http://www.mail-archive.com/obrolan-bandar@yahoogroups.com/msg66018.html
obrolan-bandar
[obrolan-bandar] Laba bersih TBLA naik 60 kali lipat
Eka Suwandana
Sun, 04 May 2008 19:06:28 -0700
sekali lagi elo pada GOBLOK dan bawel! ha ha ha ha..............................
Eka Suwandana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Ah capek komentarin. Andai TBLA dan INDF di NYSE, udah gap up!
Bukan masalah rendeman, harga dan panen naik. Betul lahan kelas III tapi
tahun ini lompatan panen cycle.
Kalo mau invest di sawit bukan baca buku TEKNIKAL bukan juga baca buku BUFFETOLOGY, baca buku "Panduan Lengkap Kelapa Sawit" by IYUNG PAHAN.
Kalo baca buku teknikal elo2 bandar dibodo2in aja ama BAKRIE!
Wednesday, May 21, 2008
Berselancar Dalam Lautan Kehidupan
Mencari keseimbangan adalah opsi dasar dari suatu pendekatan ekonomi atas nama penawaran dan permintaan. Berselancar dalam lautan kehidupan adalah opsi lain yang tidak sekedar meletakkan seorang pribadi sebagai obyek, tetapi menciptakan takdirnya sendiri melalui mekanisme subyektivitas. Jika meluncur adalah memanfaatkan dorongan lingkungan untuk mencari jalan yang nyaman dan seimbang, maka berselancar adalah fungsi dari suatu proses peluncuran. Banyak filsafat dan kejadian yang becerita dan bertualang di antara seputar issue keseimbangan, mulai dari konsep yin dan yang (positif dan negatif) pada bangsa Tiongkok Kuno sampai pendekatan penyanyi dangdut Vetty Vera yang ingin ”sedang-sedang saja.” Keseimbangan menjadi dasar dari pondasi ilmu ekonomi, dimana keuntungan optimal tercipta pada situasi biaya marginal sama dengan pendapatan marginal. Situasi ini dapat didetekesi pada uji turunan pertama dan uji turunan kedua. Secara berseloroh, saya katakan bahwa fungsi kebalikan (inverse) dari logarithmic natural (ln) t adalah nilai dari turunan ln t (baca: turunan lon te) = 1/t (baca: seperte). Seperte siapa, seperte kau! Itupun sah-sah saja bagi seorang sastrawan untuk mengaktuliasasikan opininya secara matematis: 2 x d/cos a (baca: dua kali de per kos a) = en.ak. Bagi seorang sastrawan, pemerkosaan adalah peristiwa yang mengoyak nurani, tetapi bila dua kali diperkosa dan logika subyektivitas memunculkan pembiasaan mekanis sehingga muncul bilangan e pangkat n dikombinasikan dengan kejadian a (perkosaan) yang kesekian kali (pangkat k), maka ini adalah subyektivitas ala voucher isi ulang.
Konon Bapak Mendiknas Prof. Bambang Soedibyo adalah figur yang angker dan kurang suka berinteraksi dengan pendekatan humor. Padahal menurut suatu studi yang sempat saya baca sambil lalu di koran beberapa hari yang lalu (ini toh bukan disertasi, sehingga tidak perlu tinjauan pustaka yang rigid), semakin tinggi respon seseorang terhadap humor, semakin tinggi tingkat kinerjanya di dunia nyata (pantas saja UN menebarkan teror di kalangan pelajar, sampai-sampai anak saya ketakutan tidak lulus UN karena merasa kurang tebal menghitamkan lembar jawaban). Ceritanya adalah seorang wanita yang lapor ke polisi karena diperkosa oleh seorang lelaki. Pada waktu proses verbal dalam pembuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), bapak polisi bertanya: ”Apakah betul kamu diperkosa?” Spontan si wanita menjawab: ”Ya, Pak!” Bapak polisi bertanya kembali sambil mengetik: ”Menurut pengakuan pihak laki-laki, anda berhubungan intim 2 kali. Apakah itu berarti anda diperkosa?” Sambil tersipu wanita itu berkata: ”Saya diperkosa pak, tapi kalau yang kedua itu kan isi ulang, pak.” Logika subyektivitas inipun tetap tidak bisa membuat Bapak Mendiknas tersenyum, sehingga sang pelaku yang berusaha mencairkan suasana tetap tidak bisa mencair. Kesimpulan 2 x d/cos a = en.ak ternyata valid secara kontekstual sesaat (untuk premis ini, saya siap diserang para pembela kesetaraan gender).
Kembali ke konsep berselancar dengan optimalisasi melalui suatu keseimbangan, sesuatu yang secara teori dan konsep benar-benar bagus, ternyata pada saat diimplementasikan menjadi tidak bagus. Bahasa ilmiahnya adalah flaw execution, sesuatu yang jelas-jelas harus dijauhi dan dibuang dari sebuah kisah sukses sebagaimana yang ditulis Prof. Nitin Nohria dalam salah satu artikel di Harvard Business Review tahun 2003. Eksekusi yang menyimpang, seperti konsep pemerintah memindahkan sebagian dana subsidi BBM kepada masyarakat miskin melalui BLT (bantuan langsung tunai), adalah sesuatu yang cantik di atas kertas, tetapi sangat buruk rupa di atas tanah (dunia nyata).
Berselancar dengan lancar adalah kinerja yang sesuai antara strategi dan implementasi. Menterjemahkan strategi menjadi kinerja di lapangan telah dibahas oleh Norton dan Kaplan dengan pendekatan Balanced Scorecard dan Strategy Map. Lengah sedikit saja dalam menyesuaikan dua fungsi yang berlawanan, peristiwa berselancar akan menjadi peristiwa terjengkang atau terjerembab dan mendarat secara kasar dan menyakitkan dalam suatu panggung kehidupan. Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah pendekatan konseptual untuk mempelajari mekanisme berselancar dalam kaitannya dengan pembentukan suatu teori sebagaimana dikemukakan oleh R. Dubin (1978) dalam buku berjudul Theory Building (Rev. Ed), The Free Press, MacMillan, New York. Teori Dubin mengatakan bahwa efektivitas suatu strategi dipengaruhi oleh proses pembelajaran, model mental, pembuatan keputusan, dan kinerja. Dalam konteks cita-cita menjadi seorang Doktor, strategi generik yang diterapkan adalah mencari irisan antara waktu penyelesaian studi dengan indeks prestasi, sehingga menjadi visi pribadi: lulus sebelum waktu studi berakhir (dua tahun) dengan indeks prestasi sempurna (4,00). Dalam kenyataannya, berapa orangkah yang bisa mengimplementasikan visinya menjadi kinerja (kenyataan). Dubin mengatakan bahwa strategi yang baik sekalipun tetap membutuhkan proses pembelajaran untuk bisa dilaksanakan dengan baik. Karena adanya hambatan dalam suatu proses transmisi, V = I.R (hukum Ohm), maka semakin rumit suatu strategi akan menyebabkan energi pembelajaran untuk memahaminya semakin banyak diperlukan, akibat keterbatasan manusia maka terjadi proses reduksi I. Orang yang telah berhasil mepelajari suatu strategi dengan pemahaman di atas rata-rata, ternyata tidak bebas nilai, sehingga model mentalnya baik secara sengaja atau tidak sengaja, mensortir informasi yang akan disaring ke dalam otaknya, dan hanya menyimpan apa yang dia inginkan (suka). Tidak ada orang yang dapat merubah kenyataan ini. Terjadi lagi proses reduksi II. Dengan segala prasangka dan nilai-nilai yang dianut sejak kecil, orang membuat keputusan. Karena keterbatasan data dan fakta, bisa saja suatu keputusan kehilangan elemen sentral dan menghasilkan bias ala BLT yang akan menjadi proses reduksi III. Kemalangan terus berlanjut (bahkan Universitas Negeri Malang diterjemahkan menjadi Unfortunate State University), dimana keputusan yang terlanjur bias dijalankan tanpa persiapan dan antisipasi masalah potensial yang baik, sehingga menimbulkan komplikasi yang berbuntut maksud tak sampai dan menjadi proses reduksi IV. Rektor IPB melalui running text Metro TV telah membuat statemen sebaiknya BLT diganti dengan proyek padat karya, yang tujuannya sama-sama bagi uang tetapi dilaksanakan atas dasar pekerjaan. Masalah jalan yang dibangun tiga bulan kemudian hancur, itu urusan lain. Dasar keyakinannya adalah: Apakah bangsa ini sudah sedemikan hancur sehingga tidak bisa berbuat apa-apa lagi yang bermanfaat bagi manusia dan alam sekitarnya. Rasa-rasanya tidak, kan?
Sebagai pembanding, Australia memberikan BLT kepada rakyatnya yang termasuk kelas masyarakat miskin. Dengan uang ala kadarnya tersebut jelas BLT dimaksudkan untuk memberikan fasilitas penghangat di musim dingin supaya mereka jangan mati di jalanan. Tuhan maha adil, syukurlah dia ciptakan iklim yang favorabel di negara miskin seperti Indonesia. Tak terbayangkan berapa banyak orang miskin yang mati kalau Indonesia beriklim empat musim. Dan karena Tuhan Indonesia yang juga Tuhan Australia Maha Adil, DIA memberikan inspirasi kepada rakyat miskin Australia untuk menggunakan BLT ala kadarnya (standar cost of living Australia) menjadi uang pesiar ke Bali sebagai turis backpacker yang dihormati masyarakat setempat karena membawa devisa masuk. Si Miskin Australia ini bisa berjemur di pantai Kuta, memanfaatkan penginapan home stay yang murah meriah, dan mencari kehangatan gratis tanpa menyalakan mesin pemanas. Alhasil, si bule bisa pulang ke negaranya dengan kulit merah tropis yang seksi dan dianggap sebagai manusia sukses di kultur dua negara. Sukses di Australia karena dianggap mampu menikmati hidup mewah di negara eksotis dengan biaya minimum (kaidah minimalisasi), dan dihormati di Bali karena dianggap tuan pembawa devisa ke Indonesia (pelanggan adalah raja).
Berselancar dalam lautan kehidupan adalah sebuah metafora untuk menunjukkan betapa luasnya rentang variasi dalam kehidupan. Berselancar adalah belajar menyikapi perubahan dan turut memanfaatkan perubahan untuk membawa kita meniti buih dan menciumi kebahagiaan. Situasi tak terbayangkan seperti bermain di Dunia Fantasi Ancol di hari kerja dimana anak-anak sekolah dan karyawan bekerja, serasa Ancol saya yang punya: adalah suatu realitas yang kuhadapi dengan remote working (bekerja dari rumah). Kantor hanyalah suatu hardware yang dibatasi ruang dan waktu dimana saya mempostulatkan diri harus berada disana. Segampang postulat itu dirubah asumsi dan proposisinya, maka kantor yang sebenarnya adalah didalam otak saya. Dimana saya bisa berpikir tenang dan produktif, disitulah kantor saya. Lokasinya bisa dimana saja, di workstation konvensional ala penjajahan atas nama kerja, di bawah pohon rindang di depan taman koleksi, di dalam kamar tidur beraroma mimpi, di dalam mobil, di kedai kopi starbuck, di tempat pelelangan ikan di pinggir sungai Paguyaman dan Teluk Tomini, dimana saja ..........
Kuncinya adalah berselancar, kuatkan iman di atas selembar papan, yang akan memberikan kegembiraan dan kehidupan kepadamu. Inilah renunganku pada suatu malam setelah aku berhasil mentranformasi matriks kehidupan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Konon Bapak Mendiknas Prof. Bambang Soedibyo adalah figur yang angker dan kurang suka berinteraksi dengan pendekatan humor. Padahal menurut suatu studi yang sempat saya baca sambil lalu di koran beberapa hari yang lalu (ini toh bukan disertasi, sehingga tidak perlu tinjauan pustaka yang rigid), semakin tinggi respon seseorang terhadap humor, semakin tinggi tingkat kinerjanya di dunia nyata (pantas saja UN menebarkan teror di kalangan pelajar, sampai-sampai anak saya ketakutan tidak lulus UN karena merasa kurang tebal menghitamkan lembar jawaban). Ceritanya adalah seorang wanita yang lapor ke polisi karena diperkosa oleh seorang lelaki. Pada waktu proses verbal dalam pembuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), bapak polisi bertanya: ”Apakah betul kamu diperkosa?” Spontan si wanita menjawab: ”Ya, Pak!” Bapak polisi bertanya kembali sambil mengetik: ”Menurut pengakuan pihak laki-laki, anda berhubungan intim 2 kali. Apakah itu berarti anda diperkosa?” Sambil tersipu wanita itu berkata: ”Saya diperkosa pak, tapi kalau yang kedua itu kan isi ulang, pak.” Logika subyektivitas inipun tetap tidak bisa membuat Bapak Mendiknas tersenyum, sehingga sang pelaku yang berusaha mencairkan suasana tetap tidak bisa mencair. Kesimpulan 2 x d/cos a = en.ak ternyata valid secara kontekstual sesaat (untuk premis ini, saya siap diserang para pembela kesetaraan gender).
Kembali ke konsep berselancar dengan optimalisasi melalui suatu keseimbangan, sesuatu yang secara teori dan konsep benar-benar bagus, ternyata pada saat diimplementasikan menjadi tidak bagus. Bahasa ilmiahnya adalah flaw execution, sesuatu yang jelas-jelas harus dijauhi dan dibuang dari sebuah kisah sukses sebagaimana yang ditulis Prof. Nitin Nohria dalam salah satu artikel di Harvard Business Review tahun 2003. Eksekusi yang menyimpang, seperti konsep pemerintah memindahkan sebagian dana subsidi BBM kepada masyarakat miskin melalui BLT (bantuan langsung tunai), adalah sesuatu yang cantik di atas kertas, tetapi sangat buruk rupa di atas tanah (dunia nyata).
Berselancar dengan lancar adalah kinerja yang sesuai antara strategi dan implementasi. Menterjemahkan strategi menjadi kinerja di lapangan telah dibahas oleh Norton dan Kaplan dengan pendekatan Balanced Scorecard dan Strategy Map. Lengah sedikit saja dalam menyesuaikan dua fungsi yang berlawanan, peristiwa berselancar akan menjadi peristiwa terjengkang atau terjerembab dan mendarat secara kasar dan menyakitkan dalam suatu panggung kehidupan. Yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah pendekatan konseptual untuk mempelajari mekanisme berselancar dalam kaitannya dengan pembentukan suatu teori sebagaimana dikemukakan oleh R. Dubin (1978) dalam buku berjudul Theory Building (Rev. Ed), The Free Press, MacMillan, New York. Teori Dubin mengatakan bahwa efektivitas suatu strategi dipengaruhi oleh proses pembelajaran, model mental, pembuatan keputusan, dan kinerja. Dalam konteks cita-cita menjadi seorang Doktor, strategi generik yang diterapkan adalah mencari irisan antara waktu penyelesaian studi dengan indeks prestasi, sehingga menjadi visi pribadi: lulus sebelum waktu studi berakhir (dua tahun) dengan indeks prestasi sempurna (4,00). Dalam kenyataannya, berapa orangkah yang bisa mengimplementasikan visinya menjadi kinerja (kenyataan). Dubin mengatakan bahwa strategi yang baik sekalipun tetap membutuhkan proses pembelajaran untuk bisa dilaksanakan dengan baik. Karena adanya hambatan dalam suatu proses transmisi, V = I.R (hukum Ohm), maka semakin rumit suatu strategi akan menyebabkan energi pembelajaran untuk memahaminya semakin banyak diperlukan, akibat keterbatasan manusia maka terjadi proses reduksi I. Orang yang telah berhasil mepelajari suatu strategi dengan pemahaman di atas rata-rata, ternyata tidak bebas nilai, sehingga model mentalnya baik secara sengaja atau tidak sengaja, mensortir informasi yang akan disaring ke dalam otaknya, dan hanya menyimpan apa yang dia inginkan (suka). Tidak ada orang yang dapat merubah kenyataan ini. Terjadi lagi proses reduksi II. Dengan segala prasangka dan nilai-nilai yang dianut sejak kecil, orang membuat keputusan. Karena keterbatasan data dan fakta, bisa saja suatu keputusan kehilangan elemen sentral dan menghasilkan bias ala BLT yang akan menjadi proses reduksi III. Kemalangan terus berlanjut (bahkan Universitas Negeri Malang diterjemahkan menjadi Unfortunate State University), dimana keputusan yang terlanjur bias dijalankan tanpa persiapan dan antisipasi masalah potensial yang baik, sehingga menimbulkan komplikasi yang berbuntut maksud tak sampai dan menjadi proses reduksi IV. Rektor IPB melalui running text Metro TV telah membuat statemen sebaiknya BLT diganti dengan proyek padat karya, yang tujuannya sama-sama bagi uang tetapi dilaksanakan atas dasar pekerjaan. Masalah jalan yang dibangun tiga bulan kemudian hancur, itu urusan lain. Dasar keyakinannya adalah: Apakah bangsa ini sudah sedemikan hancur sehingga tidak bisa berbuat apa-apa lagi yang bermanfaat bagi manusia dan alam sekitarnya. Rasa-rasanya tidak, kan?
Sebagai pembanding, Australia memberikan BLT kepada rakyatnya yang termasuk kelas masyarakat miskin. Dengan uang ala kadarnya tersebut jelas BLT dimaksudkan untuk memberikan fasilitas penghangat di musim dingin supaya mereka jangan mati di jalanan. Tuhan maha adil, syukurlah dia ciptakan iklim yang favorabel di negara miskin seperti Indonesia. Tak terbayangkan berapa banyak orang miskin yang mati kalau Indonesia beriklim empat musim. Dan karena Tuhan Indonesia yang juga Tuhan Australia Maha Adil, DIA memberikan inspirasi kepada rakyat miskin Australia untuk menggunakan BLT ala kadarnya (standar cost of living Australia) menjadi uang pesiar ke Bali sebagai turis backpacker yang dihormati masyarakat setempat karena membawa devisa masuk. Si Miskin Australia ini bisa berjemur di pantai Kuta, memanfaatkan penginapan home stay yang murah meriah, dan mencari kehangatan gratis tanpa menyalakan mesin pemanas. Alhasil, si bule bisa pulang ke negaranya dengan kulit merah tropis yang seksi dan dianggap sebagai manusia sukses di kultur dua negara. Sukses di Australia karena dianggap mampu menikmati hidup mewah di negara eksotis dengan biaya minimum (kaidah minimalisasi), dan dihormati di Bali karena dianggap tuan pembawa devisa ke Indonesia (pelanggan adalah raja).
Berselancar dalam lautan kehidupan adalah sebuah metafora untuk menunjukkan betapa luasnya rentang variasi dalam kehidupan. Berselancar adalah belajar menyikapi perubahan dan turut memanfaatkan perubahan untuk membawa kita meniti buih dan menciumi kebahagiaan. Situasi tak terbayangkan seperti bermain di Dunia Fantasi Ancol di hari kerja dimana anak-anak sekolah dan karyawan bekerja, serasa Ancol saya yang punya: adalah suatu realitas yang kuhadapi dengan remote working (bekerja dari rumah). Kantor hanyalah suatu hardware yang dibatasi ruang dan waktu dimana saya mempostulatkan diri harus berada disana. Segampang postulat itu dirubah asumsi dan proposisinya, maka kantor yang sebenarnya adalah didalam otak saya. Dimana saya bisa berpikir tenang dan produktif, disitulah kantor saya. Lokasinya bisa dimana saja, di workstation konvensional ala penjajahan atas nama kerja, di bawah pohon rindang di depan taman koleksi, di dalam kamar tidur beraroma mimpi, di dalam mobil, di kedai kopi starbuck, di tempat pelelangan ikan di pinggir sungai Paguyaman dan Teluk Tomini, dimana saja ..........
Kuncinya adalah berselancar, kuatkan iman di atas selembar papan, yang akan memberikan kegembiraan dan kehidupan kepadamu. Inilah renunganku pada suatu malam setelah aku berhasil mentranformasi matriks kehidupan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)