, komunitas ilmiah, dan orangnya (subyek yang meneliti) merupakan faktor-faktor yang amat menentukan. Tidak ada epistemologi pengetahuan yang dapat dilakukan tanpa menggabungkan teori pengetahuan, sejarah pengetahuan dan sosiologi pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam (“the natural sciences”) yang di Indonesia biasanya disebut “sains,” tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh penelitian terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Hipotesis baru dan teori baru tidak muncul oleh karena prinsip verifiabilitas maupun falsifiabilitas, melainkan oleh karena sebuah paradigma yang lama digantikan oleh sebuah paradigma yang baru. Jadi terjadi sebuah perubahan paradigma. Pemahaman tentang perubahan paradigma di dalam sains ini dikemukakan oleh Thomas Kuhn dari Amerika Serikat sejak tahun 1950-an. Menjelang tahun 60-an ia menerima permintaan dari International
Encyclopedia of Unified Science untuk menulis rubrik mengenai sejarah ilmu, dan pada tahun 1962 rubrik itu diterbitkan sebagai sebuah buku yang secara khusus membicarakan paradigma ilmu dan ilmu normal. Buku ini segera menggoncangkan dunia ilmu pengetahuan alam, dan barangkali karena sifatnya yang kontroversial, maka pengikutnyapun tidak banyak. Dapat dikatakan bahwa komunitas sains umumnya tetap mengacu pada teori verifikasi, sebagian mengacu pada falsifikasi, namun sebagian besar mengabaikan saja teori perubahan paradigma dari Kuhn.
Menurut Kuhn, filsafat ilmu sebaiknya berguru pada sejarah ilmu yang baru. Katanya, Popper yang sudah disebut di atas, membalikkan kenyataan dengan terlebih dulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul upaya falsifikasi. Padahal perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Kemajuan ilmiah adalah bersifat revolusioner, dan tidak seperti anggapan sebelumnya, yaitu bersifat kumulatif (baca: evolusioner). Mengapa tidak disadari bahwa kemajuan itu bersifat revolusioner? Oleh karena hanya terasa revolusioner bagi mereka yang terkena dampaknya, atau lebih baik, mereka yang paradigmanya terkena dampak dari perubahan revolusioner ini. “Paradigma” menjadi konsep sentral dalam pemikiran Kuhn. Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh sebuah paradigma tunggal. Tetapi salah satu masalah dalam tesis Kuhn adalah pemahaman mengenai pengertian paradigma itu sendiri, yang ternyata tidak begitu jelas. Di satu pihak, Kuhn mengatakan bahwa “paradigma” yang ia maksudkan tidak sama dengan “model” atau “pola” melainkan lebih daripada itu. Tetapi kemudian dalam penerapan teori Kuhn ke bidang-bidang di luar sains, istilah “model,” “pola” dan “tipe” kerap dicampurkan saja dengan “paradigma.” Di dalam postscript, Kuhn mengakui bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam dua arti, (1) sebagai keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dsb yang dimiliki bersama oleh anggota komunitas ilmiah tertentu, dan (2) sejenis unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang kongkrit, yang jika digunakan sebagai model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains normal yang masih tersisa. Menurut Kuhn, kedua makna ini bisa dipakai, namun yang lebih mendalam secara filsafati adalah yang kedua.
Paradigma tunggal ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (
normal science). Yang dimaksudkan dengan ilmu normal adalah penelitian yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah pada masa yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu diakui pada suatu kurun waktu tertentu sebagai dasar atau pondasi bagi praktik selanjutnya. Para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma ini secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Karena paradigma diterima, maka dengan sendirinya para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma tersebut, karena paradigma itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun selama menjalankan penelitiannya, para ilmuwan bisa menemukan pelbagai kejanggalan berupa ketidaksesuaian teori dengan fenomena. Kejanggalan atau “anomali” ini justru merupakan sebuah petunjuk yang penting mengenai perkembangan ilmu. Jika anomali semakin menumpuk dan kualitasnya semakin meninggi, maka timbullah krisis. Dalam krisis ini orang mulai mempertanyakan paradigma. Pada waktu itu ilmuwan tidak lagi melakukan ilmu normal. Ia diperhadapkan pada pemilihan apakah akan kembali kepada cara-cara ilmiah yang lama, atau berpindah pada sebuah paradigma baru yang memecahkan masalahnya dan dengan demikian merupakan tandingan terhadap paradigma lama. Jika ia memilih yang terakhir, maka terjadilah sebuah revolusi ilmiah, oleh karena di antara paradigma baru dan paradigma lama tidak ada benang merah logika atau rasionalitas, dalam arti keduanya tidak bisa disesuaikan. Paradigma lama ditinggalkan bukan karena atau kurang ilmiah dibandingkan yang baru, tetapi karena dianggap tidak sesuai lagi untuk memecahkan masalah. Istilah yang dipakai oleh Kuhn untuk menyebut ketidakrasionalan ini adalah
“incommensurable” atau
“incommensurability.” Tetapi Kuhn menambahkan bahwa kebanyakan ilmuwan memilih untuk bertahan dalam ilmu normal dan mengikuti paradigma yang lama, oleh karena mengikuti paradigma yang baru membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah perubahan perspektip atau orientasi. Berbicara mengenai perspektip dan orientasi tidak dapat tidak menyebabkan orang berpikir mengenai “apa kata dunia”
(“worldview”). Perubahan yang bersifat paradigmatik bisa mencakup perubahan worldview. Kuhn tidak menyangkal bahwa pemahamannya mengenai perubahan paradigma sains dipengaruhi oleh perkembangan di bidang psikologi
Gestalt. “What were ducks in the scientist’s world before the revolution are rabbits afterwards.”
Di dalam banyak catatan-catatan pakar sains dijumpai pergumulan hebat dalam menghadapi anomali dan kenyataan paradigma baru. Einstein yang dapat disebut pembangun paradigma baru merasa
“as if the ground had been pulled out from under one, with no firm foundation to be seen anywhere, upon which one could have been built.” Setelah menyadari dampak dari mereka yang kemudian memperkembangkan teori kuantum terhadap teologi, terutama mengenai Yang Ilahi, maka Einstein tidak ragu-ragu untuk memberi pernyataan teologis termasyhur yang bertentangan sendiri dengan posisi baru yang bersifat nondeterministik, di mana seharusnya dia berdiri:
“The Old Man (maksudnya Tuhan) does not play dice with the universe.” Apabila Kuhn mengatakan bahwa kebanyakan ilmuwan bertahan dalam paradigma lama, maka bukanlah maksudnya untuk menilai negatip sikap tersebut. Kegiatan-kegiatan tradisional dari sebuah ilmu normal justru merupakan inti kegiatan ilmiah. Perlawanan seumur hidup terhadap paradigma baru dari mereka yang sudah terikat dengan paradigma lama bukanlah merupakan pelanggaran standar-standar ilmiah, melainkan justru indeks dari hakikat riset ilmiah itu sendiri. Perubahan paradigma mendatangi/menyatakan diri kepada ilmuwan dan bukannya bahwa ilmuwan itu secara sengaja berusaha menciptakan perubahan paradigma. Meskipun menurut Kuhn, apa yang dikemukakan oleh Max Planck
“A new scientific truth does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but rather because its opponents eventually die, and a new generation grows up that is familiar with it,” ada benarnya, ia lebih suka membayangkan bahwa perpindahan kesetiaan dari sebuah paradigma lama ke paradigma baru terjadi kurang lebih sebagai pengalaman pertobatan. Bertobat berarti berubah perspektif dan orientasi, tetapi tidak berarti yang sebelumnya itu salah atau tidak benar. Hal itu menandakan bahwa ada kesejajaran di antara interaksi di dalam bidang sains dengan bidang agama. Sikap ilmuwan dan agamawan seringkali sama saja. Bukan hanya pada yang terakhir saja kita melihat perdebatan-perdebatan yang tidak kunjung habis, tetapi juga di bidang sains. Di kedua dunia, perdebatan baru selesai (atau tidak selesai?) apabila terjadi perpindahan paradigma. Susahnya dalam pengertian populer, istilah “revolusi” dan “pertobatan” mengandung makna etis: yang dulu salah atau jelek, makanya pindah ke yang baru, yang benar dan baik. Asal kita maklum saja bahwa Kuhn menggunakan kedua istilah tersebut tidak dalam pengertian populer.
Demikianlah jalannya perkembangan ilmu. Di dalam bukunya Kuhn memberikan contoh-contoh dari sains bagaimana revolusi di bidang sains terjadi. Revolusi-revolusi ini semuanya terjadi sesudah pertengahan abad 19, oleh karena sebelumnya tidak ada komunitas kaum ilmuwan. Sebelum itu ada berbagai paradigma yang berseliweran. Baru sesudah komunitas ilmuwan terbentuk, orang terbiasa bekerja dalam ilmu normal di bawah payung paradigma tunggal. Sebagai awam di bidang falasah sains tentu sulit sekali bagi saya untuk mengikuti uraiannya, tetapi yang dapat saya tangkap adalah bahwa perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam hal besar-besar saja, seperti perubahan pemahaman mengenai pusat alam semesta dari worldview Ptolemaian ke worldview Kopernikan-Galileian, atau dari worldview Newtonian ke worldview Einsteinian, tetapi juga dalam sejarah perkembangan fenomena listrik, oksigen dan lain-lain, yang merupakan “revolusi-revolusi kecil.” Yang masih tersisa adalah persoalan apakah tidak terdapat kemungkinan bahwa di dalam sains bisa terdapat dua paradigma, bahkan di dalam satu orang ilmuwan bisa terdapat dua paradigma? Di dalam prakata, Kuhn mengakui bahwa uraiannya mengenai pra-paradigma dan pasca-paradigma di dalam perkembangan ilmu dibuat terlalu ketat. Bisa terjadi kemungkinan (meskipun jarang), bahwa dua paradigma yang saling berkompetisi dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini tentunya berdampak pada pengertian Kuhn mengenai “revolusi.” Maka kadang-kadang dia berbicara mengenai “paradigm change” (“perubahan paradigma”), tetapi kadang-kadang juga mengenai “paradigm shift” (“pergeseran paradigma”). Terlepas dari ketidakkonsistenan ini Kuhn telah berjasa besar mendekatkan sains dengan ilmu-ilmu lainnya, sebagai ilmu yang sama-sama terikat pada ruang dan waktu.
Kebenaran ilmiah dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan kebenaran pragmatis, koresponden, koheren dan performatif yang membentuk sistem tertentu (Putrawan, 2008). Kebenaran ilmiah umumnya hanya dapat diperoleh dengan melakukan penelitian. Sekitar 99% diperoleh dengan keringat (kerja) dan hanya sekitar 1% yang diperoleh berdasarkan intuisi atau kebetulan.
Teori Pragmatis Tentang Kebenaran (the pragmatic theory of truth) dikembangkan oleh filsuf pragmatis dari Amerika Serikat seperti Charles S. Pierce dan William James. Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan. Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang (berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak. Contoh, ide bahwa kemacetan jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan oleh terlalu banyaknya kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang. Maka penyelesaiannya adalah “mewajibkan mobil pribadi ditumpangi oleh tiga orang atau lebih.” Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
- Kebenaran yang ditekankan oleh kaum pragmatis adalah kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know how). Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Kaum pragmatis sebenarnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi kaum pragmatis suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu supaya berhasil. Singkatnya, kita tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” (know what) dan “pengetahuan mengapa” (know why) tetapi juga “pengetahuan bagaimana” (know how).
- Teori Kebenaran Sebagai Persesuaian (the Correspondence Theory of Truth) pertama kali dimunculkan oleh Aristoteles berupa kesesuaian antara apa yang diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dan realitas apa adanya. Oleh karenanya kebenaran korespondensi disebut pula kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori itu didukung oleh fakta atau tidak. Contohnya Program Studi Manajemen dan Bisnis IPB ada di Gunung Gede. Jadi Sekolah Pascasarjana IPB ada di Gunung Gede karena dalam kenyataannya pernyataan ini didukung sesuai dengan kenyataan.
- Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pernyataan itu. Intinya realitas adalah hal yang pokok dari kegiatan ilmiah. Ada tiga hal pokok yang perlu digarisbawahi dalam teori korespondensi. Pertama, teori ini sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan inderawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Bagi teori ini yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek. Subyek atau akal budi manusia hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh obyek. Ketiga, konsekuensi dari hal di atas teori ini sangat menekankan bukti (eviden) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Tetapi bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan pula hasil imajinasi, tetapi apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Jadi pengamatan atau penangkapan fenomena yang ada menjadi penentu dalam teori ini.
- Teori Kebenaran Sebagai Keteguhan (the Coherence Theory of Truth) Kebenaran Koheren dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Heggel, dan lainnya. Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori koherensi ini. Contohnya, pengetahuan “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”
- Bagi kaum empiris (kebenaran persesuaian), untuk mengetahui kebenaran pengetahuan ini perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Tetapi bagi kaum rasionalitas, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini cukup memeriksa apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan lainnya, atau apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin termasuk bahan parafin dan parafin selalu mencair pada suhu 60 C. Karena air mendidih pada suhu 100 C, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih. Pernyataan ini benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu 60 C dan sejalan dengan pengetahuan lain bahwa air mendidih pada suhu 100 C. Dengan kata lain, “lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih,” hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain tersebut.
- Teori Kebenaran Performative (the Performative Theory of Truth) dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang dianggap benar, demikian sebaliknya. Namun, justru inilah yang ingin ditolak oleh filsuf-filsuf ini. Menurut teori ini suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas. Pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan itu terciptanya suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Contohnya, “Dengan ini saya mengangkat anda menjadi dosen pengasuh matakuliah Falsafah Sains.” Dengan pernyataan ini tercipta suatu realitas baru, realitas anda sebagai dosen Falsafah Sains.
- Dengan demikian, sifat dasar kebenaran ilmiah selalu mempunyai paling kurang tiga sifat dasar, yaitu : struktur yang rasional-logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis). Kebenaran ilmiah yang rasional-logis adalah bahwa kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh karenanya kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang universal. Satu hal yang perlu dicatat bahwa perlu dibedakan sifat rasional dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sifat “masuk akal” ini terutama berlaku bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup pengetahuan. Contohnya tindakan marah menangis, dan semacamnya dapat sangat masuk akal walaupun mungkin tidak rasional.
- Sifat empiris dari kebenaran ilmiah mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia ini.
- Sifat pragmatis terutama hendak menggabungkan kedua sifat kebenaran lainnya, artinya kalau suatu pernyataan benar secara logis dan empiris maka pernyataan tersebut juga harus berguna dalam kehidupan manusia, yaitu membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.
Kebenaran ilmiah tidak bisa dibuat dalam suatu standar yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, karena banyaknya jenis ilmu dalam suatu pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya obyek dan metode, namun ilmu secara umum bertujuan mencapai kebenaran obyektif yang dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmiah tetap memiliki sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, karena ilmu diupayakan oleh manusia dan lingkungan komunitas sosialnya yang kemampuan akal budinya masih terus tumbuh dan berkembang (Wahyudi, 2004).
KEBENARAN NON-ILMIAH
Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah (Wahono, 2008). Beberapa diantaranya adalah:
- Kebenaran Karena Kebetulan: Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan kristal urease oleh Dr. J.S. Summers.
- Kebenaran Karena Akal Sehat (Common Sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar.
- Kebenaran Agama dan Wahyu: Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tapi sebagian hal lain tidak.
- Kebenaran Intuitif: Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung Kouros dan museum Getty.
- Kebenaran Karena Trial dan Error: Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.
- Kebenaran Spekulasi: Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.
- Kebenaran Karena Kewibawaan: Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
Demikianlah tulisan saya dalam mencari kebenaran yang merupakan gabungan dari tema pertama (kebenaran) dan tema kedua (kebenaran ilmiah). Hasil eksplorasi ini memberikan kedalam philosofis dalam menafsirkan fenomena kehidupan dan pencarian jati diri pribadi sebagai sebuah tinjauan teoritis. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
- Deutsch E. 1979, On truth: An ontological theory. The University Press of Hawai, Honolulu.
- Jamaluddin T. 2007. Netralitas sains. http://agorsiloku.wordpress.com/2007/%2002/%2011/perbedaan-cara-pandang-saintis-dan-pakar-filsafat-ilmu/(diakses tanggal 16.09.2008).
- Kuhn T. 1970. The Structure of scientific revolutions, revised ed. The University of Chicago Press. Chicago-London.
- Niriah A. 2008. Epistemologi ekonomi islam. http://agustianto.niriah.com/ 2008/03/11 epistemologi-ekonomi-islam/ (diakses tanggal 16.09.2008).
- Putrawan, B.K. 2008. Hakikat kebenaran. http://bkputrawan.blogspot.com/ 2008/02/hakikat-kebenaran.html
- Russell B. 2006. Fakta, kepercayaan, kebenaran dan pengetahuan, p.70-86. Dalam Suriasumantri J.S. Ilmu dalam perspektif, sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
- Singgih, E.G. Kuhn dan Küng: Perubahan Paradigma Ilmu dan Dampaknya Terhadap Teologi Kristen. www.geocities.com/perwati2003 (diakses tanggal 16.09.2008).
Suriasumantri J.S. 1982. Filsafat ilmu : Sebuah pengantar populer. Sinar Harapan. Jakarta
- The Free Dictionary. 2008. http://www.thefreedictionary.com/Truth (diakses tanggal 16.09.2008).
- Trian H.A. 2005. Berbicara (lagi) tentang kebenaran. http://3an.blogspot.com/ /2005/06/berbicara-lagi-tentang-kebenaran.html (diakses tanggal 16.09. 2008).
- Wahono R.S. 2008. Hakekat kebenaran. http://romisatriawahono.net/2007/02/ 20/hakekat-kebenaran/ (diakses tanggal 16.09.2008).
- Wahyudi I. 2004. Refleksi tentang kebenaran ilmu. Jurnal Filsafat, 38(3):254-261.
- Wilujeng S.H., Hadi P.H. 2006. Makna kebenaran dalam epistemologi Friedrich WilhelmNietsche (The meaning of truth in Friedrich Nietsche’s epistemology). HUMANIKA Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-Ilmu Humaniora UGM, 19(3):371-381.