Friday, May 18, 2007

Kekerasan Telah Menjadi Wabah di Sekolah

Belum surut pemberitaan kekerasan di IPDN Sumedang yang menewaskan praja Cliff Muntu, publik kembali digoncang praktik kekerasan di SD yang berbuntut meninggalnya seorang anak SD kelas 2 di Jakarta Timur karena dipukul oleh 4 orang rekannya, yang tiga diantaranya adalah anak perempuan. Kekerasan juga terjadi di SMA Pangudi Luhur Jakarta. Praktik kekerasan (bullying) telah merebak dari perguruan tinggi, sekolah menengah, sampai sekolah dasar dalam berbagai rupa yang secara homogen menasbihkan perilaku kekerasan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia telah mencapai tipping point yang mengkhawatirkan. Tidak perduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda, seakan-akan perilaku kekerasan telah menjadi menu wajib dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah dan berbudi pekerti lembut. Budi pekerti yang lembut mungkin telah menjadi budi pekerti lelembut, yang telah mencampuraduk dan mengharubiru perilaku manusia dari anasir tanah dengan perilaku kaum lelembut yang dibuat dari anasir api. Dan ketika tanah bercampur dengan api, maka terjadilah proses pengerasan hati yang membuat suara hati bungkam, sehingga terefleksi dalam perilaku doyan kekerasan yang merupakan manifestasi homo homini lupus.

Memang belum ada penelitian ilmiah yang dilakukan terhadap para pelajar dan mahasiswa Indonesia tentang perilaku kekerasan dan penganiayaan di sekolah. Memang belum ada alat yang teruji secara ilmiah untuk mengukur penganiayaan dan kekerasan di antara murid sekolah. Tarshis dan Huffman (2007) yang melakukan penelitian perilaku kekerasan dan penganiayaan di Amerika Serikat, mengakui bahwa alat yang mereka gunakan lebih merupakan analisis pengurutan secara statistik terhadap respon kuesioner (http://www.bayareachild.org klik pada PIPS Questionnaire) yang mereka kirim ke sekolah-sekolah untuk melihat apakah pendekatan itu merupakan alat pengukuran yang baik.

Hasil penelitian Dr. Thomas P. Tarshis dari Bay Area Children’s Association di Cupertino, California dan Dr. Lynne C. Huffman dari Stanford University School of Medicine seperti dilaporkan oleh Anne Harding dari Reuters Health (2007): Kekerasan dan penganiayaan telah menyebar secara subur di sekolah-sekolah AS. Peneliti yang mengirim kuesioner ke sekolah-sekolah menemukan fakta bahwa para pelajar mengalami berbagai tindak kekerasan dan penganiayaan, seperti: ”mereka membuatku menangis, memaksaku, memalakku, menolakku.” Setelah menganalisis seluruh respon, para peneliti menemukan bahwa 89.5% anak-anak menjadi korban kekerasan, dan 59.0% para pelajar melakukan tindak kekerasan dalam berbagai purwa rupa.

Untuk melakukan tindak pencegahan kekerasan di sekolah kelihatannya harus dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan tidak hanya para pelajar tetapi juga para guru, pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat. Tindakan secara ad hoc seperti mengawasi para pelajar secara ketat tidak akan menyelesaikan masalah. Kunci keberhasilannya adalah membuat perubahan paradigma bahwa perilaku kekerasan dan penganiayaan adalah sesuatu yang tidak benar, dengan menekankan kepada para pelajar bahwa mereka harus melakukan perlawanan terhadap praktik kekerasan sehingga mereka tidak akan menjadi korban. Dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dinamis, dimana praktik kekerasan mencapai status quo karena semua pihak saling menahan diri untuk melakukan kekerasan. Pada saat itulah tercipta perdamaian di sekolah-sekolah secara permanen.

Sumber: Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, April 2007.

Wednesday, May 16, 2007

Tersangka dan Tanggung Jawab Moral Perusahaan

Secara leksikal, terminologi tersangka adalah seseorang yang dengan tidak sengaja disangka melakukan sesuatu. Tidak disangka-sangka adalah sesuatu yang terjadi diluar perkiraan atau sangkaan. Tetapi menjadi tersangka dalam suatu kasus hukum adalah salah satu tahapan menjelang status terdakwa di pengadilan. Bila kelak dakwaan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka status terdakwa menjadi terpidana. Walaupun semuanya menggunakan awalan ter yang berkonotasi sesuatu yang tidak sengaja, upaya para pihak yang terlibat adalah sesuatu yang sangat direncanakan, sangat disengaja dan jauh dari upaya yang kebetulan. Walaupun bisa jadi kebetulan itu sangat jauh dari kebenaran.
Tersebutlah seorang mantan pimpinan yang karena keluguannya dan bisa jadi kenaifan (atau ketololan?), ditunjuk menjadi direktur labi-labi sebuah perusahaan yang tidak menjalankan etika bisnis dan praktik good corporate governance, akhirnya diputuskan menjadi tersangka dalam suatu kasus pidana korporasi. Karena menandatangani dokumen-dokumen perusahaan tanpa menyadari implikasi hukumnya, beliau harus berhadapan dengan penyidik sebagai seorang tersangka. Lalu tindakan apa yang harus dilakukan agar terlepas dari status korban, entah itu terkorbankan atau dikorbankan.
Kejahatan korporasi mewajibkan subyek korporasi sebagai pelaku utama dan pejabat pelaksana sebagai bagian dari subyek korporasi secara hukum. Perusahaan bukan hanya sekedar badan hukum, tetapi juga pribadi moral yang memiliki tanggung jawab sosial-moral. Perusahaan tidak semata-mata memiliki tanggung jawab legal saja. Sebabnya, pertama, sebagaimana dikatakan Milton Friedman perusahaan dalam arti tertentu adalah pribadi artifisial. Hal ini terutama karena perusahaan terdiri dari lembaga atau organisasi manusia yang kegiatannya diputuskan, direncanakan, dan dijalankan oleh manusia. Atas dasar ini, kendati perusahaan bukanlah pribadi moral dalam arti sesungguh-sungguhnya, perusahaan tetap merupakan pribadi moral artifisial. Kegiatan bisnis perusahaan adalah kegiatan yang didasarkan pada perencanaan, keputusan rasional, bebas, dan atas dasar kemauan yang diambil oleh staf manajemen. Karena itu, sesungguhnya sampai tingkat tertentu (secara analogis) perusahaan itu memiliki suara hati.
Artinya, ada kelompok orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kunci yang akan mempertimbangkan dan memutuskan segala kegiatan bisnis suatu perusahaan berdasarkan apa yang dianggap paling tepat dan benar dari segala aspek: bisnis, keuntungan (jangka pendek dan jangka panjang), hukum, dst. Mereka adalah suara batin (inner-self) perusahaan. Karena itu, sebenarnya perusahaan tetap mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Anggapan bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia.
Kedua, adanya anggapan bahwa tanggung jawab moral dan sosial pada dasarnya bersifat pribadi, dan hanya orang yang bersangkutan yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Dalam konteks ini, ada benarnya apa yang dikatakan Friedman bahwa para pimpinan perusahaan tidak bisa mewakili dan mengambil alih tanggung jawab sosial dan moral perusahaan.
Kondisi yang dipostulatkan oleh Friedman di atas hanya berlaku bagi mereka yang masih bisa bertanggung jawab atas tindakannya, yaitu mereka yang bertindak secara sadar, bebas, dan atas kemauannya sendiri. Namun dalam banyak kasus, misalnya seorang anak innocent melakukan sesuatu tindakan yang berakibat merugikan orang lain, tindakan tersebut tidak bisa diterima begitu saja. Dalam kasus dimana kerugian ini sangat besar dan fatal, harus ada pihak tertentu yang bertanggung jawab – tidak hanya secara legal tetapi juga secara moral (kesediaan bertanggung jawab secara legal sudah dengan sendirinya mengisyaratkan kesediaan moral untuk bertanggung jawab). Terlepas dari kenyataan bahwa tindakan tersebut terjadi tanpa disengaja atau tanpa disadari, harus ada yang bertanggung jawab atas tindakan itu. Dalam kasus ini, orang tua atau pihak yang punya otoritas atas anak tersebut mewakili anak itu untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Hal yang sama terjadi pada binatang piaraan. Ketika anjing dobberman lepas dari kandangnya dan menggigit anak tetangga, binatang itu memang tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, tetap saja pemiliknya harus bertanggung jawab, tidak saja secara legal melainkan juga secara moral dan sosial atas tindakan anjing piaraannya itu.
Dengan kedua contoh di atas, hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan sebagai pribadi artifisial. Ketika perusahaan melakukan tindakan bisnis tertentu yang merugikan pihak lain (sesungguhnya merupakan tindakan ”oknum” yang ada di dalam perusahaan tsb.), mau tidak mau harus ada orang yang bertanggung jawab atas tindakan itu. Kalau tidak, manusia-manusia yang bekerja dalam perusahaan itu akan seenaknya melakukan tindakan bisnis apa saja, termasuk merugikan pihak lain tanpa mau peduli, lalu tidak mau bertanggung jawab dengan dalih perusahaan tidak memiliki tanggung jawab moral. Hal ini akan membawa pada kondisi chaos dimana semua perusahaan (baca: manusia yang bekerja di dalam perusahaan) akan saling memakan satu sama lain tanpa ada perasaan tanggung jawab atas tindakannya.
Argumen ini dapat diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa dalam segala aspek kegiatannya perusahaan diwakili oleh staf manajemen. Oleh karena itu, sah saja dalam hal tanggung jawab moral dan sosial perusahaan dapat diwakili oleh staf manajemen. Seluruh kegiatan perusahaan mulai dari perencanaan sampai implementasi (yang berarti di dalamnya sudah melibatkan aspek-aspek moral) dijalankan oleh staf manajemen. Hanya saja konsep staf manajemen ini harus membedakan direktur pengelola dengan direktur labi-labi.
Ketiga, dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa dipindahkan dari tanggung jawab moral. Oleh karena itu, kenyataan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab legal sudah menyiratkan bahwa perusahaanpun memiliki tanggung jawab moral, karena tanggung jawab legal hanya mungkin dijalankan secara serius kalau ada sikap moral untuk bertanggung jawab. Tanpa sikap moral untuk menerima tanggung jawab itu, tanggung jawab legal tidak memiliki makna apapun.
Berdasarkan argumen-argumen yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan tetap memiliki tanggung jawab moral dan sosial. Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada di tangan para manajer, maka tanggung jawab moral dan sosial dipikul oleh para staf manajemen sebagai konsekuensi logis dari pelimpahan seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan kepada para manajer. Dalam kasus pimpinan yang merupakan direktur labi-labi, tanggung jawab staf manajemen secara tidak adil dipindahkan ke direktur labi-labi yang menjadi subyek dalam konteks pelengkap penderita.
Bahkan sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan. Seluruh karyawan memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan dimana mereka bekerja. Ketika mereka menjalankan pekerjaan dan kegiatan bisnis apapun sebagai karyawan perusahaan, mereka dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan moral atas nama perusahaan mereka. Melalui karyawan inilah tanggung jawab sosial dan moral perusahaan menemukan bentuk dan manifestasinya yang paling nyata dan transparan.
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah kepedulian perusahaan terhadap kepentingan-kepentingan pihak lain secara lebih luas daripada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Artinya dalam mengejar keuntungan, perusahaan tidak dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan pihak-pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat luas dan tax avoidance yang ilegal. Kendati secara moral perusahaan dibenarkan mengejar keuntungan sebagai kepentingan utama, keuntungan itu harus dicapai dengan tetap mengindahkan kepentingan orang banyak.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan menuntut perusahaan dijalankan dengan tetap bersikap tanggap, peduli, dan bertanggung jawab atas hak dan kepentingan banyak pihak lainnya. Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, harus ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat, dimana manusia saling membutuhkan orang lain dan ikut menyumbangkan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing demi kepentingan hidup bersama.

Tuesday, May 15, 2007

Bagaimana Cara Kita Belajar

Berdasarkan kutipan (di bawah ini) dari William Glasser (American psychiatrist, pengembang Reality Therapy and Choice Theory), cara kita belajar tentang sesuatu adalah:
  • 10% dari apa yang kita BACA
  • 20% dari apa yang kita DENGAR
  • 30% dari apa yang kita LIHAT
  • 50% dari apa yang kita LIHAT dan DENGAR
  • 70% dari apa yang kita DISKUSIKAN dengan ORANG LAIN
  • 80% dari apa yang kita ALAMI SECARA PRIBADI
  • 95% dari apa yang kita AJARKAN KEPADA ORANG LAIN

Angka-angka ini belum tentu benar, tetapi kelihatannya cukup masuk akal. Karena standar kuliah klasik dengan datang dan dengar dosen saja minimal dapat 50%, dan kalau diskusi kasus dalam kelompok dapat 70%, lalu kalau ditekuni secara pribadi pasti 80%, dan bila masih sempat nerangin ke teman-teman yang nggak mudeng, pasti 95% dan woow itu sudah pasti A. Sayangnya nggak ada yang A+ sih.

The Turtle Director

Kata Direktur yang berwibawa itu sering kali diplesetkan oleh masyarakat menjadi “direken batur.” Dianggap sebagai batur. Batur yang dalam bahasa Jawa artinya adalah teman, tetapi telah mengalami penurunan makna secara peyoratif dan berasosiasi dengan profesi pembantu laki-laki, sama halnya dengan kata mbok yang artinya ibu telah diposisikan sebagai profesi babu. Demikianlah makna Direktur telah terdepresiasi sedemikian parahnya karena banyaknya praktik perusahaan ali baba dalam era orde baru atau baba ali dalam era reformasi sekarang ini. Fenomena ini menciptakan kelas direktur baru yang secara populer dinamakan direktur labi-labi (turtle director). Labi-labi adalah sejenis kura-kura air tawar yang tongkrongannya cukup besar dan garang, tetapi tidak memiliki daya apapun ketika batoknya disenggol dan terbalik. Tinggallah dia pasrah saja menunggu takdirnya, dan bila bertemu dengan manusia yang karnivora, maka sudah dapat dipastikan takdirnya akan berujung ke restoran eksklusif yang menyajikan menu sop labi-labi obat. Takdir berujung kematian bagi labi-labi ternyata menjadi obat (entah untuk penyakit apapun) yang menyembuhkan bagi orang lain.
Dari fabel labi-labi inilah analogi seorang direktor proforma yang di mata hukum dianggap mampu dan bertanggung jawab atas jalannya suatu perusahaan, tetapi dalam praktiknya tidak memiliki wewenang eksekusi, kerap disebut direktur labi-labi (selanjutnya disebut DIRLL). DIRLL ini adalah orang yang biasanya buta hukum (walaupun kadang-kadang pendidikannya tinggi), dan merasa sangat bangga ketika diangkat menjadi direktur, yang seolah-olah memberikannya kewenangan mengelola perusahaan. Mohon maaf, DIRLL bukanlah managing director, tetapi hanyalah sekedar direktur proforma yang tercantum di akte perusahaan, tidak memiliki wewenang eksekutif, dan diposisikan sebagai bumper bagi pemilik perusahaan. Bumper yang melindungi pemilik dari tanggung jawab hukum, ketika terjadi komplikasi dalam praktik perusahaan yang menyalahi etika bisnis dan menyimpang dari good corporate governance. Biasanya DIRLL tidak menyadari dampak dari tanggung jawabnya sebagai DIRLL, dan merasa cukup bangga dengan atribut sebagai DIRLL dalam kartu nama, dan sudah puas dengan sedikit permen dan remah-remah roti yang diberikan pemilik dalam bentuk bonus atau tambahan gaji yang nilainya tak seberapa dengan besarnya tanggung jawab yang harus diembannya.
Kemudian ketika turbulensi datang baik itu berupa goncangan tektonik di bawah permukaan organisasi, maupun prahara yang menggesek kerucut dan pucuk-pucuk struktur organisasi, maka terjadilah perubahan cepat yang luar biasa. Dalam hitungan hari, praktik perusahaan yang menyalahi etika bisnis terungkap ke permukaan dan mendapat ekspose panas matahari yang terus menerus. Maka terciptalah pemanasan global dalam organisasi, dimana-mana es yang selama ini membeku akhirnya mencair dan menggenangi bibir-bibir pantai dalam labirin struktur organisasi yang selama ini aman tentram dan damai. Perlahan-lahan struktur organisasi mengalami deformasi, dimana bagian pucuk yang selama ini biasanya powerfull dan berkibar di atas, secara sengaja menyamarkan dirinya menjadi bagian yang rendah hati dan turun ke dasar piramida untuk berbagi kebersamaan. Jadilah bagian tengah piramida diposisikan sebagai pucuk piramida yang menghadapi terpaan prahara, dan mereka selulup dan sembunyi dibalik kelambu kevlar yang tahan peluru atas dasar meeting penting di luar, sehingga tidak terkena panas matahari yang semakin membakar.
Kasihan DIRLL yang hanya menerima permen dan remah-remah roti, harus terlentang dan dibakar sinar matahari yang semakin ganas di pinggir pantai yang airnya semakin tinggi. Kalaupun dia sanggup membalikkan dirinya, maka habitatnya telah berubah dari air tawar menjadi air asin. Labi-labi bukanlah ikan salmon yang sanggup hidup di dua habitat berbeda. Maka demikianlah nasib si labi-labi telah ditakdirkan.
Peringatan kepada teman-teman yang menjadi DIRLL, tolong kaji kembali posisi DIRLL kalian menggunakan teknik SWOT. Apa yang menjadi kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats). Kalau yang dominan adalah kelemahan dan ancaman, maka buatlah strategi yang meminimumkan kelemahan dan ancaman tersebut. Jangan sampai nasib harus berujung penjara karena kebodohan semata-mata, yang dicurangi oleh pemilik yang semena-mena. Jangan ditipu dan merasa senang dengan tipuan itu. Ini bukan sulap, ini adalah palsu. Kepalsuan dunia yang penuh dengan aksi tipu-tipu, woow jagonya!

Friday, May 11, 2007

SMART PEOPLE and WISE PEOPLE

SMART
PEOPLE
LEARN
FROM
EXPERIENCE




WISE
PEOPLE
LEARN
FROM THE
EXPERIENCES OF OTHERS


Source: Ichak Adizes, World Executive’s Digest Frameable No. 115

Mencari Kebahagian

Puisi ini kutulis 24 tahun yang lalu
Ketika itu aku masih seorang mahasiswa yang lugu
Berusaha mencari kebahagiaan dalam impian
Yang luruh ditiup angin .....

Ada perasaan yang nyaman saat aku melamun
Kenyamanan itu hanya datang bila aku menghayal
Hayalanku hanya timbul dari penderitaan
Kini aku bahagia
Tapi aku tak bisa menghayal lagi
Aku tak boleh merasa bahagia
Harus!
Hatiku harus ku kecewakan
Supaya aku menderita
Dan aku bisa menghayal lagi.

Kucari seorang gadis rupawan
Yang harus kucintai
Dan dengan segalanya kuketuk pintu rumahnya
Ku mengharap bukan ayahnya yang keluar
Cukuplah dia atau siapa saja asal jangan herdernya saja
Memang dia putri seorang punggawa
Dan kutatap wajahnya
Dengan perasaan cinta
Kuyakinkan hatiku supaya ia menolak cintaku
Dan kuucapkan padanya:
Wahai putri punggawa ijinkan aku mengutarakan isi hati
Memuntahkan segala uneg-uneg di dada
Dengarkan:
Aku cinta padamu!

Kutunggu
Dan yang kuinginkan tercapailah:
Maaf bung, aku tak kenal kamu
Dan maaf aku tak berani menerima cinta bung
Pulanglah! Mungkin di jalan kau dapatkan cinta
Kucing-kucingku belum kusisir bulunya.

Aku berlari
Hatiku kecewa
Dan aku mulai menghayal.

Aku bahagia kini
Tapi aku tak boleh merasa terlalu bahagia
Karena kebahagiaanku akan hilang bila aku tak mampu menghayal lagi
Akhirnya aku jenuh
Dan aku tak dapat melamun.

Mengapa aku hanya menghayal bila menderita
Akan kucoba merasa bahagia dan aku akan bahagia selamanya
Kudekati gadis yang seperti Sophia Boleditjuba umur 17
Tentu saja tidak seperti caraku dahulu
Dengan lembut kutemui dia
Kurayu
Dan kini dia jadi milikku
Hari-hari berikutnya aku merasa bahagia
Dan aku mulai menghayal
Sungguh!
Kini aku bahagia
Tapi apa daya
Sang ayah tidak setuju:
Apa yang kau harap dari seorang penghayal
Dan aku tak ingin anakku hidup dalam mimpi
Katanya kepadaku dan anaknya.

Hayalanku berantakan
Dan aku merasa tak bahagia
Aku ingin menghajar sang ayah
Supaya aku bisa masuk penjara
Dan aku dapat menghayal di sana
Kubulatkan tekad
Kudatang kepadanya
Kuketuk pintu dan kutanya:
Sigmund Freud menjadi terkenal karena mimpi
Mengapa bapak tidak setuju saya berhubungan dengan anak bapak karena kami hidup dalam mimpi?
Kamu mau apa?
Apakah bapak tidak setuju anak bapak saya nikahi?
Kurang ajar …!
Kutinju hidungnya … dan berdarah
Dia roboh
Kepalanya berlumuran darah membentur pintu
Istrinya berteriak
Tetangga-tetangga berdatangan
Kau akan kuadukan kepada polisi …!
Adukanlah!
Kutunggu kalian di kantor polisi
Aku akan memindahkan barang-barangku dahulu ke sana.

Semua orang tak akan mengerti diriku
Termasuk Sophia yang masih menungguku di alun-alun kota
Berjanji nonton wayang kemarin sore.

Feng Shui: The Spirit of Change

Realitas tentang perubahan ialah bahwa, karena kita tidak pernah yakin bahwa perubahan hidup kita adalah untuk sesuatu yang lebih baik, tidak seorang pun menyukai perubahan. Kestabilan dan kebiasaan adalah wilayah-wilayah yang aman bagi kita. Namun, perubahan untuk sesuatu yang lebih baik kadang-kadang kelihatan samar atau malah tidak terlihat sama sekali.

Tersebutlah kisah tentang sebuah sungai kecil yang sumbernya dari puncak gunung nun jauh di atas sana. Sungai kecil itu mengalir menuruni gunung tersebut dan melintasi berbagai jenis wilayah dataran. Akhirnya, sungai itu mencapai dataran rendah gurun pasir. Ketika sungai itu mecoba melintasi gurun tersebut, pasir gurun itu segera menelannya. Tak perduli seberapa hebat usaha sungai itu melintasi padang pasir itu, ia tetap tidak sanggup. Setiap usaha yang telah dilakukan dengan begitu hebat tetap harus berakhir dengan kekalahan total. Semakin sungai itu bersikeras melintas, begitu juga pasir tersebut bersikeras menelannya habis.

Tiba-tiba sungai itu mendengar suara ghaib dari padang pasir itu, “Yang anda lakukan hanyalah mengulang-ulangi cara lama yang sama, berusaha melintas. Supaya berhasil, anda perlu berubah. Kalau anda ingin melintasi gurun tersebut, perhatikanlah angin. Angin menyeberang tanpa kerja keras. Kalau angin bisa melakukannya, anda juga demikian. Ayoooo, kamu bisa!”

Sungai itu keberatan, “Angin bisa terbang, tetapi saya tidak.”

Suara itu menjawab, “Biarkanlah angin itu membawa anda.”

“Dan bagaimana hal itu bisa terjadi?” Tanya sungai itu.

Suara dari dalam pasir itu menjawab, “Dengan membiarkan diri anda terserap angin tersebut, anda mungkin bisa dibawa menyeberang. Kemudian angin itu akan membiarkan anda turun lagi sebagai hujan dan anda dapat membentuk sungai lagi.”

Si sungai tidak terkesan dengan strategi penyeberangan ini. Namun, bagaimana pun juga, ia harus berubah dengan meninggalkan cara-cara lama dan semua yang sudah terbiasa dengan dirinya.

Suara dari dalam pasir itu terus berkata, “Kalau anda tetap di sini. Anda akan lenyap dan terserap seluruhnya oleh padang pasir tersebut tanpa sempat menjadi diri anda sendiri. Kalau anda menerima perubahan dengan tangan terbuka dan membiarkan angin tersebut membawa anda menyeberangi padang pasir ini dan kemudian menjadi sungai yang baru, anda akan menikmati suasana segar dunia baru.”

Lewat perubahan, orang berkembang. Sama seperti sungai tersebut. Manusia juga menolak perubahan: Apa yang tidak diketahui selalu kelihatan menakutkan. Oleh sebab itu, pelajaran paling penting yang harus diambil adalah MENGHORMATI PERUBAHAN. Lewat perubahan, kemungkinan-kemungkinan-baru akan terbuka. Kita menghormati perubahan dengan menerimanya. Kerelaan mencari jalan perubahan akan membawa hasil yang bermanfaat. Kalau kita tetap bertahan, sama seperti sungai itu, kita akan ditelan oleh butir-butir pasir kehidupan.

Walaupun bertahan, sungai itu akhirnya melompat ke pangkuan sang angin dan, ketika angin itu membawanya melintasi gurun, ia mengingat pengalaman besar ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Angin tersebut melintasi padang gurun dan menurunkan aliran air kecil sebagai hujan gerimis. Hujan itu akan berkumpul dalam sungai besar. Aliran kecil tersebut telah berubah menjadi anak sungai besar yang akan melayani banyak kota dan kampung sebelum bergabung dengan lautan. Inilah yang dinamakan oleh dunia ilmiah sebagai siklus air atau hidro-orologi. Konsep metafisika air dan angin ini dalam budaya Tiongkok dikenal sebagai feng-shui (hong sui).

Pada suatu malam tak berangin, nyala lilin berkelap-kelip, ia membesar dan mengecil dengan selalu berubah-ubah. Inilah hakekat benda-benda dunia ini. Di dunia ini tidak ada yang abadi, satu-satunya yang abadi adalah perubahan, yaitu adanya ketidak-abadian. Dalam kesunyian aktivitas composting terdapat aktivitas yang rumit berupa regenerasi dan degenerasi. Dalam ketenangan wajah seorang pemuda terdapat aktivitas tersembunyi berupa pertumbuhan dan penuaan.

Waktu berjalan seirama dengan perubahan. Dalam waktu, segala sesuatu harus berubah. Kita harus belajar mengubah kehendak bebas kita sendiri sebagaimana yang terjadi dengan sungai itu. Jangan takut kehilangan pribadi kita yang lama; Ikutilah dunia baru yang belum anda kenal itu. Perubahan itu adalah ibunya pertumbuhan dan perkembangan serta keberhasilan.

Namun demikian, perubahan sebesar apa pun lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Kita sering lebih suka bermain di wilayah penderitaan yang sudah kita kenal ketimbang di wilayah metamorfosis yang belum kita kenal. Setiap hari, cara berpikir, cara bertindak, dan cara kita merasakan, akan membentuk kontur hidup kita. Kita harus mempunyai komitmen untuk menghormati perubahan; dan transformasi secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya. Manusia berharap mereka dan hidupnya akan benar-benar tetap sama. Mereka tidak ingin Tuhan mengguncang perahu rutinitas harian mereka, namun dengan ajaib mengharapkan rahmat dan kemakmuran jatuh begitu saja ke dalam kehidupan mereka.

Mengenai hakekat untuk berubah dan keengganan untuk berubah, coba kita simak dari balik email yang saya terima dari teman saya Ami Shaka [on deadly lunch]

Menara Kembar Petronas Lantai 40, Suatu Ketika:

There are 3 men (an Indian, a Chinese and a Malay) went to work as usual and when it came to their lunch break they each opened their respective lunch baskets:
Indian: Roti Prata!!...every day get roti prrrata, I tell you if I get roti prata again tomorrow I shall jump off this building!

Chinese: Hor Fun! Wah lau, if tomorrow kana Hor Fun again I'll jump off this building!
Malay: Nasi Lemak again! Ala, if I get anymore Nasi Lemak tomorrow I shall jump off this building!

[and so they solemnly ate their lunches]
Jelas bahwa ketiga orang ini selalu mendapat menu yang sama dari hari ke hari dan mereka tidak senang dengan keadaan ini. Mereka saling lihat makanan yang lain dan semua setuju bahwa makan siang besok harus berbeda. Kalau masih sama, mereka akan bunuh diri.

The next day:

Indian: Wonderersami!! I don't believe it! It's Roti again! [and so he jumped off the building]

Chinese: "Kanina *X?%&?" Hor Fun again! [he too jumped off the building]
Malay: Alamak!!! Nasi Lemak again! [off he went to jump]

During their funerals, wives all crying:

Indian's wife: I never knew that my husband hated my Roti Prata so much...if I knew I wouldn't have made for him!

Chinese' wife: Yah lor! I go thru so much effort and time each day to make his favorites Hor Fun and yet he died b'cos of it!!

Malay's wife: At least the both of you know why they committed suicide... I don't understand why my husband should have jumped off the building when he makes his own lunch everyday...
Kalau memang orang harus memilih apakah mau bunuh diri atau mau berubah, mungkin ada yang lebih senang bunuh diri saja.

Inspired from:
Chu, Chin-Ning. 1999. Journey to the City of Prosperity – The Single Supreme Secret of Money. Elex Media Komputindo. Jakarta.

The Carpenter and His Home (not so) Sweet Home

Dari sumber Anonim di Internet

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat.

Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta.

Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri karirnya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu”, katanya, "hadiah dari kami."

Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali.

Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik.

Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.

Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam Seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.

Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan. "Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri".

Bagikanlah renungan ini kepada sahabat dan teman-teman Anda, niscaya kebajikan dan hikmat akan kembali jua kepada kebaikan yang Anda bagikan.

Thursday, May 10, 2007

Hati ini > Unplugged

Kita menaruh kepercayaan terhadap setiap usaha individu mengembangkan potensi mereka serta terhadap tanggung jawab organisasi memperlakukan setiap orang secara adil demi kepentingan bersama. Kita menekankan kejujuran, serta mendorong keterbukaan dalam mendiskusikan baik kemajuan maupun masalah
- Jargon Nilai-Nilai Suatu Organisasi
(KEPERCAYAAN DAN SALING MENGHARGAI)
Tulisan ini adalah refleksi dan kontemplasi pribadi ketika menghadapi turbulensi organisasi pada suatu masa, pada suatu tempat.

Asesoris Kehidupan
Aku, katakanlah itu hanya dalam persepsiku, tiba-tiba saja merasa berat dengan asesoris yang menempel dalam karakteristik kehidupan yang mengharuskan aku menyesuaikan diri dengan hakikat perubahan karakteristik itu sendiri. Aku seperti penderita Aleksitimia, merasakannya dengan lengkap tetapi tidak mampu mengungkapkannya secara verbal. Alhasil, aku menulis dan melukis, sehingga abstraksi keadaan ini mudah-mudahan menjadi kado kecil perjalanan hidupku, mencoba memanjakan diri dengan apa yang dinamakan kenangan. Walapun kadang kala kenangan itu bukanlah sesuatu yang kuinginkan. Ya ... iapun bisa saja menjadi anak haram dari sistem yang tidak diinginkan kehadirannya, ditolak keberadaannya, tetapi dia nyata, dan akupun harus merelakan hati ini > unplugged.

Hakekat ketidaksamaan hari ini dengan hari kemarin adalah suatu konsep dilatasi (pemuaian) waktu yang dipostulatkan oleh seorang Einstein. Jika segalanya bisa dituangkan dalam model dan dibuat sebuah teori, maka the sum of all fears a’la Tom Clancy bisa menjadi teori the sum of all everything nya Einstein. Kemarin aku melekat dengan kondisi yang mengatas-namakan diriku sebagai pejabat struktural dalam suatu organisasi. Dan karena fungsi waktu dalam reaksi spontan, Tuhan menciptakan turbulensi untuk meningkatan entropi sistem. Sama seperti kita mengaduk gula dalam secangkir kopi. Arsitektur organisasi tetap sama, tingkatan energinya saja yang berubah. Beberapa elektron tereksitasi ketingkat energi yang lebih tinggi, dan beberapa terpental ke orbital yang lebih rendah. Secara unsur, organisasi ini tetaplah stabil. Ia tetaplah suatu unsur. Yang membedakannya hanyalah jumlah ion yang merepresentasikan valensi, yang menentukan apakah ia akan berikatan dengan unsur lain yang bermuatan kebalikannya (sesuai dengan jumlah valensinya). Kalau dulu, unsur itu bervalensi 1, sekarang ia mungkin bervalensi 2. H2O dan H2O2 adalah analogi yang paling simpel. Sebagai H2O ia adalah air yang memberikan kehidupan, memberikan kenyamanan dan kehidupan bagi sel-sel organisme. Dan karena perubahan valensi, H2O2 adalah hydrogen peroxide yang mematikan aktivitas sel.

Model Kehidupan
Saat ini, neraca perasaanku berada dalam kondisi tidak seimbang. Ketidakseimbangan antara kebanggaan dan kekecewaan. Dan ini memberikan beban bagi diriku. Kesalahanku yang utama adalah memposisikan diriku sebagai neraca analitik Sartorius dalam satuan miligram dengan tingkat ketelitian 4 angka dibelakang koma. Perubahan sepersepuluh ribu miligram, sudah cukup untuk menggoyangkan perasaanku dengan sigfnifikan. Aku tidak perlu merasakan ini, seandainya diriku adalah timbangan pasaran yang mengukur berat ringan kadar sesuatu dengan satuan ons. Neraca yang masih bisa mengangguk-angguk walaupun keadaannya belum tentu setimbang. Malangnya, pemborosan 4 angka dibelakang koma itu harus dihadapkan dengan kenyataan toleransi dua angka di depan koma. Aku merasa seperti koma, terjepit di antara dua angka. Dan aku akan betul-betul koma. Selamat tinggal bilangan 4, 5, 3, 2, x, 1, x. Dan aku mengakhirnya dengan titik.

Mungkin aku membutuhkan analisis kompleksitas dan komputasi cellular automata Stephen Wolfram untuk melihat kedalaman hati dan perasaan. Darimana munculnya rasa iri hati, dengki, cemburu, cinta dan bahagia dalam model kehidupan yang kompleks. Darimana dan mengapa muncul perasaan itu? Berapakah panjang gelombang suara yang bisa menimbulkan rasa cinta atau benci? Apakah merupakan suatu kehendak bebas (free will) ataukah suatu determinasi? Dia berseru seperti anakku di antara rak toko buku (aku membiasakan anak-anakku berkunjung dan bermain di toko buku), mencariku: Papi … dimanakah kau? Aku terperangah dalam keniscayaanku: kacian deh lu!

Entropi adalah derajat kekacauan di dalam suatu sistem. Nilainya selalu negatif, dan akan semakin negatif dengan fungsi waktu. Entropi itu akan terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Itu yang dikatakan hukum termodinamika. Perasaan itu adalah energi. Energi itu akan meningkat dan semakin negatif. Dunia akan kiamat ketika nilai entropi tidak bisa ditolerir oleh batas-batas materi. Materi akan berubah menjadi energi, E = mc2. Bang! Massa berubah menjadi energi. Alam fisik berubah menjadi metafisik. Kehidupan ditransformasi menjadi energi, menjadi roh. Untuk dikumpulkan dan dibangkitkan dalam padang mashyar.

Menurut hukum termodinamika pertama (kekekalan energi), energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Dia hanya berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lainnya. Oleh karena itu Tuhan melarang manusia berbohong. Karena pada saat berbohong itu, energi kinetik yang dipancarkan tidak akan hilang. Dia akan terus merambat di alam semesta, berubah dari energi kinetik menjadi energi potensial. Disimpan di dalam super hard disk yang di scanning secara real time oleh operator Mungkar dan Nakir. Pada saat E = mc2 terjadi, semua kebohongan dan kebaikan akan di preview secara cepat. Pada saat itulah kaki, tangan dan seluruh organ tubuhmu menjadi saksi perbuatanmu.


Hati ini > unplugged
Dalam musik ada aliran unplugged yang menempatkan akustik sebagai ornamen utama di atas segala manipulasi nada dan irama secara elektronis. Kepolosan akustik adalah menempatkan nada dan timbre seperti apa adanya, menciptakan harmoni dan keselarasan dengan pendengarnya. Unplugged tersenyum tanpa gincu, tetapi tetap sensual.

Hati ini > unplugged. Seperti kelompok penyanyi the Corrs asal Skotlandia menembangkan Forgiven not Forgotten, hati ini seperti diaduk-aduk ketika menghadapi realita aristektur organisasi. Kepolosan akustik menghadapi realita heavy metal dan MIDI. Organisasi ini seperti pelikan Monterey yang terancam punah karena tidak memiliki naluri berburu akibat sekian lama dimanjakan lingkungannya. Bahkan pelikan ini pun heran melihat ikan bisa berenang, karena biasanya mereka mendapat makanan dari sortiran sisa-sisa ikan di pelabuhan bongkar muat.

Teman saya Dr Winarso mengirimkan email tentang Tukang Ember dan Saluran Air, cerita tentang tokoh fiktif Dr Kuswata yang polos dan kumuh serta upaya penyelamatan pelikan. Dia terinspirasi oleh tulisan seorang penulis lingkungan terkenal, Marvin Williams, yang menceritakan upaya penyelamatan Populasi Pelikan di pantai Monterey.

Pantai Monterey adalah pantai berpanorama indah di California. Dahulu penduduknya .. amat bangga dengan banyaknya burung pelikan. Burung-burung pemakan ikan itu menjadi betah, karena kondisinya yang tenteram jauh dari gangguan dan yang jelas pantai itu amat kaya ikan. Karena kaya akan ikan, para nelayan menangkapnya secara berlebihan dan ikan-ikan yang tidak memenuhi standar mutu, menjadi makanan 'gratis' bagi pelikan-pelikan itu. Para pelikan kehilangan naluri berburu. Sama seperti Dr Kuswata, yang terbiasa hidup dan berkarya serba mudah – full facilitated – dan murah ketika studi di LN, sesampai di tanah air, menjadi kehilangan naluri mencari kesempatan sampingan. Masih mending, karena lembaga Kuswata masih berstatus PTN. Bayangkan teman-temannya yang di PTS atau Perusahaan-perusahaan swasta lainnya, yang the owner is the big boss (dengan segala atributnya).

Nah, tiba-tiba keluar undang-undang pelarangan penangkapan ikan di pantai Monterey. Para pelikan kehilangan ikan 'gratis'. Sayang, naluri berburu sudah hilang, karena sudah tidak ada lagi tempat belajar. Sejak pecah dari telur, tahunya para tetua mereka tinggal ambil saja ikan-ikan sortiran yang melimpah di area bongkar muat kapal nelayan. Jangan-jangan pelikan-pelikan itu malah heran bila melihat bahwa ikan dapat berenang. Pelikan terancam kepunahan karena kebiasaan yang terbentuk sejak lahir. Mirip dengan kebiasaan pendidikan formal seseorang dan 'cekokan' nasihat para orang tua. Sama seperti Dr Kuswata, ketika menyadari bahwa lembaga tempat bekerjanya akan berubah menjadi PT-BHMN, jangan-jangan dia akan masuk ke dalam 30% staf pengajar yang harus menyingkir (atau tersingkir),

Para ahli lingkungan kelabakan dan mencari segala daya upaya untuk menyelamatkan populasi ribuan pelikan dari pantai Monterey itu dari kepunahan. Bisa-bisa hilang kebanggaan masyarakat setempat. Seperti keterancaman Dr Kuswata yang akan memasuki era BHMN. Sayang, Kuswata bukan Pelikan, jadi harus berusaha sendiri menghindar dari kepunahan, bukan? Dan usaha itu selalu gagal. Untung, yang gagal adalah penyelamatan pelikan bukan upaya Dr Kuswata, karena Kuswata baru mulai! Akhirnya muncul ide, mendatangkan pelikan-pelikan dari pantai lain. Pelikan-pelikan yang masih memiliki naluri berburu. Pelikan-pelikan yang masih sadar bahwa ikan itu berenang dalam air laut dan harus ditangkapnya untuk dapat dimakan atau disuapkan kepada anak-anaknya. Pelikan-pelikan yang sejak kecil selalu melihat induknya membawakan ikan suapan dari arah laut, bukan dari Tempat Pelelangan Ikan. Pelikan-pelikan yang selalu mendapat pelajaran perjuangan hidup dalam kebebasan, bukan sekedar keamanan dari jaminan pihak yang lebih dominan!

Pelikan-pelikan sejati itu berasal dari pantai Florida, yang berjarak 2000 mil dari Monterey. Tidak tanggung-tanggung, ratusan pelikan digiring terbang dari Florida ke Monterey. Jumlah yang cukup signifikan untuk berbaur dan berinteraksi. Kejutan! Beberapa ekor pelikan Monterey sepertinya mau belajar (teachable) kepada pelikan-pelikan tamu dari Florida itu. Sementara pelikan Florida tentunya senang menemukan area sumber pakan yang sangat melimpah. Ladang perburuan yang ikannya masih bebas alami. Jumlah pelikan Monterey yang belajar berburu pun ternyata berduplikasi, bertambah banyak. Belum lagi, adanya perbauran atau perkawinan antara pelikan Florida dan Monterey. Menetaskan keturunan pelikan yang memiliki visi dan misi baru. Pelikan yang pandai dan bernaluri berburu ikan. Populasi pelikan Monterey terselamatkan.

Lalu bagaimana dengan populasi organisasi ini? Akankah pemahaman proses bisnis masih seperti pelikan Monterey? Sarah Needleman dari CareerJournal.com The Wall Street Journal berbagi pemahaman dalam tulisannya Wanted: HR Executives With Business Know-How. Seorang eksekutif SDM layak dianalogikan menjadi pelikan Florida jika dia:
  1. Memiliki ketrampilan yang seimbang antara strategi dan implementasi.
  2. Mempunyai pemahaman terhadap proses bisnis yang lengkap, dan memiliki kemampuan aplikasi software HR dengan track record yang baik.
  3. Mampu berkomunikasi dengan orang-orang di dalam perusahaan, mengenai apa yang dia lakukan dan apa yang mereka lakukan untuk memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian target perusahaan.
  4. Mempuyai kemampuan mengukur dampak program dan praktek HR terhadap kinerja bottom-line perusahaan.

Perasaanku > plug and play
Bill Gates menyederhanakan semua peripheral Windows XP dengan interkoneksi tak terbatas. Dalam konsep jendela kinerja yang ekstrim (eXtreme Performance), semua peripheral mempunyai platform plug and play dengan kecocokan 100% terhadap jendela yang terbuka. Jadi, selama kita mau masuk dan berjejalan di dalam, silahkan saja lakukan inter koneksi sebanyak yang disukai. Hanya saja, semuanya tergantung kinerja main prosesor dan kapasitas memori yang tersedia.

Kalau diasumsikan prosesor yang dimiliki adalah Intel® Centrino® Core 2 Duo dengan memory SDRAM 2048 MB dan video memory 512 MB DDR, maka secara teoritis bisa menjelajahi ruang maya dari mana saja karena sistem ini mendukung wireless fidelity (wi-fi) ataupun wimax untuk on line tanpa kabel secara mobil.

Maka kinerja sistem sangat tergantung kepada status memori. Berapa persen yang merupakan resident memory, dan tinggal berapa yang masih tersedia untuk menjalankan sistem. Aku ingin kenangan tentang angka-angka dan titik koma itu menghilang dalam arkade perjalananku. Aku ingin meyakinkan diriku, bahwa aku tak memerlukan lagi kenangan-kenangan itu. Kenangan itu adalah sebuah kemewahan yang membuat risi dan lihatlah betapa bangga aku akan diriku dengan atau tanpa kenangan sekalipun. Ini hanya kujadikan rahasia kecil hidupku, bahwa walaupun kita tidak mengkhawatirkan diri kita, tetap ada orang-orang yang khawatir dengan diri kita, baik karena ketulusan hatinya maupun ketakutan karena merasa terancam keberadaannya. Inilah hidup. Kepercayaan dan saling menghargai. Semoga ….

Tuesday, May 8, 2007

7 Habits of Highly Me

MY MISSION:

“TO BE LEADER IN MY INDIVIDUAL AREA OF EXPERTISE AND TO SATISFY CUSTOMER (ORGANIZATION) NEEDS AND WANTS”


PERANAN-PERANAN SAYA:

1. PEMIMPIN “Dengan Suatu Akhir di Dalam Pikiran = Perencanaan”

  • Menciptakan unit kerja yang akan menjadi suatu tim menonjol yang terdiri dari para profesional terlatih, dikenali sebagai yang terbaik di dalam bidang-bidang keahlian individunya, memberikan kontribusi terhadap keberhasilan dan citra dari unit kerja serta perusahaan.
  • Berkembang dengan unit yang memiliki arah dan manfaat yang jelas, dan menanamkan keinginan untuk mencapai tujuan, dimana batu-batu petunjuk kilometer di jalan yang telah dilewati merupakan tujuan akhir yang sama di dalam setiap pikiran (rencana).

2. ENTERPRENEUR “Menjadi Proaktif”

  • Membangun unit efektif.
  • Menyesuaikan kondisi-kondisi yang sedang berubah di sekelilingnya dan menciptakan/mengembangkan proyek-proyek ketika ide-ide yang cemerlang sedang timbul.
  • Mengambil resiko dan secara terus-menerus memajukan unit bilamana ada kesempatan yang muncul.
  • Menghubungkan keahlian/tugas dimana dibutuhkan.
  • Menjadi inisiator sukarela untuk perubahan.

3. MANAGER “Mendahulukan yang Harus Didahulukan & Mengembangkan Hubungan Menang-Menang”

  • Pengalokasi Sumber Daya.
  • Merancang struktur dan proses di unit, bagaimana pekerjaan dibagi dan dikoordinasikan. Melakukan alokasi dan membuat prioritas waktu (tim) saya.
  • Fokus pada keinginan untuk mendengarkan para pelanggan.
  • Tukang Mengatasi Gangguan.
  • Secara efektif menanggapi tekanan-tekanan dan bertindak pada krisis yang terjadi.
  • Sang Negosiator.
  • Mengembangkan kesepakatan menang-menang yang adil dan mengelola harapan-harapan.

4. KOMUNIKATOR “Berusahalah Untuk Memahami, Baru Kemudian Minta Dipahami”

  • Sang Pengamat. Rekam lingkungan sekitar dan bertanyalah (lakukan kontak) kepada orang-orang untuk mencari informasi, opini dan ide; untuk memahami.
  • Sang Penabur. Bagi informasi dan ide-ide secara langsung kepada orang-orang di dalam unit; untuk dikatakan dan mengilhami.
  • Sang Jurubicara. Sampaikan informasi dan ide-ide kepada orang-orang kunci (key person) di luar unit; untuk dikatakan dan memuaskan.

5. HARMONIZER “Sinergi”

  • Menganjurkan kerjasama yang saling menguntungkan, mempertimbangkan partisipasi dan komitmen orang-orang (lain).
  • Membangun pada kekuatan-kekuatan individu-individu di dalam/di luar unit untuk memajukan, secara bersama-sama, menghasilkan yang terbaik dengan kerja tim.

PERANAN & KETRAMPILAN-INTI SAYA “Asahlah Gergaji”

PEMIMPIN

  • Membuat Visi
  • Mengembangkan Misi dan Strategi
  • Mengembangkan SDM - Peranan, Ketrampilan, Ringkasan
  • Mengembangkan Kekuatan Ketrampilan
  • Moral
  • Basic Beliefs

ENTERPRENEUR

  • Kebutuhan dan Keinginan Pelanggan (Perusahaan)
  • Outlook dan trend (Agribisnis)
  • Memahami Sistem dan Proses Agribisnis
  • Realignment Perusahaan
  • Hubungan Bisnis dan Kesempatan-Kesempatan
  • Etika Bisnis dan Praktek-Praktek yang Lazim
  • Bisnis dan Pengukuran Tingkat Kepuasan
  • Hal-Hal yang Menantang Pada Saat Ini

MANAGER

  • Kuadran 2, Manajemen Waktu
  • Proses untuk Menjadi yang Terbaik
  • Managemen Kepuasan Pelanggan
  • Pemecahan Masalah
  • Negosiasi
  • Mengembangkan Pesetujuan Menang-Menang
  • Mengelola Harapan-Harapan

KOMUNIKATOR

  • Mendengarkan, Memahami, Mengingat
  • Melakukan Fasilitasi
  • Mengkomunikasikan/Menyajikan
  • Mengajar
  • Berpidato
  • Kemampuan Bahasa
  • Menulis

HARMONIZER

  • Membangun Tim - Saling Ketergantungan
  • Membangun Hubungan Kepercayaan dan Nilai-NIlai
  • Membangun Kekuatan Proses

Tawuran dan Narkoba pada Generasi Muda

Perspektif gender adalah suatu hal usang yang selalu menarik untuk dipelajari dan diperbaharui dalam perspektif kekinian. Kali ini saya akan mencoba bicara soal anak, membesarkan anak, fenomena tawuran di kalangan pelajar dan konsumsi narkoba yang semakin menakutkan para orang tua dari perspektif ini. Inti dari fenomena ini menggejala karena ketidakseimbangan porsi pengasuhan anak antara figur bapak dan figur ibu.
Jakarta tahun 2007 adalah kota persaingan. Jika kita tidak bisa mengorbankan waktu untuk memberikan pelayanan terhadap pekerjaan kita, maka 90% penduduk bandar raya ini mungkin akan punah dan berganti dengan bentuk masyarakat yang sama sekali baru. Artinya, orang yang tidak bisa berangkat kerja pagi hari (subuh) dan pulang petang (sampai dirumah pukul 20.00), adalah mereka-mereka yang harus punah sesuai teori survival of the fittest nya Darwin. Jelas, karena tidak akan ada orang yang mau memperkerjakan mereka.
Jika kita mengikuti pola ritmik yang dianggap baku oleh masyarakat Jakarta tersebut, maka suatu kebersamaan dalam keluarga adalah suatu kemewahan yang langka. Kita tidak akan punya waktu untuk berinteraksi secara intens dengan anak. Anak hanya diposisikan sebagai hasil ikutan (by product) dari suatu simbol ikatan perkawinan. Dia tidak mempunyai hak untuk menerima kasih sayang dalam suatu pola sistematis, dan hanya bisa merasakan kelangkaan kasih sayang dalam kejutan-kejutan ala MTV land, yang didapatkannya dari jendela kotak kaca budaya popular, memperhatikan trend pergaulan yang semakin mudah terpeleset ke pelarian seperti penggunaan narkoba, tawuran dan pergaulan bebas yang audzubillah mindzalik.
Pergeseran pola hidup karena tekanan lingkungan urban sensation, membuat kita para manusia sebagai pelaku kehidupan membentuk budaya yang sama sekali baru bila dibandingkan era tahun 70-an. Pada tahun-tahun yang telah berlalu itu, kota tidaklah seramai dan serumit sekarang. Berjalan kaki dari Slipi ke Cililitan bagi seorang mahasiswa di tengah panasnya Jakarta adalah sesuatu yang biasa. Kini, jangan mengharap lagi ada orang yang mau melakoni itu secara sadar untuk sebuah perjalanan.
Di Jakarta tahun 2007, pergi kemana-mana harus selalu dengan kendaraan. Mentalitas jalan kaki sudah usang. Salah satu pergeseran budaya rumahan pun menjadi semakin mengkristal. Pola rumah – kantor di lokasi berdekatan hanyalah valid untuk segelintir orang super kaya atau mayoritas karyawan baru yang miskin dan bersedia indekos di rumah-rumah sederhana di belakang jalan Sudirman dan Thamrin. Setelah para karyawan baru ini merasa mantap dan berumah tangga, sebuah rumah adalah keharusan (atau mungkin mereka belum cukup kuat mental untuk memiliki tangganya saja). Dan dengan adanya disparitas harga jual properti dan kemampuan daya beli, pasangan-pasangan baru ini harus merelakan diri terhempas ke kawasan rumah saya sendiri (RSS) jauh di luar Jakarta. Kalau dahulu rumah di Bekasi dianggap murah bila dibandingkan Jakarta, maka sekarang jarak itu semakin bergeser ke Tambun dan Krawang. Dan jadilah perjalanan ke dan dari tempat kerja menjadi suatu petualangan ala Indiana Jones. Cuma bedanya, kalau Indiana Jones bisa menembus waktu, maka kita hanya bisa merelakan waktu menelan kita dalam sebuah ritual perjalanan.
Dan kehidupan pun terus berlanjut. Yakinlah apa yang dikatakan orang bijak: Kehidupan itu akan menemukan jalannya sendiri. Dari titik inilah saya akan mencermati fenomena tawuran pelajar, narkoba, dan menanti apakah kelak 2 generasi bangsa ini menjadi generasi yang hilang, atau menjadi generasi bangsa(t) Indonesia.

Buah perkawinan itupun akhirnya muncul ditengah kebahagian pasangan suami istri. Dan karena si ibu harus bekerja untuk menopang kehidupan keluarga juga (di Jakarta kalau suami istri tidak bekerja kedua-duanya maka ibarat mobil bukan 4WD dilintasan off-road), maka si anak mesti direlakan untuk diasuh orang lain. Bisa jadi orang lain itu adalah neneknya, baby sitter, atau pembantu rumah tangga (istilah kerennya: mamahnya anak-anak).
Generasi MTV ini adalah generasi yang terutama dibesarkan oleh wanita, apakah wanita itu ibunya, baby sitter, pembantu rumah tangga, atau malah tetangganya. Dibesarkan tanpa ada figur bapak yang ikut mewarnai karakternya, karena posisi bapak sudah dipostulatkan sebagai pencari nafkah, dan untuk itu sang ayah bebas untuk berangkat kerja kapan saja dan pulangnya hampir selalu kemalaman. Karena kalau dia tidak lakukan itu, dia akan punah dari spesies Homo faber (manusia sebagai makhluk pekerja). Dia mencari pembenaran dalam ritual kerja dan perjalanan ke tempat kerjanya. Anak dibesarkan wanita, siapapun dia, dan tidak di poles sentuhan akhir seorang pria untuk menyempurnakannya. Hal ini akan menjadi lebih parah lagi kalau wanita yang membesarkannya itu ternyata bukan ibu kandungnya.
Banyak ibu-ibu yang mampu bereproduksi, tetapi tidak memiliki kesadaran untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya secara seimbang. Pemandangan yang umum di mal dan plaza adalah melihat keluarga kontemporer Indonesia dengan paling tidak seorang baby sitter menemani mereka berbelanja. Seorang ibu yang menikmati proses berbelanja di mal dan plaza yang sejuk, tetapi kurang menyikapi pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dan secara psikologis, anak akan lebih dekat dan tergantung kepada pengasuhnya. Anak tidak mau makan bila disuapin ibunya, tetapi langsung melahap semuanya jika baby sitter yang memberikannya. Anak yang menangis meronta-ronta ketika digendong ibunya, tiba-tiba menjadi senyap dan tersenyum manis ketika digendong pengasuhnya. Semuanya adalah kejadian-kejadian kecil yang memberikan dampak besar kepada perkembangan pribadi anak ketika mereka berusaha mencari jati dirinya kelak.
Anak laki-laki itupun akan kehilangan kejantanannya dalam arti kiasan dan sebenarnya. Mereka secara bulat-bulat menelan dan meniru pola manipulatif wanita dalam kehidupan laki-lakinya. Mereka telah kehilangan konsep berani dan jantan, dan menterjemahkannya dengan interface mereka sendiri menjadi berani keroyokan, berani karena bawa beceng, karena punya samurai dan seterusnya dan sebagainya. Dan kondisi ini akan menjadi semakin parah, karena secara substantif akan meningkatkan kecenderungan anak laki-laki menjadi gay alias homo. Semua ini karena figur bapak telah gagal bersemi di dalam kalbu si anak yang digerus oleh budaya urban sensation. Maka tawuran pelajar pun terjadi semakin dini dan meluas, dari anak SMU kini telah merambah ke anak SD, SMP dan juga ke Perguruan Tinggi. Jika figur bapak ada dalam hatinya, bila dia berkelahi, dia akan jantan dan berani berkelahi satu lawan satu, dan pasti mengharamkan tawuran.
Mereka-mereka yang akan tawuran biasanya terangsang untuk mengkonsumsi minuman keras dan akhirnya bermuara pada narkoba, guna memompa semangat dan keberanian. Mereka meniru atlet yang ingin berprestasi dengan cara doping, hanya saja cara mereka salah, dan tujuan mereka juga salah.
Lalu anak-anak itu menjadi gamang dalam perjalanan menuju ke kedewasaannya. Ketidakseimbangan itu akan membuatnya mudah tersandung dan terjerumus dalam sisi negatif budaya popular. Budaya anak muda dengan atribut dan asesorisnya sendiri, yang cenderung mencari pembenaran dan membenarkan semua apa yang dilakukannya dalam kehidupan ini. Dan menurut mereka kebenaran itu adalah kebenaran yang dianut oleh norma kolektif kelompok mereka.
Jika merokok telah menjadi suatu kebiasaan, walaupun peringatan pemerintahan merokok itu bisa membahayakan kesehatan dan menyebabkan impotensi, orang-orang yang pernah merokok tentu memahami sulitnya melepaskan diri dari rokok. Lalu bagaimana dengan putauw, bong dan segala turunannya dalam fenomena sakauw yang berapa kali lipat lebih dahsyat dari rokok?
Budaya popular dalam masyarakat kota sekarang ini memberikan sensasi dan cenderung kepada hal-hal seperti itu. Strategi pemasaran kelompok pengedar narkoba adalah memposisikan produknya sebagai sesuatu yang diasosiasikan dengan kemajuan zaman, budaya modern yang akan mengantarkan para pemula ke dunia nikmat yang maya, walau itu tidak disebutkan secara jelas-jelas: hanya untuk sementara! Dan setelah itu budaya modern itu akan membuatnya modaren (mati).
Mereka-mereka yang terjebak dalam labirin kenikmatan semu ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian sebagai ujung siklusnya. Dan berakhirlah sebuah kehidupan, yang secara agregat berarti menghilangkan sekian talenta produktif, kuncup bunga bangsa yang layu sebelum berkembang, dan secara nyata akan membuat bangsa ini terpuruk dalam persaingan global. Mereka-mereka ini lah generasi penerus yang akan menjadi anggota DPR, pejabat, tentara, atau apa saja di masa yang akan datang. Lalu mau jadi apakah negara kita ini kelak?
Untuk itu, dengarlah wahai kaum Adam, cobalah luangkan 1-2 kali dalam seminggu untuk menjalin persamaan dan kebersamaan dengan anak-anak kita guna menyemai ketahanan keluarga. Niscaya, ketahanan keluarga macam inilah yang akan ampuh dan menjadi modal Indonesia untuk meniti masa depan.
Pemasyarakatan hal-hal seperti ini pada pasangan muda yang akan menikah, mudah-mudahan akan memberikan tuntunan kepada mereka untuk membina keluarganya guna menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Semoga.

Monday, May 7, 2007

Retrospeksi Perusahaan Besar dan Perusahaan Kecil

Oleh: Matraman D'Eladelia *)
(Bisnis Indonesia, Kamis 30 Januari 1997).


Perusahaan besar adalah kapal besar, tempat dimana para kelasi berhenti dan masuk, tanpa kapal itu terganggu sampai ke tujuannya. Setidaknya itulah paradigma yang sampai saat ini masih melekat di otak para pemilik kapal, sehingga bila seorang nahkoda mengajukan permohonan mengundurkan diri, dia tetap tak begitu peduli dan tak merasa terganggu. Dan dia akan terhenyak hanya ketika kapalnya tenggelam disapu gelombang dan badai di samudra raya yang semakin tidak dapat diramalkan.

Akhirnya tanpa disadari sepenuhnya oleh para pemilik, perusahaan yang terlanjur menjadi besar telah menjadi tempat berlabuh, tempat pelatihan, karena jaminan karir dan kesejahteraan seumur hidup adalah “impian masa lampau” yang hilang sejalan dengan membesarnya skala organisasi, sebagaimana proyeksi Naisbitt dalam Megatrend 2000 dan William H. Whyte dalam Organization Man. Dalam lokakarya Lifetime employability: New thinking in changing environment di World Trade Centre Jakarta awal Desember yang lalu, Carole Hyatt mengemukakan suatu sinyalemen bahwa pada saat ini dan saat-saat yang akan datang, perusahaan kecil dan menengahlah yang akan mampu menghadapi persaingan. Sementara perusahaan besar tampak seperti raksasa kekenyangan yang lamban karena birokrasi dan tidak efisien.

Mengomentari apa yang dikatakan Carol, saya tercenung dalam perspektif global. Fenomena yang dipaparkan Carol memang didukung oleh fakta empiris di Amerika, tetapi bila kita mau melakukan retrospeksi maka dengan telak fenomena itu akan menohok ulu hati sanubari kita.

Perekonomian Indonesia yang hangat dibahas oleh “orang-orang pintar” dalam beberapa hari ini di media massa, adalah kendali mono-oligopoli yang nyata maupun tidak nyata, suka ataupun tidak suka, telah memberikan andil dan warna bagi Republik ini. Fasilitas khusus yang diterima oleh sekelompok masyarakat yang dengan beberapa ketrampilan khusus (kita boleh angkat topi untuk hal ini), dengan cepat menggelembungkannya menjadi kekuatan ekonomi dalam eskalasi yang mencengangkan. Tumbuhnya konglomerasi perdagangan hasil bumi (bahan mentah) dengan subur yang mengakumulasi modal dalam jumlah besar dan merambah ke berbagai bidang industri dari hulu sampai ke hilir akhirnya mengantarkan banyak perusahaan-perusahaan Indonesia menembus batas asset diatas trilyunan Rupiah. Konsekuensinya, budaya “kapitalisme pedagang” dalam konteks kapitalisme semu (ersatz capitalism) masih kental dalam parktek kerja perusahaan konglomerat, bahkan yang telah mengklaim dirinya dikelola secara profesional sekalipun (baca: go public).

Kendali yang terpusat, dengan metode top-down yang sangat nyata, serta terpusatnya kekuasaan dan otoritas pada pemilik saham atau segelintir orang dalam “jajaran management” akhirnya menciptakan kerajaan-kerajaan baru dengan raja-raja kecil pada setiap bagian.

Budaya kompetisi yang menuntut kepuasan pelanggan adalah kenisbian dalam kendali mono-oligopolis yang nyaris merambah hampir setiap sektor kehidupan, dan tampaknya akan menjadi status quo, setidaknya sampai periode suksesi yang akan datang. Perusahaan-perusahaan besar yang menggurita akan menjadi kerajaan seperti legitimasi sejarah dunia. Siklus bangkit-jaya-dan-runtuhnya suatu kerajaan telah menjadi pengetahuan umum di seluruh dunia: Dinasti-dinasti di Cina, Jawa dengan imperium Majapahitnya, Kekaisaran Romawi dan banyak lagi lainnya. Hanya sedikit kerajaan yang “selamat” dari perubahan dunia karena mereka cukup luwes dan mau berbagi kekuasaan dengan rakyat yang semakin kritis, semakin pandai, dan semakin banyak.

Konglomerasi Indonesia masih jauh dari impian Indonesia Incorporated seperti konsep keiretsu-nya Jepang atau chaebol-nya Korea, apabila mereka-mereka yang besar itu tidak arif untuk berbagi kekuasaan dengan rakyat (baca: sebagian besar karyawannya dan mitra usahanya). Perusahaan yang hanya peduli akan bottom line, mungkin akan terlambat menyadari bahwa bottom line itu merupakan rata-rata kinerja semua pihak yang terkait.

Jika CEO atau Direktur Utama sudah menjelma menjadi raja karena kekuasaannya, maka lingkungannya akan menjadi steril, sehingga ia terlena dan merasa seluruh situasi dalam kondisi terkendali. Ketajaman visi yang mewarnai strategi usaha akhirnya menjelma menjadi tele-visi dan sistem manajemen remote control karena usaha yang menggurita. Dengan kecenderungan globalisasi dan terbukanya pasar domestik pasca AFTA 2003 dan perdagangan bebas 2020, maka sesuatu yang eksklusif untuk sekelompok orang akan menjadi komoditas umum yang siapapun dapat memanfaatkannya. Para CEO harus siap turun takhta apabila stake holder tidak puas. Kekuatan karyawan sebagai mata rantai dan ujung tombak perusahaan suatu saat akan menikam diri perusahaan itu sendiri. Gelombang pemogokan buruh yang kontra produktif, baik itu yang murni maupun yang ditunggangi, merupakan indikasi bahwa hubungan industrial dalam perusahaan sudah mencapai suatu titik kritis yang harus segera dibenahi.

Adanya “orang-orang kasim” yang melayani raja dan ratu, yang dikebiri alat vitalnya (demi alasan tertentu) telah terbukti menjadi faktor kunci keberhasilan (key success factor) penghancuran dinasti-dinasti kerajaan di Cina. Fenomena kasim ini telah merasuk secara global dalam segala dimensi dan dalam wujud perusahaan besar menjelma menjadi CEO, Executive Vice President, Senior Vice President, VP atau apapun istilahnya, tidak lebih dari orang-orang yang tidak berani dan tidak mau mengambil resiko, orang yang menjadikan atasannya sebagai keranjang sampah segala persoalan dan tidak lebih menjadi tukang pos bagi setiap problem bawahannya, dan herannya, mereka dibayar mahal serta menikmati kehidupannya, sama seperti sang raja yang bahagia dengan laporan ABS yang diterimanya.

Rapuhnya perusahaan-perusahaan besar bukanlah monopoli konglomerat Indonesia saja, bahkan perusahaan global sekaliber IBM sekalipun, pernah limbung dan melakukan konsolidasi yang memberikan tempat bagi kecenderungan baru untuk downsizing.

Desentralisasi, pemberian otonomi yang lebih besar, menciptakan iklim empowerment dalam tim yang mandiri, mau tidak mau harus dilakukan oleh konglomerat Indonesia untuk tetap survive and drive pasca 2003. Dan bila usaha-usaha itu terlambat dilakukan, mungkin terlambatlah jalan bagi Indonesia untuk menjadi “Macan Asia” yang baru, dan kalaupun menjadi “macan ompong”, itupun karena peran pengusaha-pengusaha menengah dan kecil yang selalu siap berubah bentuk secara terus menerus (morphing) karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi, dan toleransi sistem ekonomi yang berjalan secara dinamis.

Terlepas dari apapun bentuk perusahaan menengah dan perusahaan-perusahaan kecil itu menjadi “suatu bangunan aneh” yang bentuknya sangat tidak beraturan karena pengembangan usahanya harus menyiasati cash flow (yang tidak mereka nikmati kumudahan permodalannya, sehingga harus ngos-ngosan menggenjot ROA-nya bila ingin tumbuh membesar), itulah konsep rumah tumbuh yang dilirik dengan setengah mata pada awalnya, tetapi secara rata-rata nasional memberikan sumbangan yang berarti dalam angka pertumbuhan ekonomi. Apapun yang akan dikatakan, setidaknya inilah fenomena yang harus diberikan jatah kue kredit nasional yang lebih besar, karena mereka belum punya nyali untuk mencari dana sendiri melalui alternatif lain seperti modal ventura dan penawaran saham di Bursa Efek Jakarta.

Bravo pengusaha menengah dan pengusaha kecil, apapun bentuk kalian, katakanlah usaha itu sebuah karya seni, dan memang itulah suatu state-of-the-art yang menurut teori manajemen akan terus eksis selama masih ada penawaran dan permintaan.

Dan bagi pengusaha besar, sadarilah bahwa bagi kebanyakan orang (termasuk karyawan anda), kebesaran anda dengan segala atributnya telah membuat anda menjadi raksasa yang lamban dan tidak efisien. Kalau dulu anda melaju diatas rel seperti kereta api yang disediakan fly over dan pintu lintasan di jalan raya yang dapat ditutup bila kereta anda akan lewat, mulai saat ini dan saat mendatang anda harus berpacu di jalan raya dengan bus dan mobil angkutan umum, bahkan sarana angkutan rakyat seperti ojek dan bajai. Belajarlah dari kearifan alam, dan jangan menentangnya, karena itu berarti anda menciptakan “perusahaan dinosaurus” yang akan punah karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Sudah saatnya gerbong-gerbong itu dilepas dan dimodifikasi menjadi kendaraan-kendaraan yang lebih kecil dan lebih lincah di jalan raya, suatu jalan yang akan menjadi realitas sebenarnya pada tahun 2000-an. Semuanya belum terlambat. Retrospeksi, kecenderungan, dan takdir akan memberikan hasil bila kita berniat dan mau melakukan suatu perubahan.

------
Matraman D'Eladelia adalah nama pena Iyung Pahan pada saat menulis di Bisnis Indonesia. Saar tulisan ini dibuat, dia bekerja perkebunan milik Salim Group (1988-1999).

Peluang Kerja dan Perubahan di Sekitar Kita

Makalah untuk Enterpreneurship Days di Auditorium Tojib Hadiwijaya, Fakultas Pertanian IPB. 4 September 2002.
Komunikasi yang benar bukanlah hanya sekedar bertukar pembicaraan.
Komunikasi adalah pemindahan makna dengan terciptanya pemahaman tanpa penghakiman.
- Nancy Stern (2002)
Presiden dan pemilik Communication Plus
Ketika saya diminta untuk menjadi pembicara dalam entrepreneurship day Fakultas Pertanian IPB, yang terlintas dalam pikiran saya adalah, para sarjana baru sudah mulai terjangkit keinginan menjadi pencipta kesempatan kerja ketimbang menjadi salary man. Kemudian saat saya menerima faks konfirmasi dan term of reference yang diminta panitia, inti makalah yang diminta ternyata tetap mengacu pada konsep salary man. Jadi, sepertinya memang susah untuk melepaskan diri dari paradigma berpikir saat ini, bahwa dunia boleh berubah, tetapi bukan kita yang harus berubah.
Menurut teman saya Dr. Malkan (saya panggil Malcolm), investasi yang memiliki internal rate return (IRR) yang tertinggi adalah investasi dalam bidang pendidikan. Ini sudah terbukti secara kuantitatif dan kualitatif. Hanya saja, pendidikan yang bagaimana yang memenuhi kriteria ini? Sejak jaman Cina kuno sudah ada tradisi tahunan mendatangkan para mahasiswa terbaik dari setiap propinsi untuk diuji dan diadu di depan Kaisar di Kotaraja. Lulusan terbaik, langsung diangkat menjadi pejabat negara. Dan banyak mahasiswa miskin yang cemerlang, akhirnya sukses sebagai pejabat dan tercatat dalam sejarah. Dr. Malkan adalah cucu seorang pekebun karet di Kisaran, beliau sempat berkelana dan bekerja di Madagaskar, kuliah di Amerika Serikat sambil bekerja (pernah jadi office boy) dan setelah memperoleh PhD dari Pensylvania akhirnya kembali ke Jakarta sebagai salah satu partner di biro konsultan khusus anti dumping yang berafiliasi ke firma besar di Washington D.C.

Lalu bagaimana dengan lulusan perguruan tinggi di Indonesia umumnya dan IPB khususnya? Apakah fenomena ini tetap valid atau telah dan sedang berubah? Marilah kita melihat kasus ini dari beberapa sisi yang adil dan nyata, yaitu:

  1. Keseimbangan antara penawaran dan permintaan (demand and supply).
  2. Bauran pemasaran (Marketing Mix), yaitu konsep 4P : product, pricing, placement dan promotion.

Resume yang “Menjual”
Menurut Runzheimer International, sebuah perusahaan konsultansi di Amerika Serikat, rata-rata seorang manager disana menghabiskan 80% waktunya dengan berkomunikasi, yaitu: 10% untuk menulis, 15% untuk membaca, 25% untuk mendengar, dan 30% untuk berbicara. Survey tahun 2000 dalam laporan Pitney Bowes (Chicago Tribune, 22 Oktober), melaporkan rata-rata setiap pekerja di AS menangani 204 pesan per hari, seperti panggilan telepon, faks, voice mails, e-mail, surat, hingga Post-it® notes.

Ada tiga pertanyaan yang harus dijawab ketika kita ingin mengkomunikasikan hal-hal yang penting (termasuk mengirim resume anda):

  1. Apakah informasi disampaikan dengan jelas dan akurat? Dalam komunikasi bisnis, dimana banyak hal-hal yang sangat penting, maka wajar kalau banyak “informasi biasa” yang diabaikan, tertumpuk di meja, atau dibuang begitu saja ketika orang-orang yang menangani pekerjaan ini sampai pada tingkat kebosanan yang memprihatinkan.
  2. Bagaimana informasi itu menyentuh perasaan orang yang menerimanya? Ini adalah sisi manusiawi dari komunikasi. Apa yang terlihat pada pesan itu, seperti nada bicara, gaya tulisan dan pilihan kata-kata yang dipergunakan, secara keseluruhan dapat menyebabkan proses komunikasi berhasil atau gagal. Jika kita ingin “menjual” sesuatu kepada seseorang, kita perlu menciptakan perhatian dan simpati, suatu hubungan saling percaya guna merangkul mereka ke arah kita. Sebagai contoh, lihatlah iklan kondom “meong” di televisi yang dapat mempengaruhi orang untuk membeli produk itu. Contoh lainnya adalah saat kita melakukan exit interview. Rubahlah pertanyaan “Kenapa kamu berhenti?” menjadi “Kenapa kamu tidak bertahan disini?” Hanya sedikit perbedaan dalam kata-kata, tetapi dapat membuat fokus jawaban para karyawan menjadi sangat berbeda.
  3. Apakah informasi itu mengejutkan penerimanya atau mendapat perhatian dari mereka? Ini adalah hal terpenting dalam komunikasi yang sangat kritis karena hal ini akan menjamin isi pesan diterima dengan baik. Sejujurnya, kita tidak bisa melakukan hal ini dalam setiap komunikasi. Tetapi, sekali kita berhasil melakukannya secara kreatif, orang akan terus mengingat isi pesan itu dalam waktu yang lama. Sebagai contoh, bukankah kita selalu teringat pada beberapa iklan televisi yang sampai sekarang tetap kita ingat karena berhasil “mencuri” perhatian kita. Iklan kacang atom “OK bang-get”, dan perilaku rekan saya yang ingin mencampur bensin dengan “Irex” karena bosan mobilnya terus-terusan ngadat, adalah contoh proses komunikasi yang bertahan dalam benak kita karena mendapat persepsi yang sangat kuat.

Resume atau curriculum vitae adalah merek (brand) yang merupakan refleksi diri anda, yang ingin anda jual kepada orang lain. Dalam menulis sebuah resume, sama seperti sebuah merek komersial, ada hal-hal yang harus dilakukan dan ada yang harus dihindari (do and don’t).
Tidak ada resume yang “menjual” atau resume yang “tidak menjual”. Yang ada adalah resume yang sesuai dengan kebutuhan user atau tidak. Ibaratnya, jika perusahaan itu adalah orang yang memerlukan beras 3000 ton dan anda menyodorkan brosur televisi LCD layar datar 48 inchi, apa kira-kira yang akan terjadi? Ya, resume anda akan langsung dilempar ke keranjang sampah. Sebaliknya, penawaran 3000 ton beras, yang hanya ditulis tangan di atas selembar kertas stensil, ternyata diproses dengan cukup pantas. Sementara itu resume anda telah hilang, entah jatuh dimana …

Buatlah resume yang khusus. Yang sesuai dengan keinginan user. Apa keinginan user itu dapat anda lihat dari persyaratan kerja yang dicantumkan di iklan lowongan kerja. Jika yang dituntut adalah pesyaratan adanya pengalaman kerja sekian tahun, buatlah seakan-akan keterampilan management anda setara dengan itu (walau anda belum memiliki pengalaman kerja). Keterampilan management umumnya dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu technical skill, human skill, dan conceptual skill (Robbins, 2001).

Technical skills adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan yang bersifat spesialis atau keahlian. Umumnya para sarjana baru belum memiliki ketrampilan teknikal ini. Ketrampilan ini biasanya didapat dari proses pembelajaran. Pembelajaran adalah perubahan kelakuan yang relatif permanen sebagai akibat dari pengalaman. Human skills adalah kemampuan untuk bekerja dengan, memahami, dan memotivasi orang lain, baik secara individu maupun dalam kelompok. Ketrampilan yang telah anda miliki saat ini umumnya masuk dalam kelompok human skills. Conceptual skill adalah kemampuan mental untuk mendiagnosis dan menganalisis situasi yang kompleks. Semakin tinggi posisi anda, semakin dominan porsi conceptual skill yang dibutuhkan untuk sukses.

Untuk para pemula yang belum memiliki pengalaman kerja, selling point anda adalah kecerdasan kognitif (direfleksikan dari nilai indeks prestasi) dan pengalaman organisasi. Bila anda tidak memiliki keduanya, anda harus menggali nilai-nilai positif yang perlu ditonjolkan dan kira-kira sesuai dengan kebutuhan user. Sebagai contoh, lowongan yang ada di institusi seperti biro iklan, tentunya akan lebih memperhatikan resume orang-orang yang mempunyai bakat menggambar dan kreatif. Melamar posisi wartawan tentu memerlukan kecerdasan kognitif dan kemampuan menulis berita. Jika anda memiliki kegiatan ekstra kurikuler sebagai wartawan kampus, ini merupakan suatu kelebihan yang harus ditonjolkan. Jangan berbohong dalam resume yang anda buat. Sekali anda berbohong, anda bisa saja dikeluarkan dari pekerjaan itu jika ada bukti kebohongan anda kelak di kemudian hari. Jika anda tidak ingin masalah-masalah pribadi dikorek oleh pewawancara, jangan membuat lubang dalam resume yang mungkin bisa digali oleh mereka. Resume yang anda buat harus konsisten.

Wawancara yang Baik
Saat yang paling menentukan dalam wawancara adalah pada satu menit pertama. Seperti yang dikatakan sebuah iklan parfum, kesan pertama begitu menggoda… selanjutnya terserah anda. Berpakaianlah secara pantas dan bila perlu pakai dasi. Untuk yang wanita jangan sekali-sekali memakai rok mini atau celana panjang dan menggunakan make up berlebihan (menor), kecuali kalau anda melamar ke nite club.

Tips membuat resume yang baik:

  • Jangan ada gap di dalam kronologi resume anda.
  • Jika anda mencantumkan nama dan institusi sebagai referensi, selalu ingatkan kepada mereka bahwa anda memasukkan nama mereka sebagai referensi.
  • Gaya penulisan resume merupakan cermin kepribadian anda. Buatlah resume dengan tertata baik, rapi dan logis.
  • Jika anda sudah mempunyai pengalaman kerja, tulislah pegerakan karir anda secara logis. Jangan sampai umur anda 30 tahun tetapi pengalaman kerja anda bila dijumlahkan sudah 35 tahun.

Jika anda berikan salam dengan sopan dan respek, maka anda akan menerima hal yang sama dari mereka. Berjabat tangan merupakan suatu simbol niat baik. Pada saat bersalaman, tatap mata pewawancara anda untuk menunjukkan rasa percaya diri dan kejujuran. Genggamlah tangan dengan mantap, dan jangan sekali-sekali memberikan ujung tangan kita. Memberikan ujung tangan pada saat bersalaman merupakan refleksi keengganan, seakan-akan kita jijik memegang tangan mereka. Jangan duduk sebelum dipersilahkan duduk. Itu untuk menunjukkan bahwa anda tahu aturan dan siap mengikuti aturan main di tempat mereka. Duduklah dengan rileks, tetapi jangan sekali-sekali mengangkat atau menyilangkan kaki dan meletakkan lengan di punggung kursi, itu bahasa tubuh untuk kesombongan. Bila anda ditempatkan di dalam ruangan kosong sambil menunggu pewawancara, usahakan untuk duduk di kursi yang menghadap ke pintu masuk. Dengan demikian anda bisa mengantisipasi saat mereka masuk ke ruangan, memberikan jabat tangan dan senyum anda yang menawan. Senyum itu harus, tapi jangan terlalu berlebihan, karena akan membuat anda tampak gugup (nervous).

Tangan sebaiknya diletakkan di lengan kursi dan telapak tangan anda di atas paha. Usahakan jangan bersandar terlalu dalam karena akan menimbulkan kesan santai. Nah, sekarang anda sudah siap untuk diwawancara. Ingat, yang paling menentukan anda diterima atau tidak, adalah konsep anda “menjual diri”.

Beberapa perusahaan asing mensyaratkan wawancara dalam bahasa Inggris. Jika anda menjawab pertanyaan mereka, hindari penggunaan kata “Yes Sir” karena itu menunjukkan rasa rendah diri. Jawablah secara biasa “Yes, I do”.

Pertanyaan yang umum digali oleh pewawancara adalah latar belakang pendidikan anda seperti mengapa anda masuk fakultas pertanian, dst. Jawablah dengan jujur, jangan mengada-ada. Disitulah kualitas diri anda ditentukan.

Hal yang sama juga akan ditanyakan pada latar belakang keluarga anda. Bila hal itu bersifat sangat pribadi dan anda keberatan, boleh saja anda menolak untuk menjawabnya. Belum tentu mereka akan “menghabisi” anda karena persoalan itu, dan bahkan bisa saja menambah kredibilitas anda sebagai orang yang berkepribadian. Tentu saja, ada juga kemungkinan sebaliknya yang terjadi. Anda harus arif bersikap dan mengambil keputusan. Itulah kualitas yang ingin dilihat pewawancara.

Bila anda berasal dari latar belakang keluarga yang miskin, jangan rendah diri dengan kemiskinan anda. Kemiskinan itu merupakan suatu ujian hidup, dan anda sudah berhasil melewatinya dengan sukses menjadi sarjana. Itu adalah kekuatan anda. Anda adalah sarjana yang “lapar”, dan sekarang anda siap bekerja mati-matian untuk memberikan yang terbaik kepada mereka yang memberikan kesempatan pertama pada anda. Beberapa perusahaan bahkan takut menerima orang-orang pintar yang berasal dari keluarga kaya. Mereka merasa bahwa “anak kaya” ini hanya akan “numpang lewat” dan tidak tahan menderita. Walaupun kenyataannya belum tentu selalu begitu. Teman saya, anak seorang Direktur Utama perusahaan besar, lulusan ekonomi dari San Fransisco, ternyata betah dan mau bekerja di perkebunan kelapa sawit di pedalaman Sulawesi Tengah untuk waktu yang cukup lama.
Jawablah pertanyaan secara ringkas, tegas dan lugas. Jangan “ngeyel” dan kekanak-kanakan. Jangan menceritakan apa yang tidak ditanyakan, kecuali kalau itu merupakan suatu kekuatan yang ingin anda tonjolkan.

Jangan sekali-sekali menanyakan soal gaji jika tidak ditanya. Bila anda ditanya berapa gaji yang anda inginkan, anda harus berani menyebutkan jumlah yang menurut anda pantas. Semua perusahaan umumnya memiliki skala gaji, dan mereka menanyakan itu untuk melihat seberapa kuat rasa percaya diri anda. Yang penting untuk ditunjukkan adalah logika anda, kenapa anda meminta sejumlah itu? Jika anda bisa menjelaskannya secara rasional dan logis, anda telah melewati ujian itu.

Prospek Lulusan Sarjana Meraih Peluang Kerja
Dalam teori ekonomi dibicarakan perimbangan antara permintaan (Demand) dan penawaran (Supply) dengan implikasi sbb.:

1. Jika D↑, S↓ maka Harga ↑↑
2. Jika D↑, S→ maka Harga ↑
3. Jika D↓, S↑ maka Harga ↓↓
4. Jika D↓, S→ maka Harga ↓

D diwakili oleh indeks pengangguran. Semakin tinggi indeks pengangguran maka nilai D semakin turun (↓). S diwakili oleh pertambahan jumlah angkatan kerja, khususnya pertambahan sarjana baru. Semakin banyak lulusan sarjana baru maka nilai S semakin naik (↑).

Angka pengangguran di Indonesia diperkirakan sekitar 24 juta jiwa. Lulusan sarjana baru yang memasuki pasar/bursa kerja diperkirakan 1-2 juta jiwa per tahun. Dengan berkurangnya investasi dan kontraksi ekonomi 1997-2000, diasumsikan jumlah sarjana baru yang terserap oleh pasar hanya 50% dari kapasitas. Ini berarti, ada sekitar 1.5-3 juta sarjana penganggur pada periode 1997-2000, ditambah sekitar 4 juta sarjana baru yang telah/sedang mencari pekerjaan pada tahun 2001-2002. Secara kasar, ada sekitar 3.5-5 juta sarjana yang menganggur pada saat ini. Angka ini secara kualitatif bisa dikonfirmasikan karena dari pelamar yang mengikuti seleksi penerimaan kerja di perusahaan saya, ada yang sudah menganggur 5 tahun.

Karena adanya keharusan mendirikan fakultas eksata di setiap universitas negeri dan swasta, serta fakultas eksata yang paling mudah didirikan adalah fakultas pertanian, maka saat ini hampir di seluruh universitas negeri di Indonesia memiliki fakultas pertanian. Dari sisi penawaran hal ini kurang menguntungkan bagi lulusan fakultas pertanian, dan melemahkan posisi tawar mereka.

Untuk kondisi saat ini, teori ekonomi akan merujuk pada kondisi nomor 3 (D↓, S↑, Harga ↓↓). Artinya secara nyata nilai gaji sarjana baru akan semakin menurun dibandingkan periode sebelumnya. Apa yang harus anda lakukan?

Apabila kecenderungan harga di pasar semakin lama semakin menurun maka harus dilakukan suatu usaha untuk meningkatkan nilai tambah produk. Sarjana baru adalah produk pendidikan di universitas. Jika dulu tahun 1970-an, sarjana pertanian mau bekerja di perkebunan, maka langsung diterima tanpa test. Sekarang (2002), untuk mendapatkan 34 orang kandidat staf saya harus menyeleksi 1762 lamaran (1.92%).

Anda sebagai sarjana-baru adalah komoditi atau produk generik. Anda adalah produksi massal yang tidak memiliki merek, dan dianggap sama walaupun anda lulusan IPB atau UGM. Yang membedakan komoditi kelas 1 dengan komoditi kelas 2 adalah faktor mutu. Semakin tinggi mutu anda, semakin anda cepat “laku”. Tetapi harganya tetap harga standar yang ditentukan oleh mekanisme pasar.

Untuk meningkatkan nilai jual anda, anda harus berubah dari komoditi menjadi produk yang customize. Dari sekedar komoditi seperti CPO (crude palm oil) menjadi minyak goreng yang dijual untuk segmen industri (pabrik mi instant dll).

Nilai tambah anda akan semakin tinggi lagi bila dikemas dengan baik, diberi merek, dan disebarkan ke outlet yang mudah dicapai konsumen. Ini berarti anda sudah berubah dari komoditi menjadi customize product dan kemudian masuk ke consumer product.

Komoditi
Sarjana Baru tanpa pengalaman berorganisasi

Customize (+)
Pengalaman berorganisasi (aktif)
Bahasa Inggris (aktif)
Kemampuan Komputer (Office, Internet)

Consumer (++)
Leadership
Communication skill
Learning agile ability
Change capability


Mengelola Perubahan
Pemikiran sehat mengatakan kepada kita bahwa kita tidak dapat menangani perubahan yang cepat (turbulen, kemenduaan, yang tidak dapat diprediksi) dengan cara yang sama jika kita menangani status quo (stabilitas, yang dapat diprediksi, dan sebagainya). Akan tetapi, manusia tetap mencari yang stabil, yang teratur, dan metode yang dapat diprediksi untuk mengatasi krisis-krisis dan perubahan-perubahan yang tidak dapat diprediksi (Boast dan Martin, 2001).
Dari konsep awal peradaban manusia, orang-orang telah mengenal bahwa krisis, turbulen, dan perubahan dapat merusak kesempatan-kesempatan atau sebaliknya memberikan kesempatan-kesempatan bagi keberhasilan. Simbol bangsa Tionghoa mengenai krisis adalah kombinasi dari simbol yang secara harafiah berarti bahaya dan peluang (Chu, 1999).

Dunia telah berubah. Lingkungan kita telah berubah. Perubahan itu seperti mesin ketik manual, mesin ketik elektronik, komputer sederhana dengan DOS, komputer desktop dengan Windows, Notebook, Webcam, PDA Phone. Kecenderungannya menjadi lebih cepat, lebih kecil, lebih baik, lebih murah, dan lebih ... (semuanya menjadi serba lebih). Siapa yang akan membayangkan kalau kita bisa membuat video klip dengan telepon genggam dan mengirimkannya kepada teman kita dalam hitungan detik?

Sebagai sarjana baru, yang harus anda lakukan untuk menyiasati perubahan adalah anda harus LEARN, RELEARN dan UNLEARN. LEARN, artinya anda belajar sesuatu yang baru. Anda terbuka terhadap perubahan dengan segala konsekuensinya. RELEARN, berarti anda belajar banyak hal dan mungkin saja anda melupakannya. Pada suatu ketika, saat anda membutuhkan pengetahuan itu, anda harus belajar kembali. Hal ini harus dilakukan dengan cepat. Anda harus mempartisi memory anda untuk menampung data yang sudah terlanjur anda archieve. UNLEARN, setelah anda menyadari bahwa yang anda pelajari sudah ketinggalan jaman, anda harus berani membuang pengetahuan yang sudah anda miliki untuk mempelajari hal-hal yang lebih baru.

Bacaan Lebih Lanjut:

  • Boast, William M. and Benjamin Martin. 2001. Masters of Change.
  • Chu, Chin-Ning. 1999. Journey to the City of Prosperity – The Single Supreme Secret of Money.
  • Glanz, Barbara A. 2002. Handle with CARE: Motivating and Retaining Employees.
  • Robbins, Stephen P. 2001. Organizational Behavior. 9th ed.

Friday, May 4, 2007

Licinnya Harga Minyak Goreng

Dalam beberapa minggu ini, pemberitaan kenaikan harga minyak goreng yang menambah beban penderitaan rakyat menghiasi media cetak dan elektronik. Rakyat sudah kenyang dengan penderitaan yang silih berganti, mulai dari bencana alam, penyakit menular, dan kini kerawanan pangan. Licinnya harga minyak goreng yang melesat tinggi membuat status gizi masyarakat menurun karena berkurangnya asupan zat gizi yang mampu dibeli dan dikonsumsi.
Pemerintah telah melakukan serangkaian tindakan reaktif yang bersifat ad hoc seperti “mengimbau” produsen minyak makan menjual dengan harga Rp 5.000-6.000 per kg. Untuk itu, anggota asosiasi industri seperti AIMMI (refiner) dan GAPKI (perkebunan kelapa sawit) diminta tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan guna membantu pemerintah menstabilkan harga minyak goreng di pasar. Himbauan ini dilakukan dengan setengah ancaman, bahwa jika harga minyak goreng tidak kunjung turun, maka pemerintah akan menggunakan instrumen fiskal berupa kenaikan pajak ekspor CPO.
Industri CPO adalah industri yang dipengaruhi mekanisme pasar bebas. Keseimbangan permintaan dan penawaran adalah dasar penciptaan harga. Permintaan yang meningkat dipicu oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto, tambahan permintaan biodiesel, adanya masalah trans-fat yang menyebabkan sebagian industri makanan di AS beralih ke CPO, dan faktor konsumsi CPO RRC yang terus tumbuh dengan pesat.
Industri biodiesel berkembang karena harga minyak-bumi mentah yang meningkat dan bertahan pada harga USD 60/barrel, ratifikasi protokol Kyoto untuk mengurangi lima persen tingkat emisi gas rumah kaca, dan insentif pajak bahan bakar Uni Eropa. Biodiesel dapat dibuat dari seluruh jenis minyak nabati seperti minyak kanola, kedelai, atau kelapa sawit. Permintaan bahan baku biodiesel akan mengurangi persediaan minyak nabati global, yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan harga seluruh minyak nabati termasuk CPO.

Menghadapi mekanisme pasar bebas dengan pendekatan ad hoc adalah seperti mengatasi datangnya banjir dengan membuka dapur umum. Memang hal tersebut sangat membantu para korban, tetapi akar permasalahannya tidak disentuh sama sekali. Usaha stabilisasi secara parsial dan ad hoc adalah tindakan korektif yang hanya menyentuh pinggiran permasalahan. Masalahnya adalah siklus kerusakan (harga tinggi CPO) yang pasti akan terjadi tidak di antisipasi secara sistematik. Menyikapi masalah sistemik dengan pendekatan taktik adalah seperti menggantang asap.
Sebagai negara pembelajar, kita tidak perlu malu-malu belajar dan melakukan patok-duga terhadap negara lain yang telah terbukti berhasil memecahkan masalah sejenis. Malaysia telah mampu meningkatkan nilai tambah produk CPO dan produk turunannya melalui ekspor tanpa menyebabkan krisis harga minyak goreng domestik.
Malaysia melalui Kementrian Industri Perkebunan dan Komoditi mempunyai Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB, Malaysia Palm Oil Board) yang kedudukannya setingkat dengan Direktorat Jenderal. MPOB inilah yang mengatur seluruh aspek yang berhubungan dengan para pemangku kepentingan industri CPO di Malaysia melalui pendekatan sistem agribisnis. MPOB sebenarnya meniru konsep CESS Indonesia berupa potongan keuntungan eksportir hasil perkebunan sebesar RM 15/ton atau sekitar USD 3.95/ton. Alokasi pungutan CESS ini RM 7.25/ton untuk riset dan pengembangan, RM 2/ton untuk promosi, RM 1.75/ton untuk Palm Oil Registration and Licensing Authority – PORLA, dan RM 4/ton untuk Safety Net Fund (dana cadangan stabilisasi harga sawit).
Pendekatan Indonesia memang menempatkan Dewan Komoditas (Dewan Minyak Sawit Indonesia) dalam pendekatan sistem sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Perkebunan No. 18/2004 pasal 19 ayat 2, yaitu: untuk membangun sinergi antarpelaku (subsistem) usaha agribisnis perkebunan, Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Dewan Komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis perkebunan bagi seluruh pemangku kepentingan perkebunan. Sayangnya, “kecelakaan redaksional” berupa kata mendorong dan memfasilitasi menyebabkan Pemerintah menyilahkan pihak swasta membentuk DMSI yang dalam kenyataannya tidak memiliki “kekuatan” setara kewenangan MPOB. Upaya stabilisasi harga minyak goreng domestik dengan pendekatan CESS pasti akan ditentang keras oleh para pengusaha yang telah dibebani pajak ekspor CPO. Sedangkan penggunaan dana pajak ekspor CPO hanya bisa dilakukan melalui jalur Departemen Teknis, yang jelas tidak bisa dilakukan DMSI.
Mengatasi licinnya harga minyak goreng domestik hanyalah salah satu fungsi DMSI. Pemberdayaan DMSI sebagai lembaga yang memiliki kekuatan mengikat, mutlak dilakukan dengan mengintegrasikannya sebagai salah satu Badan di dalam jajaran Departemen Teknis. Jalan tengah dapat dilakukan dengan merangkul jajaran menteri teknis (pertanian, perdagangan, perindustrian) dan menteri ekonomi menjadi Dewan Pembina dalam struktur organisasi DMSI.