Dentingan piano melantunkan Heart of Summer pada musim kemarau basah di bulan Juni 2007, ketika aku menulis memoar ini. La Nina telah menyampiri kehidupan, dan entah mengapa anak perempuan selalu diasosiasikan dengan hujan dan basah. Seperti seloka yang selalu terwujud dalam rima 4 bait yang tediri dari 2 bait sampiran dan 2 bait isi, kearifan sastra melayu itu akhirnya diterima dalam konteks budaya Jawa yang mlayu abiis alias berlalu entah kemana.
Sebuah memoar adalah refleksi kejadian masa lalu, dan sayangnya logika waktu sering kali terbolak-balik, sehingga pengalaman masa lalu kerap di manipulasi dengan konteks kekinian (recent). Jadilah resensi kehidupan diri sendiri tidak jujur terhadap asas orisinalitas. Penulisan sejarah akhirnya menjadi legitimasi bagi si menang: pahlawan bagi yang menang, dan si kalah adalah penjahat laknat. Lihatlah Sukarno ketika Orde Baru masih berkuasa, dan renungkanlah caci maki kepada Suharto ketika dia digulingkan pada tahun 1998. Sejarah menjadi usaha legitimasi versi penguasa, dan konteks sejarah itulah yang terulang seperti seorang komentator sepak bola di televisi yang berkomentar dengan ringan: “Sejarah kembali terulang.”
Bagaimana kita harus menyiasati hidup, biasanya kita tak ingin membicarakannya. Kehidupan yang mudah adalah yang mengalir apa adanya, cenderung datar dengan tempo lamban, sehingga minim gesekan dan harmonis dengan lingkungan sekitar. Ketika sebuah atau beberapa buah keinginan tumbuh di hati, sesuatu itu menyebabkan perubahan orientasi sehingga perspektif terhadap lingkungan menjadi berubah. Bagi yang ingin hidup mengalir apa adanya, mengejar target yang bergerak adalah suatu keniskalaan. Bagi yang hidup dengan ideologi perjuangan, mengejar target yang bergerak adalah suatu keniscayaan, keharusan, dan jika tak dapat terpuaskan, maka hidup menjadi seakan tak bermakna.
Ketika kekuatan konteks berhasil dibangun dalam suatu keadaan, maka seperti sebuah rencana pernikahan yang telah dipersiapkan dengan matang, dimana sang calon pengantin telah menjalankan ritual-ritual untuk membersihkan diri dan jiwanya menuju momentum puncak penyatuan jiwa secara simbolis dalam ikatan pernikahan. Sekonyong-konyong dan tiba-tiba diterima kabar bahwa sang pengantin wanita meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang. Katastrofa dan perubahan drastis telah mengubah akumulasi momen kebahagian yang terbentuk sepanjang proses menjelang pernikahan menjadi kehampaan yang menghancur-leburkan makna suatu konteks.
Menjadi seorang calon Doktor (promovendus) mungkin tak lebih dari seekor wedus dalam konteks kontemporer kehidupan masa kini dengan kekiniannya. Gelar kebangsawanan ataupun gelar akademis adalah legitimasi kelas masyarakat, dimana orang mencoba bermigrasi demi mendapatkan status yang lebih tinggi sehingga kelak dapat ditransformasi menjadi materi yang lebih berkualitas dan berkuantitas. Menjadi seorang Doktor berarti boleh berbeda pendapat, tetapi pasti tak mau berbeda pendapatan. Inilah legitimasi kelas.
Pergolakan suasana batin hari ini sebenarnya tak perlu terjadi kalau kapasitas keluasan dan kedalaman hati, serta waktu cukup tersedia untuk melarutkan semua permasalahan. Semua masalah dunia akan terurai dengan sendirinya (mengalami swa-penguraian) bila diberi waktu yang cukup. Permasalahannya adalah kita tidak memiliki cukup waktu untuk membiarkan masalah itu mengalami swa-penguraian, karena hati kita telah membuat keinginan-keinginan yang ingin didapatkan secara seketika dan instan. Ketika budaya instan merasuki seluruh dimensi kehidupan, maka kita menjadi instansi (ingin selalu cepat), yang justru paradoks dengan intansi pemerintah yang menempatkan birokrasi sebagai pusat perlambatan atas nama kehati-hatian atau sekedar melepas rodi (menghabiskan jam kerja).
Monday, June 25, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment