Friday, June 29, 2007

Passive Income

Pertengahan tahun 2006 adalah titik balik paruh kedua kehidupanku. Perpindahan kuadran Kiyosaki hidupku telah dimulai dari transisi kuadran E (employee) yang bekerja untuk orang lain (perusahaan perkebunan) memasuki kuadran I (investment) dimana uang bekerja untukku melalui passive income dari royalty buku. Memang nilai uangnya belum seberapa, dan kata Prof. Gumbira-Sa’id, kita nggak pernah bisa kaya dari menulis buku. Memang perkataan beliau benar untuk konteks buku yang seret penjualan, tetapi untuk konteks buku laris seperti Harry Potter, jelas kebalikannyalah yang terjadi. J.K. Rowling telah menjadi selebritis dan salah satu orang terkaya di Inggris hanya karena mengarang buku dan mendapat royalty dari film yang diadaptasi dari bukunya.
Aku belum pantas menyandingkan diriku dengan J.K. Rowling, tetapi boleh kan aku membuat visi setinggi langit untuk menggantungkan keinginan pribadiku. Dan ternyata dari hasil investasi di kuadran I (investment), akhirnya berbuah ke kuadran B (business) berupa aktivitas bisnis melalui pembuatan sistem, sehingga orang bekerja untuk diriku; dan juga merambah ke kuadran SE (self employee) sebagai pekerja mandiri. Hasil investasi dari menulis buku hanyalah royalty 10% dari nilai jual buku dikalikan dengan eksemplar buku pada saat print run. Menginjak cetakan kedua, berarti sudah 10.000 buku yang beredar dan siap menghasilkan royalty. Menurut informasi penerbitnya, buku tulisanku menjadi salah satu best seller di Gramedia Mal Taman Anggrek. Toko buku dan pembaca senang dengan buku itu, dan harapanku itu bisa sampai cetakan ke sekian.
Setiap keberhasilan akan menghasilkan efek keberhasilan berantai, dan malangnya kesialan juga begitu. Keberhasilan kuadran I ternyata memicu kuadran lain dengan indeks leverage 10 kali ke kuadran SE. Dan kuyakini kuadran SE akan akan memberikan indeks leverage 10 kali ke kuadran B. Mutasi antar kuadran ini sungguh memberikan kemantapan hati untuk menjadi manusia bebas di paruh kedua kehidupan, sehingga tidak diperbudak oleh sistem dan menjual kebebasan diri demi gaji. Dan memang urutan pengembangannya adalah Kuadran E -> kuadran I (1) -> Kuadran SE -> Kuadran B -> Kuadran I (2) dst.
Bekerjalah dengan baik sebagai pekerja ilmu pengetahuan, sedot sebanyak mungkin income dan pengatahuan (kalau tidak bisa keduanya, ambilah pengetahuannya). Investasikan income dalam tabungan. Investasikan pengetahuan tacit yang didapat dengan mekanisme eksternalisasi menjadi pengetahuan eksplisit. Gunakan sebagian tabungan untuk menguji pengetahuan eksplisit pada tataran yang lebih tinggi (kuliah lagi S2, S3), sehingga akhirnya menjadi pengetahuan eksplisit yang terkodifikasi pada suatu kondisi spesifik. Jual hasil kodifikasi pengetahuan tadi sehingga menghasilkan passive income berupa royalty.
Investasikan kembali royalty yang diterima dalam bisnis baru yang akan menciptakan kuadran B. Reputasi yang tercipta akan menciptakan kesempatan-kesempatan baru, sehingga bisa menciptakan kuadran SE yang dilakoni secara paralel dengan kuadran E. Karena kualitas pengetahuan yang prima, maka kuadran SE akan mengungkit income 10x kuadran I pertama {I (1)}. Hasil dari kuadran E digunakan untuk membiayai kehidupan rutin, hasil kuadran I (1x) dan SE (10x) digunakan untuk menciptakan kuadran B yang akan mengungkit nilai investasi 10x SE dan I sehingga menjadi 110x I (1). Hasil 110x I (1) ini diinvestasikan ke I (2), sehingga akan menghasilkan passive income 1100x I (1). Pada kondisi inilah tercipta kebebasan finansial. Uang bekerja untuk kita, sementara aku ingin menyepi di pantai Karibia, melancong ke taman safari di Afrika dan minum kopi hangat sambil menatap puncak gunung es di Alaska. Seperti senandung Vina Panduwinta: Dunia yang kudamba.

Monday, June 25, 2007

Memoar Kehidupan Kebun 17 Tahun yang Lalu

Normark, 20 Mei 1990

Kepada Yth. Technical Advisor [TA] Agronomy
Padang Halaban Estate,
Labuhan Batu, Sumatra Utara

Dengan hormat,

Perjalanan waktu kadang sangat kencang, kadang sangat lambat. Kita ini adalah kerelatifan, maka dalam kerelatifan itu kita coba bandingkan sesuatu yang relatif dengan yang relatif. Dari pijakan ini kita coba menempuh hidup dan kehidupan. Ada makna yang bisa diraih. Kehidupan ini kadang kejam bak tentara Nazi, tetapi juga bisa lembut dan mewah seperti elusan kelas eksekutif di club internasional a’la Mercantile, Hilton atau dinner di Four Season. Kehidupan (di) kebun berarti merelakan diri menghadapi tiga rupa, tiga tantangan: kesepian, kebodohan dan kemiskinan.

Kesepian adalah suatu kepastian, hak segala bangsa, ujud insani, hampir dapat dikatakan fitrah, sebuah rasa untuk menyeimbangkan manusia dari keramaian. Sepi yang relatif, bukanlah manifestasi lingkungan yang sunyi saja, tetapi cermin keberadaan jiwa yang kurang dapat menyelaraskan diri dengan lingkungan. Seperti jiwa seorang eksekutif puncak di rimba belantara properti wall streetnya Indonesia, dari puncak sebuah gedung pintar di mana jalan Sudirman dan Thamrin terlihat berkabut, dalam pesona irama salsa dan usapan penyejuk ruangan yang serasa alami, kesepian akan datang. Kepura-puraan, wajah tanpa dosa dan hati yang luka tiba-tiba saja membuat jiwa menjadi tidak tenang. Stress dan insomania adalah penyakit yang kerap menghuni raga orang-orang penting yang ekstra sibuk. Dari sebuah music player terdengar sayup-sayup Live Version [Bento] celoteh Iwan ‘Swami’ Fals soal gaya hidup “Bos Eksekutif” yang berinisial Bento.

Banyak orang, terutama dari latar sosial budaya urban sensation, yang terlanjur besar dan terbiasa dengan nikmatnya suasana crowded a’la bis kota jam tujuh pagi, hiburan Studio 21 [termasuk dengar pengamen bis kota], bertukar pikiran dalam seminar, commodity auction dan symposia; akan menderita kesepian bila tiba-tiba saja berada dalam masyarakat yang tidak bisa memuaskan keinginan lahir dan keinginan batinnya. Keterasingan kan datang menjelang, orang bila cultural shock, tetapi saya rasa lebih tepat mind-brain s[h]ock [pintar … kan! Kaos kakinya nomor berapa … ya?] Kita boleh merasakan, seseorang dengan latar pendidikan sarjana, yang cenderung ingin menggali tuntas semua hal, tiba-tiba saja mentok dengan sikap masyarakat yang terbiasa dan terlanjur berorientasi pada practical use saja.

Kesepian di kebun sangat erat hubungannya dengan kebodohan. Kondisi kebun yang terisolir, kadang dan hampir pasti, menyulitkan akses terhadap informasi. Hakekat hidup jaman sekarang, keterlambatan dalam mengadopsi informasi [baca: pengetahuan] berarti mengurangi kapabilitas pemahaman suatu hal [teknologi] bila dibandingkan masyarakat yang tidak menghadapi lingkungan serupa [baca: kota]. Bagi praktisi murni tanpa tendensi ambisi menjadi yang terbaik [baca: pimpinan masa depan], hal ini bukan masalah. Bagi saya ini merupakan masya Allah yang besar, betapa tidak? Keterlanjuran memposisikan keunggulan kompetitif diri sebagai yang lebih tahu sedikit banyak hal-hal dari pada masyarakat sekitarnya akan kehilangan dominansi, perlahan dan pasti karena faktor lingkungan.

Pola pikiran [juga pola betindak], selalu dan selalu dibebani hal-hal yang praktis, yang rutin. Ketajaman pisau analisis dibatasi ruang lingkup yang disebut tembok ‘Berlin’ etika: Itu kapling orang lain, itu bukan urusan kamu, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain. Akhirnya kita pasrah, inilah yang terlanjur dihadapi di kebun. Dua tahun menggumuli kebun, sedikit banyak menimbulkan concern akan masalah kebun, untuk improvement alias kemajuan, tetapi bila kita buat saran atau rekomendasi – mereka bilang: you are not qualified guys! Apa artinya pengalaman kerja kebun Bung? Semuanya siklikal, pengalaman 30 tahun adalah pengalaman 1 tahun yang diulang 30 kali, saya yakin, dan bila kamu cukup pintar, setengah tahun cukup untuk mengerti semuanya, dan selanjutnya yang membedakan kamu dengan mereka hanyalah usia dan kemampuan dalam aksi tipu-tipu, termasuk menipu pekerja untuk lebih efisien, menghadapi orang minta sumbangan, utusan Kodim, Camat dan Lurah, ganti rugi tanah, penduduk yang kalap dan tetek bengek lainnya.

Lalu apakah saya harus quit alias berhenti kerja, atau pasrah saja? Hakekat peningkatan kemampuan teknis [dalam rangka mengisi diri] sudah dilaksanakan dengan motivasi kuat untuk sukses sebagai calon pemimpin suatu masa pada suatu tempat, tetapi tidak imbang dengan pengembangan kemampuan manajerial – alias mentok. Energi yang terakumulasi dalam rangka mengisi diri, akhirnya bisa meledak karena outlet lebih kecil dari inlet. Semuanya rugi, terlepas apakah perusahaan menganggap karyawan sebagai asset ataukan masih sebagai hutang melulu saja [menurut persamaan akuntansi, Asset = Modal + Hutang].

Kadang kita merasa lebih pintar tentang “sesuatu” dari pada orang yang digaji [baca: dianggap] oleh perusahaan “lebih tahu.” Lalu apakah kita harus paksa perusahaan: “ente pakai gue dong, gue kan sudah lebih tahu.” Atau bahasa halusnya: “kapan saya dipromosikan pada level yang lebih tinggi?” Itu kan juga kurang etis, tentu saja bila perusahaan juga tahu diri [sebelum karyawan menganggap tidak ada lagi prospek dalam karir]. Impian akan adanya employee stock ownership program [ESOP] bagi kesejahteraan karyawanpun menjadi buram dan lenyap ketika saya bangun dari tidur-tidur ayam. Janganlah bermimpi seperti serikat karyawan United Airlines yang mampu membeli perusahaannya sejumlah US$ 4.36 milyar.

Kebodohan struktural itu menghinggapi orang dengan kadar yang berbeda. Semakin tinggi kesadarannya akan indahnya belantika dan belantara hakekat ilmu di peradaban manusia [modern], semakin tinggi derajat stressnya menghadapi teror pembodohan di kebun. Secara jelas [fungsi waktu], seorang berpendidikan, katakanlah lulus dengan yudisium dipujikan dari sebuah universitas yang merupakan center of excellence akan menjadi lebih bodoh, seiring [berbanding lurus] dengan lamanya tinggal di kebun, bila dibandingkan dengan sarjana yang tinggal di kota di mana arus informasi sangat lancar, dan dia punya akses ke arah itu.

Berapa social cost yang harus dibayar oleh seorang sarjana yang ditempatkan di kebun? Jawabannya: tidak ada! Ternyata, hampir rata, penghasilannya di bawah kawan-kawanya yang di kota. Bukankah dia sudah mengorbankan kesempatannya untuk menjadi lebih pintar demi hal-hal praktis bagi kepentingan perusahaan? Inikah sistem imbal jasa perusahaan besar [konglomerat]? Penghargaan masih didasarkan pada ketrampilan lobbying, kemampuan untuk bermental ABS alias Asal Bapak Senang, atau adanya akses pribadi terhadap atasan melalui kesamaan hobby [yang umumnya dijadikan modus operandi]. Pokoknya kalau Boss hobby tennis, dan bila bermain double harus menang terhadap pasangan lain, tetapi bila main single, cukuplah skor 6 untuk Boss, dan angka kita harus lebih kecil dari itu [baca: <]. Kebodohan atau proses pembodohan secara perlahan tapi pasti itu akan terakumulasi menjadi kemiskinan intelektual yang tercermin dengan semakin sukarnya mencerna angka-angka pada indeks Dow Jones atau Nikkei yang ada pada Asian Wall Street Journal, bahkan membaca ulasan sederhana pada The Economist atau majalah Eksekutif pun kadang-kadang terasa berat di kepala.

Keadaan ini harus diatasi. Kesepian akan saya bakar dengan hasrat dan kesibukan menulis. Ya, menulis sebuah pengalaman hidup, menulis tentang teknologi, mengembangkan ide-ide yang tidak mau diterima perusahaan itu menjadi sesuatu yang diinginkan oleh perusahaan mana saja pada tahun-tahun mendatang. Demikian cara menggugah kebodohan, untuk belajar, untuk mencapai informasi, sekaligus memerangi kemiskian intelektual.
[CATATAN: IYUNG PAHAN MENERBITKAN 2 BUKU, YAITU KIAT KEBERHASILAN BISNIS SEPANJANG MASA (2004) BERSAMA PENERBIT INDEKS DARI KELOMPOK GRAMEDIA, DAN PANDUAN LENGKAP KELAPA SAWIT (2006) BERSAMA PENERBIT PENEBAR SWADAYA].

Kita coba, kita berusaha. Semua sudah ditakdirkan, dan dengan bekal kemampuan teknis, manajerial, kepemimpinan dan business sense yang diberikan Tuhan, juga dengan common sense, kita jelang tahun-tahun mendatang, awal kebangkitan profesional muda, sesuai dengan roh dua kosong lima alias Kebangkitan Nasional 20 Mei yang telah berumur 82 tahun. Kita jelang milenium kedua Naisbitt dan Aburdene sebagai abad pencapaian tujuan kita: Profesional muda, middle class yang bukan Yuppies apalagi Snobist.

Sekian dahulu, wassalam.

Iyung Pahan

CATATAN: DALAM BEBERAPA TAHUN MENDATANG, MEMOAR YANG DITULIS 17 TAHUN YANG LALU INI MENJADI SUMBER INSPIRASI LAHIR DAN BESARNYA KONGLOMERASI KELOMPOK DHC YANG BERPUSAT DI BOGOR.

Instansi Kehidupan

Dentingan piano melantunkan Heart of Summer pada musim kemarau basah di bulan Juni 2007, ketika aku menulis memoar ini. La Nina telah menyampiri kehidupan, dan entah mengapa anak perempuan selalu diasosiasikan dengan hujan dan basah. Seperti seloka yang selalu terwujud dalam rima 4 bait yang tediri dari 2 bait sampiran dan 2 bait isi, kearifan sastra melayu itu akhirnya diterima dalam konteks budaya Jawa yang mlayu abiis alias berlalu entah kemana.
Sebuah memoar adalah refleksi kejadian masa lalu, dan sayangnya logika waktu sering kali terbolak-balik, sehingga pengalaman masa lalu kerap di manipulasi dengan konteks kekinian (recent). Jadilah resensi kehidupan diri sendiri tidak jujur terhadap asas orisinalitas. Penulisan sejarah akhirnya menjadi legitimasi bagi si menang: pahlawan bagi yang menang, dan si kalah adalah penjahat laknat. Lihatlah Sukarno ketika Orde Baru masih berkuasa, dan renungkanlah caci maki kepada Suharto ketika dia digulingkan pada tahun 1998. Sejarah menjadi usaha legitimasi versi penguasa, dan konteks sejarah itulah yang terulang seperti seorang komentator sepak bola di televisi yang berkomentar dengan ringan: “Sejarah kembali terulang.”
Bagaimana kita harus menyiasati hidup, biasanya kita tak ingin membicarakannya. Kehidupan yang mudah adalah yang mengalir apa adanya, cenderung datar dengan tempo lamban, sehingga minim gesekan dan harmonis dengan lingkungan sekitar. Ketika sebuah atau beberapa buah keinginan tumbuh di hati, sesuatu itu menyebabkan perubahan orientasi sehingga perspektif terhadap lingkungan menjadi berubah. Bagi yang ingin hidup mengalir apa adanya, mengejar target yang bergerak adalah suatu keniskalaan. Bagi yang hidup dengan ideologi perjuangan, mengejar target yang bergerak adalah suatu keniscayaan, keharusan, dan jika tak dapat terpuaskan, maka hidup menjadi seakan tak bermakna.
Ketika kekuatan konteks berhasil dibangun dalam suatu keadaan, maka seperti sebuah rencana pernikahan yang telah dipersiapkan dengan matang, dimana sang calon pengantin telah menjalankan ritual-ritual untuk membersihkan diri dan jiwanya menuju momentum puncak penyatuan jiwa secara simbolis dalam ikatan pernikahan. Sekonyong-konyong dan tiba-tiba diterima kabar bahwa sang pengantin wanita meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang. Katastrofa dan perubahan drastis telah mengubah akumulasi momen kebahagian yang terbentuk sepanjang proses menjelang pernikahan menjadi kehampaan yang menghancur-leburkan makna suatu konteks.
Menjadi seorang calon Doktor (promovendus) mungkin tak lebih dari seekor wedus dalam konteks kontemporer kehidupan masa kini dengan kekiniannya. Gelar kebangsawanan ataupun gelar akademis adalah legitimasi kelas masyarakat, dimana orang mencoba bermigrasi demi mendapatkan status yang lebih tinggi sehingga kelak dapat ditransformasi menjadi materi yang lebih berkualitas dan berkuantitas. Menjadi seorang Doktor berarti boleh berbeda pendapat, tetapi pasti tak mau berbeda pendapatan. Inilah legitimasi kelas.
Pergolakan suasana batin hari ini sebenarnya tak perlu terjadi kalau kapasitas keluasan dan kedalaman hati, serta waktu cukup tersedia untuk melarutkan semua permasalahan. Semua masalah dunia akan terurai dengan sendirinya (mengalami swa-penguraian) bila diberi waktu yang cukup. Permasalahannya adalah kita tidak memiliki cukup waktu untuk membiarkan masalah itu mengalami swa-penguraian, karena hati kita telah membuat keinginan-keinginan yang ingin didapatkan secara seketika dan instan. Ketika budaya instan merasuki seluruh dimensi kehidupan, maka kita menjadi instansi (ingin selalu cepat), yang justru paradoks dengan intansi pemerintah yang menempatkan birokrasi sebagai pusat perlambatan atas nama kehati-hatian atau sekedar melepas rodi (menghabiskan jam kerja).

Friday, June 22, 2007

Efek Merah Biru

Efek sampingan adalah pengaruh liar substansi suatu ramuan
Efek sampingan Viagra adalah ke depan
Efek jera hukuman cocok untuk setan lautan pelahap anggaran
Efek suara akan buat kaget jantungan
Efektivitas memang tepat ke sasaran
(OBAT KUAT UNTUK EREKSI BANGSAKU)

Merahnya darah tanda keberanian
Merahnya muka tanda dipermalukan
Setengah tiang merah putih tanda negara dalam keprihatinan
Merahnya si moncong putih karena penindasan
Merahnya merah Pramudya dilarang jaman orde baru bukan?
(MALU AKU JADI ORANG INDONESIA)

Birunya laut lambang kedalaman
Birunya langit lambang keluasan
Birunya darah lambang kebangsawanan
Birunya film lambang perselingkuhan
Birunya perasaan lambang kesenduan
Birunya muka bekas tanda gamparan
(CARUT MARUT KETERANIAYAAN)

Kesimpulan:
Karena penuh luka akibat carut marut keteraniayaan, aku malu menjadi orang Indonesia, dan perlu obat kuat untuk membangkitkan (ereksi) bangsaku.

Saran:
Kalau nggak bisa ereksi lagi, perlu dana non budgeter untuk operasi alat vital bangsa.

Anna Quindlen's Villanova University Commencement Address

Internet's Anonymous Source I got form "Chris Lusher" cmlush@hotmail.com Aug 9, 2000 (11:09 GMT)

It's a great honor for me to be the third member of my family to receive an honorary doctorate from this great-uncle Jim, who was a gifted physician, and my Uncle Jack, who is a remarkable businessman. Both of them could have told you something important about their professions, about medicine or commerce. I have no specialized field of interest or expertise, which puts me at a disadvantage, talking to you today. I'm a novelist. My work is human nature. Real life is all I know. Don't ever confuse the two, your life and your work. The second is only part of the first. Don't ever forget the words my father sent me on a postcard last year: "If you win the rat race, you're still a rat." Or what John Lennon wrote before he was gunned down in the driveway of the Dakota: "Life is what happens while you are busy making other plans."
You walk out of here this afternoon with only one thing that no one else has. There will be hundreds of people out there with your same degree; there will be thousands of people doing what you want to do for a living. But you will be the only person alive who has sole custody of your life. Your particular life. Your entire life. Not just your life at a desk, or your life on a bus, or in a car, or at the computer. Not just the life of your mind, but the life of your heart. Not just your bank account, but your soul.
People don't talk about the soul very much anymore. It's so much easier to write a resume than to craft a spirit. But a resume is a cold comfort on a winter night, or when you're sad, or broke, or lonely, or when you've gotten back the test results and they're not so good.
Here is my resume.
I am a good mother to three children. I have tried never to let my profession stand in the way of being a good parent. I no longer consider myself the center of the universe. I show up. I listen. I try to laugh.
I am a good friend to my husband. I have tried to make marriage vows mean what they say. I show up. I listen. I try to laugh.
I am a good friend to my friends, and they to me. Without them, there would be nothing to say to you today, because I would be a cardboard cutout. But I call them on the phone, and I meet them for lunch. I show up. I listen. I try to laugh.
I would be rotten, or at best mediocre at my job, if those other things were not true. You cannot be really first rate at your work if your work is all you are. So here's what I wanted to tell you today: get a life.

A real life, not a manic pursuit of the next promotion, the bigger paycheck, the larger house. Do you think you'd care so very much about those things if you blew an aneurysm one afternoon, or found a lump in your breast?
Get a life in which you notice the smell of salt water pushing itself on a breeze over Seaside Heights, a life in which you stop and watch how a red-tailed hawk circles over the water gap, or the way a baby scowls with concentration when she tries to pick up a Cheerio with her thumb and first finger.
Get a life in which you are not alone. Find people you love, and who love you. And remember that love is not leisure; it is work.
Each time you look at your diploma, remember that you are still a student, still learning how to best treasure your connection to others.
Pick up the phone. Send an e-mail. Write a letter. Kiss your Mom. Hug your Dad. Get a life in which you are generous. Look around at the azaleas in the suburban neighborhood where you grew up; look at a full moon hanging silver in a black, black sky on a cold night. And realize that life is the best thing ever, and that you have no business taking it for granted.
Care so deeply about its goodness that you want to spread it around. Take money you would have spent on beers and give it to charity. Work in a soup kitchen. Be a big brother or sister. All of you want to do well. But if you do not do good, too, then doing well will never be enough.
It is so easy to waste our lives: our days, our hours, our minutes. It is so easy to take for granted the color of the azaleas, the sheen of the limestone on Fifth Avenue, the color of our kids' eyes, the way the melody in a symphony rises and falls and disappears and rises again. It is so easy to exist instead of live.
I learned to live many years ago. Something really, really bad happened to me, something that changed my life in ways that, if I had my druthers, it would never have been changed at all. And what I learned from it is what, today, seems to be the hardest lesson of all.
I learned to love the journey, not the destination. I learned that it is not a dress rehearsal, and that today is the only guarantee you get. I learned to look at all the good in the world and to try to give some of it back because I believed in it completely and utterly. And I tried to do that, in part, by telling others what I had learned. By telling them this:
Consider the lilies of the field. Look at the fuzz on a baby's ear. Read in the backyard with the sun on your face. Learn to be happy. And think of life as a terminal illness because if you do you will live it with joy and passion as it ought to be lived.
Well, you can learn all those things, out there, if you get a real life, a full life, a professional life, yes, but another life, too, a life of love and laughs and a connection to other human beings.

Just keep you eyes and ears open. Here you could learn in the classroom. There the classroom is everywhere. The exam comes at the very end. No man ever said on his deathbed I wish I had spent more time at the office.
I found one of my best teachers on the boardwalk at Coney Island maybe 15 years ago. It was December, and I was doing a story about how the homeless survive in the winter months. He and I sat on the edge of the wooden supports, dangling our feet over the side, and he told me about his schedule, panhandling the boulevard when the summer crowds were gone, sleeping in a church when the temperature went below freezing, hiding from the police amidst the Tilt-a-Whirl and the Cyclone and some of the other seasonal rides. But he told me that most of the time he stayed on the boardwalk, facing the water, just the way we were sitting now, even when it got cold and he had to wear his newspapers after he read them. And I asked him why. Why didn't he go to one of the shelters? Why didn't he check himself into the hospital for detox?
And he just stared out at the ocean and said, "Look at the view, young lady. Look at the view."
And every day, in some little way, I try to do what he said. I try to look at the view. And that's the last thing I have to tell you today, words of wisdom from a man with not a dime in his pocket, no place to go, nowhere to be. Look at the view. You'll never be disappointed.

A Reason, A Season or A Lifetime

From: Arcelie Balanon [SMTP: arcelie@hotmail.com], Sent: 19 May 2000 23:48

People come into your life for a reason, a season, or a lifetime. When you figure out which it is, you know exactly what to do.

When someone is in your life for a REASON, it is usually to meet a need you have expressed outwardly or inwardly. They have come to assist you through a difficulty, to provide you with guidance and support, to aid you physically, emotionally, or spiritually. They may seem like a godsend, and they are.

They are there for the reason you need them to be. Then, without any wrongdoing on your part or at an inconvenient time, this person will say or do something to bring the relationship to an end. Sometimes they die. Sometimes they walk away. Sometimes they act up or out and force you to take a stand. What we must realize is that our need has been met, our desire fulfilled; their work is done. The prayer you sent up has been answered and it is now time to move on.
When people come into your life for a SEASON, it is because your turn has come to share, grow, or learn. They may bring you an experience of peace or make you laugh. They may teach you something you have never done. They usually give you an unbelievable amount of joy. Believe it! It is real! But, only for a season.

LIFETIME relationships teach you lifetime lessons; those things you must build upon in order to have a solid emotional foundation. Your job is to accept the lesson, love the person/people (any way); and put what you have learned to use in all other relationships and areas of your life. It is said that love is blind but friendship is clairvoyant.

Guys, thank you for being a part of my life.....

Smile and stop here if you're not into this final part: This is to show people you love them and to see how many people love you!!!!!! Don't feel embarrassed cause only you will get the results.
Send it to every friend that you have online, including the person who sent it to you.

0 Replies = you may need to work on your "people skills”
2 Replies = you are nice but probably need to be more outgoing.
4 Replies = you have picked your friends well
6 Replies = you are downright popular
8 Replies or More = you are totally awesome [and probably why you're on MY list)!

Renungan Perjalanan

Kampus IPB Baranang Siang 1984

Di antara derap langkah mengawali tahun ini, kurasakan semburatnya bayang-bayang untuk meniti masa depan. Kadang manusia bingung mencari identitasnya, dan Barat telah belajar banyak untuk menekuni eksistensialisme. Kierkegaard seorang eksistensialist Denmark akhirnya sampai pada suatu kesadaran religi, bertitik tolak dari sesuatu yang antitheisme, untuk menemukan dirinya pada suatu hakekat ketuhanan.
Dari segi eksistensi manusia, suasana Idhul Fitri telah mengantar pada suatu kebulatan manusia seutuhnya. Di sana disadari arti dan makna hidup, hidup sekarang dan hidup setelah mati. Falsafah jiwa, Pancaran Nur, seperti sebuah lubang yang tak tembus (1), yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu ada di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) (2), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walau tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu (3). Kita lebur dosa kita dengan Nur illahi ….
Sejarah membuat manusia arif; puisi (membuat manusia) berdaya khayal kuat (4); matematika (membuat manusia) dalam; logika dan retorika (membuat manusia) dapat berdebat. Maka jika pikiran orang mengembara, biarlah ia studi matematika; sebab dalam pembuktian-pembuktian, jika pikirannya melayang-layang tidak sekedar sedikit saja, maka ia harus mulai lagi. Jika pikirannya tidak mampu untuk membedakan atau menemukan perbedaan-perbedaan, biarlah ia mempelajari Orang Terpelajar sebab mereka adalah cymini sectores (5). Jika ia tidak mampu untuk menangani perkara-perkara dan menggunakan satu hal untuk membuktikan dan menerangkan hal lain, biarlah ia mempelajari perkara-perkara para hakim. Dengan demikian tiap kekurangan dalam budi pikiran manusia mempunyai suatu resep yang khusus (6).
Kemudian aku teringat akan satu puisi yang pernah kubaca dan teringat selalu:

bulan putih menyembul di antara kubus-kubus kota
seorang santeri kecil berdiri di beranda Mushola
: tundukkan hatiku bermahkota nafsu maya
: sucikan nurani dari debu-debu perilaku
pada saat itu pula
Ramadhan Putih menguak pintu-pintu sukma terkunci
memasang dian-dian di bahagian paling kelam
Ia mengaungkan gema pesan putih
tapi kehadiran-Nya menyusup nuranimu
manakala suara tarawihmu menembus dinding Mushola
sujudkan keangkuhan yang lama bermuka
bersamaan suara panjang pelantun azan
Ramadhan Putih menyatulah dalam hari-hari sederhana
seorang santeri kecil tak bernama

Jakarta, Julai 1981 (7)

Diah Hadaning, sastrawati asal Indonesia yang berkelana ke Malaysia, menusuk kalbuku. Kuinginkan, aku santeri kecil itu, tapi rasanya belum tercpai juga maksud itu. Entahlah, mungkin bagiku Ramadhan Putih terasa kelabu. Detak-detak Al ’Ashr telah ternoda dengan keterlambatan-keterlambatan, sengaja atau pun tidak. Shalat fardlu yang terlambat, ceramah dan diskusi tarawih yang terlewat, dan banyak lagi. Demi Al ‘Ashr, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran (8).
Baru saja kulewati masa-masa berbulan gula, dengan berpulang ke rumah di kampung halaman. Mungkin kalau terlalu banyak, rasa gula itu pun pahit, maka aku pulang lagi ke Bogor lebih dini. Tak banyak cerita, mungkin tak sebanyak cerita tentang kota lain yang sudah bersejarah dan membuat manusianya arif. Kotaku itu, atau kusebutkan kampung saja (apa bedanya?) di tepi sungai Mentaya yang apalah artinya (?) Tapi aku bangga, itu saja. Seperti Guillaume Apollinaire yang liris, menuliskan le Voyageur kepada Fernand Fleuret tentang pasang surut sungai Euripus, maka saya terkesan akan Mentaya walaupun tetap le voyageur (9) di tanah Priangan ini. Bagaimanapun juga, Je suis tu regardais un banc de nuages descendre, avec la paquebot orphelin vers les fievres futures (10), tetapi selalu waswas dan cemas dan juga duka, kesal dalam menuntut ilmu ini … tapi akhirnya hanyalah kenangan yang sudah berlalu: te souvienstu(11) Alhamdulillah.
Ada baiknya kututup kata-kataku ini dengan ceritaku, kotaku yang kampung itu, dan diriku yang dusun itu, tetaplah aku Iyung Pahan yang tidak kampungan.

______

1) Misykat – lubang yang tak tembus: lubang di dinding rumah yang tidak tembus sampai ke sebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang yang lain. Lihat QS 24:35.

2) Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit, ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik (sesuai dengan konsep total heat unit). Ibid QS 24:35.

3) QS 24:35.

4) Witty: full of fancy, imaginative = penuh khayal.

5) Cymini sectores (Latin) = hair-splitters = orang yang membuat pembedaan-pembedaan yang halus-halus dan tak perlu = suka ‘njlimet.

6) Francis Bacon. Essays: Of Studies. Lihat Kemajuan Studi 2:26-30. Histories make men wise; poets witty4); the mathematics subtile; natural philosophy deep; logic and rhetoric able to contend. So is a man’s wit be wandering, let him study mathematics; for in demonstrations, if his wit be not apt to distinguish or find differences, let him study schoolmen; for they are cymini sectores5). If he be not apt to beat over matters, and to call up one thing to prove and illustrate another, let him study the lawyer’s cases. So every defect of the mind may have a special receipt.

7) Diah Hadaning. Ramadhan Putih. Dewan Sastera 803(12): Juni 1982. Kuala Lumpur.

8) QS 103:1-3.

9) Artinya: petualang. Lihat Guillaume Apollinaire. Le Voyageur. Anthologie Bilingue de la poeise Moderne Francaise. Pustaka Jaya. Jakarta. Hal. 90-91. (Choix et presentation de Wing Kardjo).

10) Terjemahan bebas: Aku memandang gumpalan awan yang turun bergegas, bersama kapal yatim piatu demam hari depan dituju.

11) Terjemahan bebas: kau kenang semua itu …



Toko Lampu

Oleh: Syeh-Per Syatari *)

Pada suatu malam gelap, dua orang bertemu di sebuah jalan yang sunyi.
“Saya mencari sebuah toko dekat-dekat sini, namanya Toko Lampu,” kata yang pertama.
"Saya kebetulan orang sini, dan bisa menunjukkannya pada saudara,” kata orang kedua.
“Saya harus bisa menemukannya sendiri. Saya sudah diberi petunjuk, dan saya sudah catat pula,” kata yang pertama.
“Jadi kenapa saudara mengatakan hal itu kepada saya?”
“Iseng saja.”
“Jadi saudara ingin ditemani, tidak ditunjukkan arahnya?”
“Ya, itulah maksud saya.”
“Tetapi lebih mudah bagi saudara kalau ditunjukkan arahnya oleh penduduk sini, sudah sejauh ini: apalagi mulai dari sini jalannya sulit.”
“Saya percaya pada apa yang sudah dikatakan kepada saya, yang telah membawaku sejauh ini. Saya tidak yakin bisa mempercayai sesuatu atau seseorang lain lagi.”
“Jadi, meskipun saudara mempercayai pemberi keterangan yang pertama, saudara tidak diajar cara memilih orang yang bisa saudara percayai?”
“Begitulah.”
“Saudara punya tujuan lain?”
“Tidak, hanya mencari Toko Lampu itu.”
“Boleh saya bertanya: kenapa saudara mencari toko lampu itu?”
“Sebab saya diberi tahu para ahli bahwa di tempat itulah saya bisa mendapatkan alat-alat yang memungkinkan orang membaca dalam gelap.”
“Saudara benar, tapi ada syarat, dan juga sedikit keterangan. Saya ragu apakah mereka sudah memberitahukan hal itu kepada saudara.”
“Apa itu?”
“Syarat untuk bisa membaca dengan lampu adalah bahwa saudara harus sudah bisa membaca.”
“Saudara tidak bisa membuktikannya!”
“Tentu saja dalam malam gelap semacam ini saya tidak bisa membuktikannya.”
“Lalu, 'sedikit keterangan' itu apa?”
“Sedikit keterangan itu adalah bahwa Toko Lampu itu masih di sana, tetapi lampu-lampunya sudah dipindah ke tempat lain.”
“Saya tidak tahu 'lampu' itu apa, tetapi tampaknya Toko Lampu adalah tempat menyimpan alat tersebut. Oleh karena itulah ia disebut Toko Lampu.”
“Tetapi 'Toko Lampu' bisa mempunyai dua makna yang berbeda. Yang pertama, 'Tempat di mana lampu-lampu bisa didapatkan'; yang kedua,”Tempat di mana lampu-lampu pernah bisa didapatkan, tetapi kini tidak ada lagi.”
“Saudara bisa membuktikannya!”
“Saudara akan dianggap tolol oleh kebanyakan orang.”
“Tetapi ada banyak orang yang akan menganggap saudara tolol. Mungkin saudara bukan si Tolol. Saudara mungkin mempunyai maksud tersembunyi, menyuruh saya pergi ke tempat teman saudara yang berjualan lampu. Atau mungkin saudara tidak menginginkan saya mempunyai lampu sama sekali.”
“Saya ini lebih buruk dari yang saudara bayangkan. Saya tidak menjanjikan saudara 'Toko Lampu' dan membiarkan saudara menganggap bahwa masalah saudara akan terpecahkan di sana, tetapi saya pertama-tama ingin mengetahui apakah saudara ini bisa membaca. Saya tentu bisa mengetahuinya seandainya saudara berada dekat sebuah toko semacam itu. Atau apakah lampu bisa didapatkan bagi saudara dengan cara lain.”
Kedua orang itu saling memandang, dengan sedih, sejenak. Lalu masing-masing melanjutkan perjalanan.

__________

*) Syeh-Per Syatari, penulis kisah ini, meninggal di India pada tahun 1632. Makamnya di Meerut. Ia dipercaya bisa melakukan hubungan telepati dengan guru-guru “masa lampau, kini dan masa depan”, dan memberi mereka kemudahan untuk menjelaskan pesan mereka lewat kepandaiannya menyusun kisah-kisah berdasarkan kehidupan sehari-hari.

Thursday, June 21, 2007

Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama

Oleh: Taufiq Ismail

APA KATA MEREKA TENTANG BUKU?

Buku adalah pengusung peradaban
Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam,
sains lumpuh, pemikiran macet.
Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia,
"mercu suar" seperti kata seorang penyair,
"yang dipancangkan di samudera waktu".
[Barbara Tuchman, 1989]

Buku adalah jendela
Sukma kita melihat dunia luar lewat jendela ini
Rumah tanpa buku bagaikan ruangan tak berjendela
[Henry Ward Beecher, 1870]

Buku itu seperti taman
Yang bisa dimasukkan ke dalam kantong
[Pepatah Tiongkok]

Buku adalah benda luar biasa
Buku itu seperti taman indah penuh dengan bunga aneka-warna,
Seperti permadani terbang
Yang sanggup melayangkan kita
Ke negeri-negeri tak dikenal sebelumnya
[Frank Gruber, 1944]

Buku menghirup udara dan menghembuskan minyak wangi
[Eugene Field, 1896]

Buku harus menjadi kampak
Untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita.
[Franz Kafka, 1883-1924, cerpenis dan novelis Austria]

Tanpa buku Tuhan diam,
Keadilan terbenam
Sains alam macet,
Sastra bisu,
Dan seluruhnya dirundung kegelapan
[Thomas V. Bartholin, 1672]

Buku adalah teman paling pendiam dan selalu siap di tempat.
Penasehat yang paling mudah ditemui dan paling bijaksana,
Serta guru yang luar biasa sabar
[Charles W. Eliot, 1896]


Saya tidak membaca buku:
Saya berbicara dengan pengarangnya
[Elbert Hubbard, 1927]

Buku berfikir untuk saya
[Charles Lamb]

Buku itu cermin
Kalau keledai bercermin disitu,
Tak akan muncul wajah ulama
[G.C. Lichtenberg]

Buku sebenarnya bukanlah yang kita baca,
Tapi buku yang membaca kita
[W.H. Auden, 1973]

Wanita piaraan saya
Buku
[S.J. Adair Fitzgerald]

Kalau ada uang sedikit, saya beli buku,
Kalau masih ada sisanya,
Saya beli makanan dan pakaian
[Desiderius Erasmus]

Biarlah saya jadi orang miskin,
Tinggal di gubuk tapi punya buku banyak
Daripada jadi raja tapi tak suka membaca
[Thomas B. Macaulay, 1876]

Banyak orang seperti saya
Orang yang perlu buku, seperti mereka perlu udara
[Richard Marek, 1987]

Saya tak bisa hidup tanpa buku
[Thomas Jefferson, 1815]

Duduk sendirian dibawah sinar lampu,
Buku terkembang di depan,
Bercakap-cakap secara akrab dengan manusia dari generasi yang tak tampak.
Sungguh suatu kenikmatan yang tak bertara
[Yoshida Kenko, 1688]

Kebiasaan membaca itu satu-satunya kenikmatan yang murni
Ketika kenikmatan lain pudar, kenikmatan membaca tetap bertahan
[Anthony Trollope]

Orang mana bisa tahu tentang waktu yang dihabiskan
Dan susah payahnya belajar membaca (buku)
Saya sudah 80 tahun berusaha,
Belum juga mencapai tujuan
[Goethe]

Seseorang kehilangan kontak dengan kenyataan
Bila tidak dikelilingi buku-bukunya
[Francois Mitterand, Presiden Perancis, 1982]

Seperti daging untuk jasmani, begitulah bacaan untuk jiwa
[Seneca]

Membaca buku bagus
Seperti bercakap-cakap dengan orang hebat
Dari abad-abad terdahulu
[Rene Descartes, 1617]

Orang dapat memperoleh pendidikan kelas atas
Dari rak buku sepanjang lima kaki
[Charles William Eliot, Rektor Universitas Harvard]

Universitas sejati hari ini
Adalah sebuah kumpulan buku
[Thomas Carlyle]

Saya akan menyudahi pendahuluan ini dengan mengutip ucapan Jorge Luis Borge, penyair, cerpenis dan esais Argentina (1899 - 1986), Direktur Perpustakaan Nasional Argentina (1955 - 1973) tentang perpustakaan yang mengatakan,

Saya selalu membayangkan Sorga itu
Seperti semacam perpustakaan.

KENAPA ORANG INDONESIA (SEDIKIT, SANGAT SEDIKIT, LUAR BIASA SEDIKIT) MEMBACA BUKU?

Kenapa di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya pasasir Indonesia tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Kenapa di bus Pekanbaru - Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar - Banda Naira penumpang tidak membaca buku kumpulan puisi, tapi main domino? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama tapi asyik main sms? Ada 4 - 5 teori kuno yang mencoba menjelaskan sebab defisiensi budaya yang sudah luar biasa parah ini, dan sudah berlangsung 55 tahun lamanya, tapi saya jemu dan tidak akan mengulanginya.

Etiologi dari epidemi ini, sebab utama penyakit kronis ini terletak sejak dari hulu sampai hilir aliran sungai lembaga pendidikan kita, yaitu TERLANTARNYA KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA. Mari kita teropong masalah ini, dengan mempertajam fokus lensa pengamatan ke SMA. Agar diperoleh perbandingan yang menguntungkan, kita luaskan pandangan ke SMA 13 negara, sebagai berikut ini.

Antara Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara. Saya bertanya tentang:

1) kewajiban membaca buku,
2)tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah,
3) bimbingan menulis dan
4) pengajaran sastra di tempat mereka.

Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji:

Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara:

NO /ASAL SEKOLAH / BUKU / NAMA SMA / TAHUN WAJIB
1 SMA Thailand Selatan / 5 judul / Narathiwat /1986-1991
2 SMA Malaysia / 6 judul / Kuala Kangsar / 1976-1980
3 SMA Singapura / 6 judul / Stamford College / 1982-1983
4 SMA Brunei Darussalam / 7 judul / SM Melayu I / 1966-1969
5 SMA Rusia Sovyet / 12 judul / Uva / 1980-an
6 SMA Kanada /13 judul / Canterbury / 1992-1994
7 SMA Jepang /15 judul / Urawa / 1969-1972
8 SMA Internasional Swiss / 15 judul / Jenewa / 1991-1994
9 SMA Jerman Barat / 22 judul / Wanne-Eickel / 1966-1975
10 SMA Perancis / 30 judul / Pontoise / 1967-1970
11 SMA Belanda / 30 judul / Middleburg / 1970-1973
12 SMA Amerika Serikat / 32 judul / Forest Hills / 1987-1989
13 AMS Hindia Belanda-A / 25 judul / Yogyakarta / 1939-1942
14. AMS Hindia Belanda-B / 15 judul / Malang / 1929-1932
15. SMA Indonesia / 0 judul / Di Mana Saja / 1943-2005


Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca Cuma ringkasannya, 3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan 5} tidak diujikan, dianggap nol. Angka nol buku untuk SMA Indonesia sudah berlaku 62 tahun lamanya, dengan kekecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA saja.

Sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib baca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan?) Nol buku. Tapi kita tahu 3 puisi Chairil Anwar (" Aku", "Krawang-Bekasi", "Senja di Pelabuhan Kecil"), kenal jalan cerita novel Layar Terkembang, dan pernah dengar-dengar Rendra lahir di kota mana gerangan. Dengan kriteria di atas, kita seharusnya tamat 72 puisi dan 7 prosa Chairil (bukunya Derai-derai Cemara setebal 132 halaman), baca tamat Layar Terkembang (bukan tahu plotnya karena baca sinopsisnya), dan baca tamat kumpulan puisi Balada Orang Tercinta.

Di SD kita diberi tahu tentang awalan, sisipan dan akhiran. Di SMP kita dilatih menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Di SMA kita diperiksa menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Sastra diajarkan dalam definisi -definisi, seperti ilmu fisika, dalam rumus-rumus, mirip ilmu kimia. Latihan mengarang mendekati Nol Karangan. Rejim Linguistik menguasai pelajaran bahasa dan sastra lebih dari setengah abad lamanya. Siswa tidak diberi kesempatan berenang di danau kesusastraan dengan nikmatnya.

Siswa AMS wajib menulis karangan, 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. Panjang karangan satu halaman. Jumlahnya 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan merdu dan lancar. Kewajiban menulis karangan di SMA kini antara 1 kali setahun (mirip shalat Idulfitri) sampai 5 kali setahun (pastilah di SMA favorit yang mahal itu). Dibanding dengan AMS, yah, sekitar 5,2 persen. Ratusan ribu siswa pasti pernah menulis karangan dengan judul "Cita-citaku" dan "Berlibur di Rumah Nenek."

Tragedi Nol Buku ini hampir tidak masuk akal bila kita mendapatkan fakta bahwa siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) Yogya wajib baca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman Barat) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis (responden Rosihan Anwar, 1997).

Tragedi Nol Buku ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan, yang mesti membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Wajib baca 25 buku sastra digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar. Ketika saya perlihatkan hasil observasi (dalam tabel) itu kepada Menteri Wardiman Djojonegoro (1997), beliau terkejut. "Sudah demikian burukkah keadaannya?" tanyanya. "Ya," jawab saya. Mari kita kilas batik ke tahun 1942-1945, dan kita dengar apa kata Asrul Sani (1999):

Kelompok sastrawan masa itu (pendudukan Jepang) gila membaca. Buku-buku orang Belanda, yang diinternir Jepang, banyak diloakkan di Pasar Senen, sehingga asal rajin ke sana, banyak bisa memperoleh karya sastra dunia, di samping buku-buku sastra Belanda. Rivai Apin, Idrus juga tukang baca. Idrus fanatik pada IIya Ehrenburg ... Di jalan Juanda dulu ada dua toko buku. Toko buku van Dorp, yang sekarang jadi kantor Astra, dan toko buku Kolff. Koleksinya luar biasa. Saya dan Chairil Anwar suka juga mencuri buku di sana.

Tapi kewajiban baca 25 buku itu tidak bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Tidak. Sastra cuma medium tempat lewat. Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baea buku secara umum. Seorang Anak Baru Gede di tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sepantaran dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka iImu politik, sosial dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.

Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. "Jiwa saya merasa haus kalau saya tak baca buku," kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup. Tragedi Nol Buku ini, yang sudah berlangsung 55 tahun lamanya, dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang); mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini, dengan rentang umur antara 35 - 70 tahun.

MEREKA INI, DENGAN SEDIKIT KEKECUALIAN, HAMPIR SEMUA BERBEKAL NOL BUKU KETIKA BERSEKOLAH, TIDAK MENDAPAT KESEMPATAN UNTUK DITANAMKAN RASA KETAGIHAN MEMBACA BUKU, KECINTAAN PADA BUKU, KEINGINAN BERTANYA KEPADA BUKU DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN DAN KEBIASAAN MENGUNJUNGI PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT MERUJUK SUMBER ILMU PENGETAHUAN.

Tentulah etiologi penyakit budaya ini mesti disembuhkan. Kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan menulis di sekolah-sekolah kita, sejak SD, sampai SMP dan SMA. Komponen luar biasa penting dalam ikhtiar perbaikan ini adalah perpustakaan.

Ketika masih siswa SMA di Pekalongan, pada tahun 1955 dan 1956, saya pernah menjadi penjaga perpustakaan pelajar, yang diamanatkan Djawatan Pendidikan Masjarakat kepada organisasi Peladjar Islam Indonesia. Perpustakaan kami dibuka sekali sepekan, pada hari Minggu saja, di beranda rumah orangtua saya, Jalan Bandung 60. Jumlah buku sekitar 300 judul. Saya dan sahabat saya S.N. Ratmana menjadi administraturnya: mencatat lalu-lintas buku, menagih yang terlambat mengembalikan, menjaga kebersihan, mengatur keuangan.

Anggota kami siswa SMP, SMA dan PGA. Sebagai pemegang kunci perpustakan, sebagai "bos" saya bebas membaca tanpa biaya. Demikianlah saya kenyang membaca semua novel Karl May tentang Winnetou, Pudjangga Baru, Angkatan 45, sampai juga buku tuntunan bertanam anggrek karangan Sutan Sanif dan buku cara mengecor beton bertulang Prof. Ir. Rooseno. Kecil-kecilan di kalangan siswa SMA Pekalongan dulu saya adalah seorang ”pustakawan”.

Sebagai penutup saya menyampaikan harapan, marilah kita jadikan perpustakaan bukan saja rujukan utama ilmu pengetahuan, tapi tempat yang sejuk dan teduh bagi manusia Indonesia (sedikit di bawah sorga yang diimpikan Jorge Luis Borge), berumur 5 sampai 85 tahun, yang memberikan pencerahan pada akal dan sukma kita, menuju peradaban Indonesia yang mendapat naungan Tuhan Yang Maha Rahim dan Rahman.


KUPU-KUPU DI DALAM BUKU

Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api,
di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang di sebuah toko,
warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika singgah di sebuah rumah,
kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya, kemudian katanya,
"tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu tentang kupu-kupu,"
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.

Taufiq Ismail, 1996.


BIODATA

Taufiq Ismail lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1935, dibesarkan di Pekalongan, Semarang dan Yogyakarta.

Salah seorang pendiri majalah sastra Horison (1966), redaktur senior sampai kini. Alumnus IPB (Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan), 1963. Penyair tamu di University of Iowa, Iowa City (1971-1972 dan 1991-1992). Kuliah di American University in Cairo, 1990, terhenti karena Perang Teluk. Penulis tamu di Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1994. Menulis dan menghimpun antologi 15 judul buku, a.1. kumpulan puisi Tirani dan Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

Tergugah oleh merosotnya budaya baca buku dan menulis karangan, Taufiq Ismail bersama-sama sastrawan di majalah Horison menggerakkan enam butir kegiatan gerakan sastra, dengan sasaran dunia pendidikan, yang bertujuan meningkatkan: budaya membaca buku, kemampuan mengarang, dan apresiasi sastra.

NO / KEGIATAN / SASARAN / PENDANAAN
1 Sisipan Kakilangit / Siswa dan Guru / Majalah Sastra Horison
2 Pelatihan MMAS / Guru / Depdiknas
3 Kegiatan SBSB / Siswa dan Guru / The Ford Foundation
4 Kegiatan SBMM / Mahasiswa / The Ford Foundation
5 LMKS dan LMCP / Guru / Depdiknas
6 SSSI / Siswa / The Ford Foundation

  • Sisipan Kakilangit ditujukan untuk siswa SMA dan sederajat, dilaksanakan sejak 1996.
  • Pelatihan MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) selama 7 hari untuk guru bahasa dan sastra SMA se-Indonesia, 1999-2004, diikuti 1.700guru di 11 kota.
  • Kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) mendatangkatl sastrawan ke SMA dan Pondok Pesantren, membacakan karya dan berdiskusi dengan siswa serta guru. Dalam rentang masa 2000-2004 telah dikunjungi 205 sekolah di 133 kota, 26 provinsi, 97.180 siswa danguru, oleh 70 sastrawan.
  • Mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakultas Bahasa & Seni menjadi sasaran kegiatan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca), 2000-2002 di 9 universitas, dengan mendatangkan 18 sastrawan yang berbicara tentang bukunya.
  • Guru distimulasi mengarang dengan Lomba Mengulas Karya Sastra dan Lomba Menulis Cerita Pendek, 2000-2004, diikuti oleh sekitar 300 guru setiap tahunnya.
  • Untuk menampung energi kegiatan sastra siswa dibentuk 12 Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) di 12 kota (2002), dan tahun 2005 akan dibentuk 10 lagi sanggar di kota-kota lain.

Sebagai penghargaan atas kegiatan yang digerakkannya ini, Taufiq Ismail dianugerahi gelar Doktor Kehormatan dalam pendidikan sastra oleh Universitas Negeri Yogyakarta, 8 Februari 2003. * * *

Paruh Kedua Kehidupan

Menurut Drucker, pekerja berbasis ilmu pengetahuan (knowledge worker) adalah pekerja yang tidak bekerja secara mekanis (seperti penyapu jalanan dan pemanen TBS kelapa sawit), menempatkan dirinya sendiri sebagai penanggung jawab utama dalam upaya mencari pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi dirinya, memilih jenis pekerjaan dan menginvestasikan waktunya untuk menghasilkan outcome yang ditargetkannya. Konsep ini adalah dasar dari peningkatan harkat manusia dari sekedar pekerja (worker) menjadi sumberdaya manusia (human resource) yang akhirnya layak dikatakan sebagai modal insani (human capital).
Ketiga terminologi tadi merupakan subyek pengkajian dalam revolusi manajemen personalia menjadi manajemen sumber daya manusia, dan kemudian menjadi manajemen strategis sumber daya manusia atau manajemen modal insani. Perubahan lingkungan bisnis yang semakin lama semakin cepat, mau tidak mau, senang tidak senang, akhirnya menempatkan perubahan sebagai unsur utama yang menentukan ketahanan organisasi dalam siklus hidup organisasi yang semakin tinggi temponya dan semakin sedikit waktu tersisa untuk menyikapinya dengan kata kunci: BERUBAH atau MATI!
Sejalan dengan perubahan dunia yang menjadi semakin datar dengan terjadinya fenomena globalisasi yang datang seperti versi perangkat lunak yang semakin lama semakin kompleks, canggih dan tak terbayangkan, globalisasi telah mengambil purwa rupa dengan runtunan globalisasi versi 1.0, 2.0 dan 3.0.
Globalisasi 1.0 (1492-1800): Dunia susut dari besar menjadi sedang, prosesnya terkait pada negara dan otot. Seberapa gigih, seberapa kuat otot dan seberapa besar tenaga kuda, tenaga angin, dan tenaga uap yang dimiliki negara serta seberapa besar kreativitas pemanfaatannya akan mendorong globalisasi.
Globalisasi 2.0 (1800-2000): Dunia susut dari sedang menjadi kecil, prosesnya terkait pada perusahaan-perusahaan multinasional. Dimotori jatuhnya biaya transportasi karena mesin uap dan kereta api, dilanjutkan dengan jatuhnya biaya telekomunikasi karena telegraf, telepon, PC, satelit, serat optik dan www versi awal. Terjadi pergerakan barang dan informasi antar benua membentuk pasar global berupa perdagangan barang dan tenaga kerja antarpasar.
Globalisasi 3.0 (2000-sekarang): Dunia susut dari kecil menjadi sangat kecil sehingga mendatarkan dunia, prosesnya terkait pada pemberdayaan individu-individu, kelompok-kelompok dan segala keragamannya. Dimotori oleh 10 pendatar berupa kreativitas, konektivitas, kolaborasi, up-loading, outsourcing, off-shoring, supply-chaining, insourcing, in-forming, dan steroid seperti digitalisasi, mobilitas, personalisasi, dan virtualisasi. Mereka menciptakan trio konvergensi yang akhirnya mendatarkan dunia melalui integrasi yang menciptakan lapangan baru, horisontalisasi yang menciptakan proses baru, dan koloborasi horisontal yang menciptakan kebiasaan baru.
Sebagai pekerja ilmu pengetahuan, yang menyadari bahwa dunia telah berubah, dan kompetensi yang dimiliki semakin lama semakin cepat usang dan tidak terpakai lagi, maka pengalaman akhirnya berubah menjadi guru yang terburuk. Ungkapan pengalaman adalah guru yang terbaik hanya berlaku dalam dunia yang turbulensinya rendah, sehingga orang dapat belajar dari kesalahan untuk mencari makna dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Dalam bahasa program, situasi ini adalah proses debug. Malangnya, persaingan piranti lunak saat ini bukan pada tataran program dan debug yang dilakukan untuk menambal (patching) kerentanan program itu lagi. Debug untuk menambal program sudah menjadi suatu keharusan, yang dalam bahasa manajemen telah menjadi komoditas, alias tidak memiliki nilai tambah yang signifikan lagi. Semua orang melakukan hal yang serupa, dan keunggulan anda dalam hal debug bukanlah suatu kompetensi utama lagi.
Dalam situasi turbulensi tinggi menurut Ansoff, pengalaman adalah guru yang terburuk, karena apa yang menjadi referensi pada hari ini, tidak berlaku lagi pada kondisi hari esok. Kesepuluh koefisien pendatar dunia telah membuat dunia yang selama ini bulat (seperti dipostulatkan Columbus), susut menjadi bidang datar (seperti yang diceritakan Friedman). Keberadaan pekerjaan-pekerjaan tradisional terancam punah karena perubahan. Pada prinsipnya, setiap pekerjaan yang bisa dipecah-pecah menjadi task yang lebih kecil dan dapat didigitalisasi sehingga dapat dikirim dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat dan murah, adalah pekerjaan yang akan mengalir dari daerah yang upahnya mahal ke daerah yang upahnya murah. Pekerja ilmu pengetahuan yang memiliki akses kepada dunia maya, dengan cepat akan menyeimbangkan kompetensi tradisional yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan generik. Pekerjaan generik adalah pekerjaan seperti mengetik, menterjemah, mengajar, dan dalam kasus tertentu seperti menafsirkan citra digital hasil MRI seorang pasien di Bethesda AS yang dikirim ke dokter India yang tarifnya hanya 1/5 upah AS. Termasuk didalamnya juga pembuatan barang-barang berkualitas dengan harga murah seperti kalkulator, MP4 player dan hands free Bokia dari RRC. Harga hands free Bokia berupa mikropon dan ear phone speaker berikut kemasannya di Jakarta hanyalah Rp 1,500,-; sehingga harga pokok penjualannya dari RRC hanyalah 1/5-nya yaitu Rp 300,- per unit, bayangkan man!
Pekerjaan yang tak tergantikan adalah pekerjaan mekanis yang melelahkan seperti penyapu jalanan, pekerjaan mekanis yang membutuhkan sentuhan pribadi seperti perawat yang ramah dan peduli dengan pasien, pekerjaan mekanis yang membutuhkan sentuhan khusus seperti koki restoran yang memiliki resep rahasia, pekerja seni seperti Picasso, Rembrandt dan Affandi, serta pekerjaan penuh inovasi seperti yang dilakukan Thomas Alva Edison, dan pekerjaan tak terbayangkan yang unik di dunia datar seperti search engine optimizer (SEO). Seorang SEO adalah pekerja ilmu pengetahuan yang mengakali algoritma yang ada di dalam search engine seperti Google, Yahoo, MSN dll., sehingga setiap situs web yang dibuat berdasarkan algoritma khususnya, pasti akan muncul pada urutan pertama hasil pencarian search engine. Kalau seseorang mengetik kata kunci ”ahli kelapa sawit” pada Google, karena saya memiliki kompetensi SEO maka situs web saya merupakan situs pertama yang ditampilkan, maka peluang orang meng-klik situs saya dan melakukan transaksi bisnis menjadi lebih besar. Profesi SEO yang membuat kemampuan itu ada dan bermanfaat adalah pekerjaan unik di dunia yang semakin datar.
Seorang pekerja ilmu pengetahuan akan mengalami kebosanan dalam pekerjaannya setelah 20 tahun bekerja. Pada kondisi ini, pekerjaan menjadi tak bermakna, dan kehidupan seakan daun-daun kering berguguran. Pada saat inilah dimulai paruh kedua kehidupan, dimana orang mencari makna lain dalam kehidupan profesionalnya. Boleh saja seseorang menjadi si gagal atau si sukses dalam karirnya, tetapi tidak mendapat ketenangan batin dan menemukannya dalam aktivitas lain di dunia paralel seperti menjadi tetua adat dalam komunitas hacker, penyanyi paruh waktu di restoran eksklusif, aktivis lembaga swadaya masyarakat, pembina pramuka yang melarikan diri dari krisis paruh baya dengan membina anak-anak remaja tanpa dosa dll. dst. dsb.
Siapkan diri menghadapi paruh kedua kehidupan. Karena kita juga manusia, maka kita pasti akan merasakan esensi kebosanan dalam kehidupan. Sedia payung sebelum hujan apakah berarti harus selalu membawa payung sepanjang hari? Menghadapi situasi ini, janganlah beranalogi seperti bankir idiot yang meminjamkan payung di waktu panas, dan menariknya ketika hujan turun. Saya hanya ingin berbagi, bahwa mempersiapkan paruh kedua kehidupan berarti membuat kehidupan menjadi lebih komplit. Seperti kata Timbul Srimulat, kehidupannya Komplit ... plit.

Monday, June 18, 2007

Summa Cum Laude

Ketika lagu Gaudeamus dinyanyikan oleh paduan suara di Grawida IPB tanggal 13 Juni 2007, aku terpekur dalam keheningan kalbu dan terlempar dalam konfigurasi sepi.
Lulus dari kelas eksekutif program Manajemen dan Bisnis Sekolah Pascasarjana IPB dalam waktu 17 bulan dengan indeks prestasi kumulatif 4.00 mengantarkanku sebagai bagian dari legenda almamater ke-8 yang lulus summa cum laude sejak program tersebut dibuka.
Dibutuhkan kebesaran hati untuk diwisuda bukan sebagai lulusan terbaik, karena ada teman dari kelas reguler yang kuliah pagi-sore (full time) yang lulus summa cum laude dengan periode waktu kuliah yang lebih pendek 1 trimester. Kebesaran seorang individu juga harus dinilai dari toleransinya menerima ketidakadilan suatu sistem,walaupun reward yang dipersengketakan hanyalah persoalan remeh-temeh kebanggaan akan penyebutan nama sebagai lulusan terbaik dan maju ke depan rektor untuk menerima plakat.
Ketika wisuda digelar, yang kusesali adalah sergapan keterasingan yang datang menjelang ketika berbaris masuk ke aula. Dari 29 orang teman yang bersama berselancar dalam liku-liku gelombang perkuliahan, hanya aku dan Tri yang diwisuda. Dua puluh lima orang lainnya masih berkekutat dengan sanksi denda dan pengurangan nilai tesis. Aku kehilangan momen-momen kebersamaan karena lulus terlalu cepat, seakan aku menyesap wisuda tak lebih seperti minum high noon tea di Coffe Bean and Tea Leaf. Tanpa sensasi, seakan seks tanpa orgasme yang jauh lebih parah dari edi tansil (ejakulasi dini tanpa hasil).
Tinggallah kilas balik perjuangan mendapatkan nilai 4.00 yang jauh lebih mengisi relung hati. Sehingga benarlah kearifan hidup, terkadang proses lebih penting dari pada hasil akhir. Aku menjadi makhluk yang akhirnya memuja proses sebagai bagian dari hasil akhir. Nikmatilah prosesnya, karena belum tentu hasil akhir yang dicita-citakan itu ternyata lebih nikmat. Seperti itulah kehidupan, ketika kita sampai pada saat-saat final day, ternyata final itu tak seperti final yang kita harapkan (walaupun itu jelas-jelas final dengan kondisi yang kita deskripsikan di awal perjalanan hidup).