Tuesday, November 20, 2007

Surat Terakhir untuk Highlander

Untuk Bapak, sesepuh tanah tinggi
Caretaker dari kebun setelah lelah jadi direksi.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga,
maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia ini tidak lain hanyakah kesenangan yang mempedayakan.
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Untuk ibu, pelaksana kerja tak kenal lelah
Timbunan energi yang akan meledak bila tak disalurkan
Dan merasa sakit-sakitan bila tak bergerak badan.
Masih banyak kerja yang harus dilakukan bukan hanya pada gerak badan
dan urusan-urusan kecil mubazir
Yang sebenarnya tak perlu dilakukan
Seperti memotong ayam dengan pisau jagal sapi
Sehingga ayamnya mati dengan leher putus
Dan tak halal lagi untuk dimakan umat yang percaya akan hal itu.
Duh ibu, tidak kah akan lara hati kita
Melihat anak dan cucu kita memendam duka lara dukana
Di hari raya yang fitrah untuk saling memaafkan lahir dan batin
Harus terusir pulang karena amarah.
Haruskah kita bercermin di air keruh itu lalu meludahi muka sendiri.
Hai jiwa yang tenang …
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Di senja usia yang kian menyeret langkah kita
Mari tegakkan langkah di jalan yang lurus.

Untuk anak lelaki yang seharusnya jadi panutan orang-orang
Yang bekerja penuh semangat giat
Kian terseret langkah kita di jalan sepi ini
Janganlah kita lakukan perbuatan keji mengundang murka sang Pencipta
Banyak nona-nona rupawan yang bisa tersenyum dengan ikhlas
Tapi mereka tak selalu mau memberi kita senyum secara cuma-cuma
Tuhan mencipta semua yang ada dengan seimbang
Kalau pun ada kelainan, itulah batu ujian yang harus ditempuh dan dilewati
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Mari kita coba melangkah lagi, menyusuri jalan yang tak sepi
Banyak teman untuk berusaha mencari bahagia yang diridhai-Nya.

Untuk manajer perkebunan, seorang lelaki yang berusaha memberikan kemakmuran pada tanah tinggi
Kita memang bukan robot yang tak kenal lelah
Kita manusia yang butuh makan minum, perhatian dan kasih sayang
Tapi bukan, … bukan karena itu kita harus mundur
Bila tidak kita dapatkan bahagia di hati kita
Kita ini manusia yang sadar punya hati dan cinta,
setelah kenyang diambing ombak kehidupan untuk mencarinya
Akankah kita tinggalkan segala kenyataan yang ada hanya dengan berusaha untuk lupa?
Setelah kita sadar bahwa kita telah lupa
Dan tetap terkungkung di tanah tinggi ini
Pergilah jauh bila memang ingin bebas seperti burung di angkasa
Bila angin terlalu keras, berkepaklah lebih keras
Bebas lepas atau karena kita lupa kita tak pernah belajar terbang dengan keras kita terhempas
Di rumah kita ada kayu-kayu cinta yang telah kering
Jangan biarkan itu tak terkendali membakar rumah tangga
Atau kita membuangnya karena kita memakai kompor saja
Yang suatu waktu bisa meledak dan membakar
Dan meratakan segalanya.

Untuk kerani administrasi,
seorang anak perempuan yang rambutnya selalu tak dikepang
Yang setiap malam menyulut dian asa dan setiap pagi
Mengayun langkah bersimbah peluh
Untuk menggantungkan tinggi-tinggi dian asa yang disulutnya saban malam
Setiap sore
Dengan pena rindu dilukisnya wajah lelaki setengah baya
Di dadanya yang penuh cita ada terselip sebuah desah yang risau
Dan mengapa begitu sukar bagi kita untuk menangkap bentuk resah semacam itu.

Untuk kepala gudang, jejaka tanggung dirundung sepi
Menyimak angka-angka detak hari berlalu dengan setengah hati
Akankah berganti hari-hari sunyi itu bila kita tidak taburi dengan kesabaran
Untuk menempuh pepohonan yang membiru di bukit, di balik emplasemen itu
Senyum senandungmu menyeberang kabut
Di sini, di luar jendela pagi
Dan kau tak perlu teramat sedih karena terlalu sunyi
Karena sunyi itu emasmu.


Tanah Tinggi, Sukabumi 3 Oktober 1986

No comments: