Wednesday, December 26, 2007

Aku Ingin Membangun, Tetapi Tetap Sayang Lingkungan


Sebuah Kontemplasi Oleh Iyung Pahan


Aku, katakanlah itu hanya dalam persepsiku, tiba-tiba saja merasa berat dengan asesoris yang menempel dalam karakteristik kehidupan yang mengharuskan aku menyesuaikan diri dengan hakikat perubahan karakteristik itu sendiri. Aku seperti penderita aleksitimia, merasakannya dengan lengkap tetapi tidak mampu mengungkapkannya secara verbal. Alhasil, aku menulis dan melukis, sehingga abstraksi keadaan ini mudah-mudahan menjadi kado kecil perjalanan hidupku, mencoba memanjakan diri dengan apa yang dinamakan kenangan. Walapun kadang kala kenangan hidup di perkebunan itu bukanlah sesuatu yang kuinginkan. Ya ... iapun bisa saja menjadi anak haram dari sistem yang tidak diinginkan kehadirannya, ditolak keberadaannya, tetapi dia nyata, dan akupun harus merelakan hati ini > unplugged (apa adanya): aku ingin membangun, tetapi tetap sayang lingkungan.

Di penghujung hari yang melelahkan, aku duduk di kesunyian sebuah gedung di mana bentang jalan Sudirman dan Thamrin di kota Jakarta kelihatan agak berkabut. Samar-samar dari domain sebuah radio internet di depanku terdengar reportase penyiar yang melaporkan hiruk-pikuk sirkus politik Pilkada Sulawesi Selatan karena silang sengkarut penghitungan suara berbuntut pemilu ulangan di empat kabupaten.

Baru saja aku menerima surat elektronis dari beberapa pelanggan di manca negara. Mereka khawatir bahwa produk minyak kelapa sawit yang dijual kepadanya, dihasilkan dengan kaidah yang merusak keseimbangan alam dan merupakan salah satu penyebab kehancuran hutan tropis. Aku minum segelas air berkadar oksigen tinggi untuk menurunkan ketidakseimbangan metabolisme tubuh dan mendinginkan kepalaku: walaupun aku sadar oksigen diserap melalui paru-paru, bukan melalui usus kecil. Aku benci dengan kebancian mereka, karena sudah lama menggunakan minyak sawit dalam sejumlah besar produk yang mereka hasilkan, tetapi tidak berani mencantumkan kata “mengandung minyak sawit” dalam label produk dan fakta kandungan gizinya. Mereka menekanku untuk membuktikan kepada dunia bahwa industri minyak sawit di negara ini tetap sayang lingkungan.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional telah meningkatkan tekanan kepada para pengguna minyak sawit pelanggan perusahaanku dengan kampanye yang sistematik. Mereka mendiskreditkan industri minyak sawit Indonesia sebagai industri yang ”merusak lingkungan,” dengan mengaitkannya pada kerusakan hutan, kebakaran hutan, banjir, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) penduduk lokal, pemiskinan penduduk lokal, pembuangan limbah dan penggunaan pestisida yang berlebihan.

Mereka persis seperti masyarakat yang mengecam eksistensi seorang Spider Man tetapi tetap membutuhkan kehadirannya untuk memberantas kejahatan. Minyak sawit adalah minyak nabati yang dikecam sebagai “anak haram” dari praktek pertanian dunia, tetapi mereka tetap mencarinya karena manfaat dan harganya yang relatif murah dibandingkan dengan minyak dan lemak nabati lainnya. Karena sifat industri hilir berbahan baku minyak nabati yang memiliki kemampuan sifat saling tukar-menukar (interchangeable) tinggi dalam penggunaan berbagai jenis bahan baku, status “anak haram” akhirnya digadaikan demi marjin komersial yang lebih tinggi.

Tuhan menciptakan “anak haram” dari suatu konteks peradaban, tentunya sarat dengan maksud-maksud tertentu. Industri minyak sawit adalah tulang punggung ekspor non migas Indonesia, yang nyata-nyata merupakan asset nasional yang harus dijaga. Status “anak haram” adalah label yang ditempelkan oleh kepincangan sistem label dunia yang diskriminatif. Mereka menuntut kita untuk menjaga keanekaragaman lingkungan hidup supaya menciptakan kemaslahatan bagi dunia, tetapi tidak mau menanggung sebagian biayanya. Kita memiliki harta yang berfungsi juga untuk menjaga mutu lingkungan global, dan apakah kita tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan kita. Apakah konsep menjaga eksistensi hutan-hujan-tropis bagi masyarakat miskin yang kelaparan dan tidak memiliki alternatif lain selain memanfaatkan asset hutan yang dimilikinya, merupakan konsep yang kasat mata dan bisa diikuti dengan hati yang besar? Impian akan perdagangan karbon dari kesepakatan jalan Bali di penghujung tahun 2007 menyiratkan rona harapan di balik kabut ketidakpastian. Kemiskinan adalah akar dari kejahatan. Pembangunan kebun kelapa sawit adalah salah satu alternatif untuk mengentaskan kemiskinan, walaupun belum pernah dilakukan penelitian secara ilmiah untuk membutikannya. Beberapa teman LSM berupaya meyakinkan bahwa membiarkan hutan apa adanya dalam konteks perdagangan karbon akan memberikan manfaat yang lebih besar ketimbang membukanya menjadi kebun sawit. Pertanyaannya adalah bagaimana konsep perdagangan karbon yang adil, dan benarkah praktik membayar kompensasi untuk mengesahkan pencemaran lingkungan yang dilakukan industri di negara maju? Hasil penelitian yang dilakukan Bank Dunia di Afrika jelas-jelas menyimpulkan bahwa pembangunan kebun tanaman tahunan berhasil mengentaskan kemiskinan masyarakat di sana. Menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan harkat kemanusiaan dengan memberikan kebanggaan melalui kerja. Seperti Khalil Gibran yang subtil menabuhkan mantra tentang kerja: ... dan benarlah hidup ini hampa bila tiada dorongan, dan setiap dorongan adalah tiada berarti tanpa kerja. Dengan kerja hidup berejawantah ... Bagaimana nasib komunitas penduduk lokal bila ditaburi uang mudah dari perdagangan karbon, dimana karbon menjadi komoditas yang menelantarkan ethos kerja dan memarginalkan keseimbangan antara kerja dengan kemalasan menjadi kemalasan tanpa bekerja. Jika bekerja dibayar seribu, dan tidak bekerja dibayar lima ratus, maka secara tidak logis, masyarakat akan memlih kerja tak kerja dibayar seribu lima ratus.

Lalu tiba-tiba, tuan-tuan konsumen dari negara-negara yang menyatakan dirinya negara maju dan beradab, melakukan boikot dan memproklamirkan dirinya tidak mau membeli produk minyak sawit dan turunannya karena alasan yang absurd, yaitu dihasilkan melalui pembukaan lahan dari hutan.

Apakah adil jika kita tidak menyukai salah seorang pemain sepakbola di liga Inggris, lalu kita memutuskan untuk memboikot seluruh team sepakbola yang ada di planet ini? Lalu kita menghimbau semua orang agar tidak menonton pertandingan sepakbola di seluruh dunia, karena salah satu pemain sepakbola di liga Inggris dianggap bermain kasar dan mengingkari peraturan yang berlaku. Apakah ini adil bagi persepakbolaan dunia?

Aku terhenyak dalam keniscayaan menghadapi paradoks pemikiran ini. Dan untuk melakukan pertukaran pemahaman dan konsep, tidak ada cara lain selain berbicara dengan kerangka dan bahasa yang sama. Untuk memahami dinamika suatu bangsa, kita harus memahami konteks budaya dan berbicara dengan bahasa bangsa tersebut. Lalu aku mengosongkan pikiran dalam hening dan mulai berpikir dengan paradigma LSM untuk memahami apa yang ada dalam perspektif industri kelapa sawit dengan melihat totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia di sekitar perkebunan yang mencirikan suatu masyarakat atau penduduk, yang ditansmisikan secara bersama.

Aku mendapat pemahaman bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, budaya ini merujuk pada nilai-­nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian­-pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan sangat bervariasi dalam berbagai organisasi yang berbeda. Dalam kasus perusahaan perkebunan dan LSM, ternyata mereka mempunyai pemahaman yang sama yaitu mencari keuntungan (profit), mensejahterakan masyarakat (people) dan menjaga lingkungan (planet). Yang berbeda adalah urutan prioritasnya saja, dimana perkebunan mempunyai sudut pandang 3-P dengan urutan profit, people dan planet, sedangkan LSM adalah 3-P dengan urutan planet, people dan profit. Para aktivis LSM tidak terlalu berorientasi pada keuntungan materi tetapi sangat peduli pada kelestarian lingkungan dan kepentingan serta kesejahteraan masyarakat yang mereka anggap tak berdaya.

Sebaliknya, aku mempunyai konsep dasar bahwa perkebunan harus mendapatkan keuntungan dahulu, sebelum dia bisa mensejahterakan lingkungan di sekitarnya. Seseorang harus kaya dan memiliki harta dahulu, sebelum dia bisa menyumbangkan hartanya kepada orang lain yang memerlukannya. Bisa saja orang miskin menyumbangkan hartanya kepada orang lain yang lebih miskin lagi, tetapi seberapa besarkah dampak yang bisa dihasilkan dari sumbangan ala kadarnya itu? Oleh karena itu, aku tetap berkeyakinan bahwa untuk mensejahterakan orang lain secara efektif, kita harus sejahtera dahulu. Selama kita belum sejahtera, kemampuan kita untuk membantu orang lain akan sangat terbatas dan cenderung tidak efektif.

Hanya saja, upaya mencari keuntungan ini tetap akan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan matang guna menghilangkan masalah potensial yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungannnya. Oleh karena itu, keinginan untuk membangun perkebunan harus dilakukan dengan kaidah sayang lingkungan berdasarkan konsep 3-P: Profit (Keuntungan), People (Manusia), dan Planet (Lingkungan).

Kita harus bisa menisbikan issue bahwa pembukaan kebun kelapa sawit merupakan sumber utama perusakan hutan, dengan melakukan bantahan dengan menggunakan kerangka penilaian yang sama. Salah satu konsep yang telah diterima secara internasional dalam menilai lingkungan (hutan) adalah konsep HCVF yang diformulasikan oleh FSC (Forest Stewardship Council).

Pembukaan lahan perkebunan umumnya berasal dari pembukaan hutan, padang alang-alang, dan peremajaan. Berdasarkan laju pembukaan lahan saat ini, sumber utama pembukaan lahan adalah dari hutan. Hutan mempunyai nilai-nilai ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan yang penting. Membuka hutan tidak boleh dilakukan secara ”hantam kromo” tanpa kaidah dan norma, yang akibatnya dapat mengganggu keseimbangan perkebunan dengan manusia dan lingkungan di sekitarnya.

Nilai penting hutan antara lain kekayaan keanekaragaman hayati, daerah tangkapan air, dan nilai budaya suku-suku yang dominan di daerah hutan. Hutan yang mengandung nilai penting ini dalam situasi yang kritis disebut hutan dengan nilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF).

Bagian kawasan yang mengandung nilai konservasi tinggi (HCV) ini harus dikelola secara khusus sehingga nilai tersebut dapat dipertahankan, dan kalau bisa ditingkatkan. Konversi lahan menjadi perkebunan harus menghindari pembukaan hutan yang mengandung HCV. Untuk itu dalam teknik pembukaan lahan dan interaksi kebun dengan lingkungan, perlu dipahami mekanisme penentuan suatu kawasan sebagai HCV.

Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan tidak akan dilakukan pada kawasan hutan yang mengandung konsentrasi nilai-nilai keragaman hayati yang penting secara global, regional maupun nasional: seperti hutan lindung, adanya spesies genting dan terancam punah, adanya spesies endemik, tempat perlindungan satwa, serta adanya konsentrasi spesies sesaat sehubungan dengan siklus hidupnya.

Kita tidak akan membukan kawasan hutan berupa hamparan hutan luas yang penting secara nasional, regional, atau global, dimana populasi spesies yang ada, hidup dalam pola alamiah atau dalam distribusi alamiah yang berlimpah.

Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan tidak akan dilakukan pada kawasan hutan yang berada di dalam atau mengandung ekosistem yang terancam, seperti hutan dataran rendah, hutan rawa gambut (peat swamp forest) dan hutan rawa air tawar (freshwater swamp forest), hutan mangrove, hutan di bagian atas dan bawah gunung (upper and lower montane forest), serta padang rumput

Kita akan menghindari pembukaan kawasan hutan yang memberikan jasa atau kegunaan mendasar secara alamiah dalam keadaan kritis seperti: sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, hutan untuk penyerapan air dan pencegahan erosi, hutan untuk penghambat meluasnya kebakaran, serta hutan yang mempunyai pengaruh kritis terhadap pertanian dan budidaya perairan.

Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan tidak akan dilakukan pada kawasan hutan yang sangat diperlukan sebagai sumber kebutuhan dasar penduduk lokal seperti hutan yang merupakan sumber penghidupan atau pendapatan bagi penduduk setempat termasuk forest-dependent communities yang sangat penting dan tidak tergantikan.

Kita tidak akan membuka kawasan hutan berupa kawasan hutan yang sangat diperlukan oleh komunitas lokal untuk mempertahankan indentitas budaya mereka, yaitu kawasan hutan yang memberikan nilai atau benda tertentu, dimana bila nilai atau benda tersebut hilang maka komunitas tersebut akan mengalami perubahan budaya yang drastis.

Sebagai ikrar keinginanku untuk membuka lahan dan membangun perkebunan yang tetap sayang lingkungan, aku akan :

1. Mengutamakan pemanfaatan lahan-lahan kritis dan terlantar, ketimbang membuka hamparan hutan primer.
2. Menghindari pembukaan hutan rawa gambut dan rawa air tawar yang mempunyai water retention level yang tinggi.
3. Tidak membuka hutan yang memiliki spesies terancam dan hampir punah seperti gajah, harimau, orang hutan dll.
4. Tidak membuka hutan yang merupakan sumber nafkah penduduk lokal, seperti hutan yang mengandung tanaman rotan, pokok sialang, dll.
5. Mempertahankan koridor hutan sepanjang pinggir sungai.
6. Mempertahankan areal hutan keramat yang berhubungan dengan ritual atau budaya penduduk lokal.
7. Melakukan pembukaan lahan tanpa proses bakar.
8. Mempersiapkan dokumen AMDAL dan melaksanakannya dengan konsisten dalam operasional pembangunan kebun.
9. Menanam kacangan penutup tanah (LCC) untuk memperbaiki struktur tanah dengan penambahan bahan organik dan mengurangi penggunaan herbisida.
10. Pada areal yang bergelombang dan agak curam membuat teras bersambung untuk meningkatkan ketersedian air di lapangan dan mencegah erosi.
11. Menggunakan teknik pengendalian hama terpadu dengan musuh alami untuk mengurangi penggunaan pestisida yang berlebihan.
12. Melaksanakan daur ulang tandan buah kosong, limbah cair, dan teknik pengomposan untuk substitusi pupuk anorganik, guna mengurangi tekanan pada instalasi pengolahan limbah.
13. Melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar kebun dengan melakukan pembinaan lembaga ekonomi dan kesempatan kerja bagi masyarakat.
14. Memfasilitasi kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan olahraga.

Waktu terus berlalu, dan banyak kearifan yang kita dapati dari alam seiring dengan berlalunya waktu. Mudah-mudahan konsep hasil renungan ini akan berhasil membangun perkebunan kelapa sawit yang berkesinambungan dan bisa menjadi sumber inspirasi bagi teman-teman lain untuk membangun negara ini dengan lebih baik lagi tanpa menekan kelestarian alam.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Manusia yang baik akan meninggalkan lingkungan yang baik untuk anak cucunya dan mereka akan mendoakan kebahagiaannya dunia dan akhirat. Manusia yang tidak baik akan meninggalkan lingkungan yang rusak, dan akan menerima caci maki dan sumpah serapah yang berkepanjangan. Kita meminjam planet ini dari anak cucu kita, jadi jangan kecewakan mereka dengan mati meninggalkan utang yang pedih dan sumpah serapah yang memilukan. Mari kita membangun, tetapi kita tetap sayang lingkungan.

No comments: