Thursday, July 5, 2007

Pelatihan

Dikutip dari Iyung Pahan. 2004. Kiat Keberhasilan Bisnis Sepanjang Masa. Penerbit Indeks, Kelompok Gramedia. Jakarta.
Tujuan managemen adalah membantu organisasi mencapai targetnya. Prosedur yang terbaik adalah dengan menentukan sasaran yang harus dicapai, dan kemudian memikirkan kombinasi human capital, mesin, dan proses yang akan digunakan untuk mencapai sasaran tersebut.
Sebagai seorang manager, anda menyadari bahwa hal itu harus dilakukan dengan benar sejak pertama kali ketimbang anda harus membayar akibatnya di belakang hari. Pelatih yang baik akan bertindak seperti itu juga. Anda mungkin bisa mengatakan bahwa pelatih sekarang ini menggunakan penalaran yang sama dengan para manager. Pertama, pelatih memutuskan hasil-hasil yang ingin dicapai, dan kemudian mereka memutuskan bagaimana cara mencapainya. Perencanaan sebelum bertindak. Ini tidak hanya sekedar kerangka kerja yang penting, tetapi lebih dari itu. Banyak alat-alat hebat yang bisa memberikan kinerja lebih cepat dan lebih murah dari pada pelatihan. Jenis kekuatan kinerja ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pelajari di sekolah. Ini benar-benar murni minat terbaik anda untuk mengetahui sesuatu tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakannya. Jadi, untuk membuat penggunaan pelatihan dan alat-alat non pelatihan secara murah meriah, anda harus mengetahui :
  • Apa yang membuat kinerja yang diharapkan itu terjadi.
  • Bagaimana meyakinkan diri kita bahwa anda akan mendapatkan pelatihan dan/atau pelayanan lain yang dibutuhkan.
  • Bagaimana memutuskan kapan harus melakukan pelatihan, dan kapan harus melakukan hal yang lain.
  • Bagaimana berurusan dengan pelatih.
  • Bagaimana mendapat nilai penuh – yaitu memastikan bahwa human capital anda tidak kehilangan ketrampilan yang telah diajarkan.
  • Bagaimana anda melakukannya sendiri.

Banyak tenaga yang harus dicurahkan untuk melakukan investasi kecil yang ingin kita lakukan. Tetapi ini menjadi hal yang kritis ketika kita ingin mendapatkan kinerja terbaik yang masih mungkin diberikan human capital kita, dengan harga yang masih bisa dibayar.

Nama Permainan
Kalau anda tidak tahu nama permainannya, anda akan tersedot sampai tandas dan pulang dengan kantong kandas. Anda dapat terlena dan percaya bahwa anda mendapat pelayanan yang bermanfaat ketika fakta berbicara bahwa pelayanan itu hanya memberikan sedikit atau tidak memberikan manfaat apapun bagi anda. Dan nama dari permainan ini bukanlah pelatihan.

Tapi kalau bukan pelatihan, apa pula itu? Mungkin lebih baik saya jelaskan dengan cara yang lebih gamblang. Jika anda bekerja di pabrik, paling tidak anda memiliki seorang bagian perawatan yang bertanggung jawab menjaga mesin dan peralatan tetap bekerja dengan baik. Ketika salah satu mesin mati, orang perawatan segera dipanggil untuk memecahkan masalah dan membuat perbaikan yang diperlukan. Walaupun perawatan merupakan fungsi yang penting terhadap keberhasilan organisasi, perawatan itu sendiri bukanlah tujuan organisasi. Walaupun perawatan dibutuhkan untuk mendukung tujuan organisasi, perawatan adalah sesuatu yang kita lakukan karena kita memang harus melakukannya. Itulah inti permasalahannya, kita menggaji satu atau beberapa orang yang baik dalam memutuskan kapan dan apa jenis perawatan yang dibutuhkan.

Kebenaran yang sama juga berlaku untuk pelayanan-pelayanan yang lain. Kita memberikan pelayanan kesehatan untuk orang yang membutuhkannya. Tujuan perusahaan bukanlah menempelkan plester luka pada setiap orang karena kita mempunyai bagian pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan, seperti akunting dan bagian keamanan, adalah cara untuk mencapai tujuan, tetapi ia sendiri bukanlah tujuan itu.

Pelatihan juga merupakan upaya untuk mencapai tujuan, tetapi pelatihan itu sendiri bukanlah tujuan organisasi. Tujuan organisasi ini bukanlah untuk melatih human capital karena semata-mata kita mempunyai departemen pelatihan. Jika anda bisa merekrut orang yang mampu dan mau melakukan apa yang diharapkan dari mereka, anda tidak perlu para pelatih. Tetapi pelatihan tidak bekerja dengan cara demikian. Bahkan jika anda mempunyai staf yang sangat kompeten sekalipun, dunia anda berubah. Pekerjaan-pekerjaan berubah, tugas-tugas berubah, visi dan strategi organisasi juga mungkin berubah. Artinya, seseorang harus menolong organisasi untuk mengembangkan ketrampilan baru. Secara singkat bisa dikatakan : Jika organisasi anda mempunyai orang pada bagian hubungan investor, seseorang harus memastikan bahwa mereka memiliki ketrampilan yang dibutuhkan. Seseorang harus melatih mereka. Tentu saja dengan persyaratan si human capital tidak tahu bagaimana mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakannya.

Aturan Pelatihan #1 : Pelatihan hanya dibutuhkan ketika ada dua kondisi yang terpenuhi:(1) Ada sesuatu yang harus dikerjakan oleh human capital tetapi mereka tidak tahu cara melakukannya, dan (2) Mereka ingin untuk dapat melakukannya.

Aturan Pelatihan #2 : Jika mereka sudah tahu cara mengerjakannya, maka pelatihan tidak akan membantu.

Pelatihan bukanlah karena semata-mata perusahaan harus melakukannya, atau karena kelihatannya merupakan hal yang baik di mata karyawan, atau karena seseorang berpikir bahwa “pengembangan karyawan” selalu identik dengan pelatihan, atau karena mereka ingin menghargai orang dengan mengirimkannya mengikuti pelatihan di tempat yang eksotik, atau karena ide seseorang bahwa akreditisasi dihitung berdasarkan jumlah jam di kelas ketimbang pada ketrampilan. Pelatihan dibenarkan hanya ketika ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh human capital, dan mereka membutuhkan bantuan untuk meningkatkan kinerjanya. Pelatihan yang dilakukan untuk alasan-alasan diluar itu adalah suatu kecurangan atau kemewahan atau kedua-duanya.

Jika pelatihan hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, apakah tujuan yang harus dicapai ? Jawabannya adalah kinerja. Untuk memberikan andil bagi keberhasilan organisasi, kita memerlukan human capital melakukan pekerjaannya dengan baik. Kalau mereka tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan baik, mereka tidak dapat membantu organisasi mencapai sasarannya. Bagian produksi tidak dapat membuat produk, bagian pemasaran tidak bisa menjual, dan produk-produk baru tidak bisa diluncurkan. Jika human capital tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, tidak perduli seberapa banyak yang mereka ketahui, maka kapal organisasi ini akan bocor dan tenggelam. Oleh karena itu, nama permainan ini adalah melicinkan jalan mencapai kemampuan menghasilkan kinerja, karena melalui kinerja human capital lah sasaran organisasi dapat dicapai.

Ketrampilan Saja Tidak Cukup

Kata kunci disini adalah mengerjakan. Tidak perduli apakah seseorang sangat pintar atau berketrampilan hebat, jika orang itu tidak melakukan apapun maka orang itu tidak mencapai kinerja. Dengan kata lain, pengetahuan mungkin tidak memberikan nilai sama sekali, karena tanpa ada yang mengerjakan berarti tak ada hasil dan jelas-jelas organisasinya gagal.

Pelatihan selalu mutlak diperlukan ketika human capital ingin mengetahui apa yang belum mereka ketahui. Walaupun demikian, kinerja membutuhkan lebih dari sekedar ketrampilan.

Aturan Pelatihan #3: Ketrampilan saja tidak cukup untuk menjamin kinerja yang baik.

Fasilitasi kinerja adalah usaha bersama. Seorang ahli bedah sendirian tidak dapat mengoperasi dan menjamin kesehatan pasiennya, dan sebuah biola sendirian saja tidak bisa menciptakan suara orkestra, seorang pelatih sendirian saja tidak dapat menjamin kinerja pekerjaan human capital yang dilatihnya.

Menurut Mager (1999), kinerja pekerjaan yang berhasil membutuhkan 4 kondisi yang harus ada, yaitu: (1) Ketrampilan, (2) Kesempatan untuk membuat kinerja, (3) Kemampuan diri, dan (4) Lingkungan yang mendukung.

Ketrampilan. Jika human capital tidak tahu bagaimana mengerjakannya, mereka tidak akan mampu mengerjakannya. Tidak ada insentif atau tekanan atau ancaman yang bisa membuat mereka mengerjakannya. Tidak ada ketrampilan berarti tidak ada kinerja.

Jika mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya, dan jika mereka berkeinginan untuk dapat mengerjakannya, maka akan diperlukan seseorang untuk mengajari mereka melakukannya. Tetapi ketrampilan tidak dibentuk dengan semata-mata mendengarkan seseorang menerangkan bagaimana cara mencapai kinerja. Ketrampilan dibentuk dan diperkuat melalui latihan, melalui pekerjaan nyata yang dikerjakan untuk menyelesaikan tugas-tugas kerja. Hal ini mencakup “pekerjaan mental” dan pekerjaan fisik. Jika peserta pelatihan tidak mengikuti petunjuk pemikiran mengikuti langkah-langkah prosedur, ada kecenderungan mereka mengabaikan dan hanya menggunakannya ketika menghadapi masalah yang timbul. Jika peserta pelatihan tidak mempraktekkan tugas-tugas yang harus dipelajari – seperti menulis laporan, membuat strategi atau melakukan presentasi – adalah tidak masuk akal untuk mengharapkan mereka dapat menghasilkan kinerja seperti yang diinginkan organisasi. Ketrampilan terutama dibentuk melalui praktek dan melalui penerimaan informasi yang segera (umpan balik) tentang mutu kinerja yang dilatih.
Kesempatan untuk membuat kinerja. Tanpa ada kesempatan untuk membuat kinerja, berarti tidak akan ada kinerja. Kesempatan berarti mendapatkan hal-hal sbb.:

  • Izin (atau otoritas) untuk membuat kinerja.
  • Informasi tentang harapan-harapan.
  • Alat kerja dan peralatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kinerja.
  • Sebuah tempat untuk membuat kinerja.
  • Waktu untuk membuat kinerja.

Jika anda diangkat menjadi pemain gitar tetapi tidak mempunyai gitar, anda tidak akan bisa memainkan gitar secara solo. Tidak ada gitar, tidak ada kinerja. Dengan menggunakan analogi yang sama, jika anda memiliki sebuah gitar tetapi tinggal di lingkungan dimana gitar dan alat musik dilarang untuk dimainkan, anda tidak akan bisa menghasilkan kinerja (karena menghadapi resiko ditangkap polisi yang anti musik). Jika anda tidak memiliki alat untuk melakukan pekerjaan, atau tempat untuk melakukannya, anda tidak akan bisa menghasilkan kinerja. Tidak ada kesempatan, tidak ada kinerja.

Tetapi lebih dari itu, karena kesempatan untuk menghasilkan kinerja saja tidak cukup. Aturan Pelatihan #4: Anda tidak bisa menyimpan pelatihan!

Atau dalam bahasa pelatih, gunakan atau buang. Tidak seperti anggur yang baik, ketrampilan tidak dapat meningkat seiring berjalannya waktu. Ingat mata kuliah yang anda ambil sewaktu di Universitas. Apakah anda tetap ingat materinya seperti waktu anda menyelesaikan pelajaran saat itu? Tidak? Mengapa? Anda banyak melupakan informasi atau ketrampilan karena tidak anda gunakan – karena anda tidak mempraktekkannya.

Anda dapat berpikir bahwa pelatihan bisa dianalogikan dengan sebuah gentong bocor yang diisi dengan air. Kecuali anda tetap mengisi gentong tersebut, maka gentong itu akan kering. Kecuali mempelajari dan melatih ketrampilan anda, ketrampilan itu akan menghilang. Gunakan ketrampilan atau buang ketrampilan itu. Artinya human capital tidak hanya membutuhkan kesempatan untuk membuat kinerja dengan ketrampilan baru, tetapi juga alasan untuk melatih ketrampilannya – tidak hanya 6 bulan atau 1 tahun sejak mereka mempelajarinya, tetapi seumur hidupnya. Jika mereka hanya menggunakan ketrampilannya selama 6 bulan, merupakan suatu kemubajiran untuk kelak melatih mereka lagi. Semakin pendek jarak antara pembelajaran dengan penerapannya, semakin banyak ketrampilan yang dibutuhkan akan tersedia pada saat yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, pelatihan dibuat sebelum orang mempunyai kesempatan untuk menggunakan ketrampilan barunya.

Saya ingat ketika menguji kinerja seorang trainee Asisten Kebun. Kinerja trainee Asisten Kebun ini pada saat on the job training sangat jelek dan bahkan bisa dikatakan tidak ada, padahal dia telah menyelesaikan pelatihan reguler Asisten Kebun di Pusat Pelatihan selama 4 bulan. Ketika Manager Pelatihan menemukan hasil ujian lapangannya, mereka melakukan percakapan sbb.:

  • Manager: Bukankah anda mendapatkan nilai teori yang baik selama mengikuti pelatihan Asisten Kebun di Pusat Pelatihan?
  • Trainee: Ya, Pak. Ranking 2.
  • Manager: Berapa lama anda melakukan on the job training di kebun ini?
  • Trainee: Sekitar dua bulan, Pak.
  • Manager: (sambil mengerutkan kening) Baik! Apa yang sudah kamu kerjakan selama waktu itu?
  • Trainee: Bekerja mengawasi pekerjaan timbun jalan, Pak.

Trainee yang malang ini bahkan tidak mendapat kesempatan untuk melakukan tugas Asisten Kebun selama 2 bulan sejak meninggalkan Pusat Pelatihan, sampai hanya 1 atau 2 hari sebelum team penguji datang. Apakah ada pertanyaan mengapa dia menderita? Jawabannya adalah karena dia tidak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan kinerja. Gunakan ketrampilan atau buang saja ketrampilan anda.

Kemampuan Diri. Kemampuan diri merujuk pada penilaian yang dibuat orang tentang kemampuan untuk melaksanakan sejumlah tindakan – mengenai kemampuan mereka melakukan hal-hal yang khusus. Sebagai contoh, “Saya tahu saya seorang pegolf yang baik;” “Saya tahu ketrampilan bermain anggar saya adalah yang terbaik di kota ini.”

Kemampuan diri tidak berbicara tentang ketrampilan aktual yang dimiliki seseorang ; Ini lebih merupakan penilaian yang dibuat untuk menunjukkan kekuatan ketrampilan tersebut. Orang dengan kemampuan diri yang rendah, tidak percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan. “Saya tidak menerima tawaran pekerjaan itu karena saya pikir saya tidak cukup baik.”

Jangan mencampuradukkan kemampuan diri dengan kepercayaan diri, itu adalah dua binatang yang berbeda. Kepercayaan diri lebih banyak digeneralisasikan sebagai jalan yang merujuk pada perasaan seseorang, dan umumnya merujuk pada hasil yang diharapkan dalam suatu tindakan. Misalnya: Saya tahu bahwa saya adalah seorang pegolf yang baik; handicap saya adalah 3 (kemampuan diri), tetapi saya tidak yakin kalau saya bisa memenangkan permainan ini (kepercayaan diri).

Mengapa kemampuan diri begitu penting? Ketika human capital tidak menilai dirinya sendiri dalam melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, pada kenyataannya mereka mungkin tidak mau mencoba melakukannya. Mereka menghindarinya, walaupun sebenarnya ketrampilan mereka sangat hebat. Jika orang memiliki ketrampilan yang dibutuhkan, tetapi tidak memiliki kemampuan diri, mereka tidak akan mampu menghasilkan kinerja dari ketrampilan yang mereka miliki. Tidak ada kemampuan diri, tidak ada kinerja.

Human capital dengan kemampuan diri yang kuat tidak hanya mau mencoba, mereka juga akan mati-matian menghadapi hadangan, kegagalan, atau kesulitan. Mereka tidak akan mudah menyerah menghadapi kesulitan. Dengan demikian, kemampuan diri yang kuat membuat human capital tahan terhadap lingkungan pekerjaan yang sering kali tidak mendukung. Untuk mendapatkan human capital yang mau “mencoba, dan mencoba lagi” pada saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, pastikan anda (dan siapapun yang melatih orang lain) untuk menerapkan teknik penguatan kemampuan diri.

Sayangnya, pengembangan ketrampilan tidak secara otomatis meningkatkan kemampuan diri yang kuat. Anda mungkin bisa mengingat orang yang memiliki ketrampilan hebat tetapi tidak percaya bahwa dia memiliki ketrampilan itu. Anda mungkin melihat orang yang bersembunyi di belakang karena kekurangan kemampuan diri ketimbang kekurangan ketrampilan.

Memperkuat kemampuan diri membutuhkan pengetahuan atau ketrampilan tambahan dengan latihan “membangun kepercayaan” seperti panjat tebing atau arung jeram. Kemampuan diri diperkuat melalui pengaturan dengan hati-hati pada kondisi yang terkait dengan pembelajaran dan konsekuensi yang mengikutinya. Jika tidak ada latihan ketrampilan, tentu hanya ada sedikit keyakinan bahwa kita telah memiliki ketrampilan itu. Tetapi latihan saja tidak cukup. Latihan harus dirancang untuk memberikan konsekuensi positif, seperti serangkaian keberhasilan, atau komentar yang memuji kinerja daripada sekedar membiarkannya hilang begitu saja. Lingkungan yang diatur ini harus memberikan kesempatan untuk menilai tingkat kompetensi mereka. Pelatihan harus direkayasa sehingga trainee belajar memberikan kredit keberhasilannya terhadap kinerja, dari pada membiarkan dirinya percaya ini disebabkan oleh faktor lain atau kebetulan semata.

Ketika kita masih kecil dahulu, sering kali kita mendengar kata-kata seperti: “Apa kamu pikir kamu bisa melakukannya?” dan “Kamu bukan siapa-siapa selain si pemalas yang tidak melakukan apa-apa” dan “Inikah hal terbaik yang bisa kamu lakukan?” dan “Kenapa hanya dapat angka delapan?” Anak-anak diajarkan untuk tidak hanya mempercayai bahwa ketrampilan mereka tidak cukup tetapi juga diri mereka sendiri tidak berguna. Kehidupan kita bisa hancur karena perlakuan seperti ini. Dan ketika kita dikecilkan oleh atasan sewaktu mencoba mendemonstrasikan ketrampilan, kemampuan diri kita pelan-pelan akan menciut. Kepercayaan seseorang dalam kemampuan dirinya untuk menghasilkan kinerja akan hancur ketika menghadapi kegagalan, bahkan kegagalan yang kecil sekalipun. Tidak ada kemampuan diri, tidak ada kinerja.

Lingkungan yang Mendukung. Anggap saja setiap hari anda duduk menekuni dan berpedoman pada anggaran, boss anda masuk dan memukul kepala dan pundak anda dengan segulung surat kabar, serta menyemprot anda dengan kata-kata mutiara yang menyakitkan. Berapa lama anda akan terus bekerja dengan anggaran? Atau, anggap saja anda dipermalukan oleh rekan anda setiap anda memberi saran pada saat rapat. Berapa lama anda akan terus memberikan saran? Atau, anggap saja setiap tahun realisasi biaya anda yang di bawah anggaran, akan menyebabkan anggaran tahun depan anda dipangkas. Berapa lama anda akan menjaga biaya anda di bawah anggaran? Tidak ada lingkungan yang mendukung, tidak ada kinerja.Ada fakta bahwa orang belajar untuk menghilangkan hal-hal yang menyakitkan dirinya. Tidak perduli seberapa cepat atau seberapa penting tugas, jika orang merasa dihukum karena melakukan tugas perusahaan, mereka akan segera berhenti melakukan tugas itu. Misalnya, jika anda ingin orang menceritakan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu, anda harus memastikan bahwa mereka tidak diperlakukan seperti utusan yang ditembak karena membawa berita jelek. Jika anda menginginkan mereka melaporkan praktek-praktek yang berbahaya, anda harus memastikan bahwa mereka tidak diperlakukan sebagai “penderita kusta” atau kaum paria.

Lingkungan yang mendukung adalah salah satu hal yang meningkatkan kinerja yang diinginkan dan mengurangi kinerja yang tidak diinginkan. Ini adalah sebuah lingkungan dimana para human capital memberikan alasan (insentif) untuk menghasilkan kinerja dengan cara yang diinginkan, sebuah deskripsi yang jelas tentang hasil yang diinginkan dan standar yang harus dipenuhi. Ini adalah sebuah lingkungan dimana para human capital di dunia pekerja mendapat cahaya lebih terang ketika melakukan pekerjaanya dengan baik, dan menjadi sedikit suram ketika sebaliknya.Kinerja membutuhkan kehadiran ketrampilan, kesempatan untuk menghasilkan kinerja, kemampuan diri, dan lingkungan yang mendukung. Kehilangan salah satu unsur ini akan menyebabkan kinerja turun, atau bisa jadi tidak akan pernah muncul sama sekali.

Kebenaran yang Tak Dapat Disangkal
Aturan Pelatihan #5: Pelatih dapat menjamin ketrampilan, tetapi mereka tidak bisa menjamin kinerja pekerjaan.

Tanggung jawab pelatih adalah mengajari human capital apa yang ingin mereka ketahui dan kerjakan, dan memperkuat kemampuan mereka dalam kepercayaan mereka untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan visi dan strategi organisasi.

Pelatih hanya bisa memberikan ketrampilan dan kemampuan diri. Hanya para manager yang bisa menyediakan kesempatan untuk membuat kinerja dan lingkungan yang mendukung. Semuanya ini, pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Suka atau tidak suka, anda sebagai manager adalah pemain kunci dalam permainan kinerja ini.

Aturan Pelatihan #6: Hanya para manager, bukan pelatih, yang dapat bertanggung-gugat (accountable) terhadap kinerja di pekerjaan.

Inilah alasan mengapa anda tidak dapat hanya sekedar mengatakan kepada pelatih untuk “melatih mereka” dan mengharapkan ketrampilan akan menjelma menjadi kinerja yang secara ajaib muncul di pekerjaan. Jika kinerja yang jelek disebabkan oleh tidak adanya ketrampilan dan kemampuan diri, maka ini adalah kesalahan para pelatih. Tetapi jika kinerja jelek ini disebabkan oleh tidak adanya kesempatan untuk menghasilkan kinerja, atau oleh lingkungan yang tidak merangsang dan mendukung kinerja yang baik, anda tidak bisa menimpakan kesalahan ini kepada para pelatih. Dalam kasus ini, anda sebagai manager lah yang harus disalahkan.

Pelatihan bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan kinerja yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Peralatan-peralatan lain banyak tersedia, dan banyak di antaranya membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk dijalankan, dengan biaya yang lebih murah dari pada menggunakan metode pelatihan. Kebutuhan untuk menghasilkan kinerja tidak hanya membuat kita lebih bijak dalam memilih program pelatihan, tetapi juga memilih alat-alat lain untuk meningkatkan kinerja tersebut.

Iyung Pahan's Travelling Note #7: Pentingnya Komunikasi

Segala sesuatu, yang sulit adalah memulainya
- Miyamoto Musashi (1645)
Siapa yang PEDULI akan menang, Who care win. Itulah yang dikatakan oleh mantan atasanku Rudyan Kopot dalam suatu kesempatan sekian tahun yang lalu. Cuma saja, kemenangan itu mungkin tidak datang begitu saja … ujug-ujug menjelma jadi sosok cantik seperti Bella Saphira yang dituntut oleh salah satu Pub di Surabaya karena mencemarkan reputasi mereka … sebab si Bella tidak bisa manggung karena sedang berhalangan alias sakit. Malangnya, si Cantik didakwa ingkar janji dan wan prestasi karena tidak bisa menunjukkan surat keterangan sakit dari dokter yang bisa menerangkan ikhwal sakitnya.
Lalu, kenapa harus ke pengadilan? Bukankah semuanya bisa “diatur” dan dikomunikasikan sehingga Bella bisa manggung setelah itu? Ternyata banyak hal yang harus disadari bersama, bahwa kepedulian dan komunikasi yang baik itu memang sangat dibutuhkan oleh semua orang.
Saya percaya bahwa level manajemen dan penyelia merupakan mereka yang paling kritis dalam menciptakan kondisi positif yang memotivasi para staf. Kalau anda melihat manusia dan alam sekitarnya, pada hampir setiap organisasi apapun, pada jaman apapun, anda akan melihat banyak orang yang dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, tetapi mereka tidak mempunyai ide bagaimana melakukan pekerjaannya. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa ada Manager di banyak organisasi yang menyelesaikan suatu pekerjaan (who get things done) dengan merendahkan dan memanipulasi orang lain, umumnya secara kotor dan kasar. Mereka memperlakukan para bawahan-nya sebagai musuh. Mereka berbohong kepada para karyawan dan tidak berpikir bisa menarik keuntungan apapun dari mereka.
Ya, kadang-kadang mereka berhasil dalam pekerjaannya, tetapi mereka tidak menciptakan kondisi yang positif. Tidak ada hubungan batin yang diciptakan, dan sangat sedikit orang yang merasa enak dengan apa yang telah mereka kerjakan. Para Manager itu bisa menyuruh orang melakukan sesuatu, tetapi mereka tidak tahu bagaimana memimpinnya. Jika anda bisa memimpin, anda dapat membantu tim anda menyelesaikan hal-hal yang hebat, dengan pekerjaan dan stress yang lebih ringan, dengan lebih banyak kegembiraan dan kemungkinan untuk tumbuh dan belajar bersama. Bicaralah tentang kesempatan untuk sama-sama menang (win-win opportunity).

Beterimakasihlah, bahwa kita masih memiliki karyawan yang melakukan pekerjaannya dengan baik dan jujur ditengah-tengah situasi yang semakin banyak “godaan.” Orang-orang ini tetap diharapkan melakukan pekerjaannya, tetapi mereka juga mengharapkan diperlakukan dengan pantas. Sama seperti yang dikatakan Ibu kita dahulu, … kita bisa menangkap lebih banyak lalat dengan madu dari pada dengan cuka. Kita perlu menggunakan konsep yang sama untuk karyawan kita. Sekali lagi, siapa yang peduli, dialah yang akan menang!

Memahami Karyawan
Model yang paling sederhana untuk memahami karyawan adalah model interaksi manusia dan bisnis (Human-Business Model), yaitu melihat pada sisi manusia dan sisi bisnis. Model ini mewakili setiap interaksi kita dengan siapa saja. Dalam setiap interaksi ada 2 sisi yang berperan: sisi bisnis, yaitu apa yang diinginkan orang dari kita, dan sisi manusia, yaitu semua hal yang kita rasakan selama interaksi tersebut. Pertanyaan favorit yang biasanya diajukan untuk membuktikan model ini adalah:

  • Apa yang anda rasakan ketika dokter yang merawat anda hanya melihat sisi bisnis saja? Bagaimana perasaan anda?
  • Apakah anda pernah bekerja dengan seorang Manager yang hanya berinteraksi dengan anda pada sisi bisnis saja? Apakah anda memberikan hasil kerja yang terbaik untuk orang itu?

Adalah benar apa yang dikatakan oleh Charles Reade, … ketika cinta dan keahlian bekerja sama, maka akan lahir suatu maha karya (when love and skill work together, expect a masterpiece). Anda bisa melihat itu menjelma jadi suatu kenyataan di komunitas Ubud di Bali. Sebuah konsep nature dan nurture dalam karya seni dan pariwisata yang berkelanjutan, walaupun kadang sang seniman tidak tega menjual karyanya secara “murah”, sementara di sisi lainnya dia perlu penghasilan untuk menghidupi dirinya. Selembar lukisan master piece ukuran 1.2 x 2.0 m di Ubud cuma dihargai US$ 250, sedangkan rata-rata upah per jam di Miami dihargai US$ 10. Jelaslah bahwa mereka melukis dengan dan karena cinta.

Sebagai seorang penyelia atau manager, perhatian kita mungkin banyak tersita pada bagian bawah dari model interaksi manusia dan bisnis. Coba kita renungkan, apakah kita memiliki hubungan dengan setiap bawahan kita pada sisi manusianya? Apakah kita tahu tentang situasi keluarganya? Apakah kita memiliki cukup kesabaran untuk mengetahui setiap bawahan kita (apa harapan-harapannya, dimana mereka makan siang, bagaimana mereka menghabis-kan waktu liburannya, dan lain sebagainya)? Apakah anda sudah menemukan cara untuk mengingat hal-hal pribadi tentang mereka untuk berbagi perhatian, dan menunjukkan bahwa kita peduli?

Definisi saya tentang manager yang baik adalah “mereka yang berhasil mengembangkan orang” (A developer of people). Seorang manager yang membimbing seorang karyawan pada kedua sisi interaksinya (yaitu sisi bisnis dan sisi manusia), serta memberikan masukan-masukan yang membangun akan sangat membantu karyawan itu berkembang menjadi manusia dan karyawan yang semakin baik. Karyawan jarang meninggalkan manager dan penyelia yang memper-lakukan mereka dengan peduli dan respek. Orang tidak meninggalkan organisasi, mereka meninggalkan atasannya (people do not quit organizations, they quit bosses).

Komunikasi yang Kreatif
Menurut Runzheimer International, sebuah perusahaan konsultansi di Amerika Serikat, rata-rata seorang manager disana menghabiskan 80% waktunya dengan berkomunikasi, yaitu: 10% untuk menulis, 15% untuk membaca, 25% untuk mendengar, dan 30% untuk berbicara.
Survey tahun 2000 dalam laporan Pitney Bowes (Chicago Tribune, 22 Oktober), melaporkan rata-rata setiap pekerja di AS menangani 204 pesan per hari, seperti panggilan telepon, faks, voice mails, e-mail, surat, hingga Post-it® notes.

Menurut Nancy Stern, Presiden dan pemilik Communication Plus, komunikasi yang benar bukanlah hanya sekedar bertukar pembicaraan. Komunikasi adalah pemindahan makna dengan terciptanya pemahaman tanpa penghakiman. Ada tiga pertanyaan yang harus dijawab ketika kita ingin mengkomunikasikan hal-hal yang penting:

  1. Apakah informasi disampaikan dengan jelas dan akurat? Dalam komunikasi bisnis, dimana banyak hal-hal yang sangat penting, maka wajar kalau banyak “informasi biasa” yang diabaikan, tertumpuk di meja, atau dibuang begitu saja ketika orang-orang yang menangani pekerjaan ini sampai pada tingkat kebosanan yang memprihatinkan.
  2. Bagaimana informasi itu menyentuh perasaan orang yang menerimanya ? Ini adalah sisi manusiawi dari komunikasi. Apa yang terlihat pada pesan itu, seperti nada bicara, gaya tulisan dan pilihan kata-kata yang dipergunakan, secara keseluruhan dapat menyebabkan proses komunikasi berhasil atau gagal. Jika kita ingin “menjual” sesuatu kepada seseorang, kita perlu menciptakan perhatian dan simpati, suatu hubungan saling percaya guna merangkul mereka ke arah kita. Sebagai contoh, lihatlah iklan kondom “meong” di televisi yang dapat mempengaruhi orang untuk membeli produk itu. Contoh lainnya adalah saat kita melakukan exit interview. Rubahlah pertanyaan “Kenapa kamu berhenti?” menjadi “Kenapa kamu tidak bertahan disini?” Hanya sedikit perbedaan dalam kata-kata, tetapi dapat membuat fokus jawaban para karyawan menjadi sangat berbeda.
  3. Apakah informasi itu mengejutkan penerimanya atau mendapat perhatian dari mereka? Ini adalah hal terpenting dalam komunikasi yang sangat kritis karena hal ini akan menjamin isi pesan diterima dengan baik. Sejujurnya, kita tidak bisa melakukan hal ini dalam setiap komunikasi. Tetapi, sekali kita berhasil melakukannya secara kreatif, orang akan terus mengingat isi pesan itu dalam waktu yang lama. Sebagai contoh, bukankah kita selalu teringat pada beberapa iklan televisi yang sampai sekarang tetap kita ingat karena berhasil “mencuri” perhatian kita. Iklan kondom “meong”, kacang atom “OK bang-get”, dan perilaku rekan saya yang ingin mencampur bensin dengan “Irex” karena bosan mobilnya terus-terusan ngadat, adalah contoh proses komunikasi yang bertahan dalam benak kita karena mendapat persepsi yang sangat kuat.

Tips untuk memperbaiki komunikasi dengan bawahan adalah dengan:

  • Bicara dengan “bahasa pasaran” yang mereka pahami, jangan gunakan bahasa ilmiah a’la menara gading (ingat teori Maslow).
  • Usahakan jelas dan konsisten.
  • Jangan tergantung pada jalur komunikasi yang ada; gunakan semua cara yang mungkin dari “bicara langsung dari hati ke hati”, e-mail sampai penggunaan sarana multimedia.

Bacaan Lebih Lanjut:

Glanz, Barbara A. 2002. Handle with CARE: Motivating and Retaining Employees. McGraw-Hill. New York. 316p.

Richardson, Barrie dan Mary Ann Castronovo Fusco. 1999. Prinsip +10%. Bagaimana Manusia Biasa Berhasil Luar Biasa. Pustaka Delapratasa. Jakarta. 289p.

Monday, July 2, 2007

Iyung Pahan's Travelling Note #6: Jakarta - Chicken or Egg

Hari ini aku lagi jutek. Memang jiwaku lagi judes dan bete (bad temperament). Pandanganku mungkin cupat, tetapi itulah realitas diriku saat ini. Teori expectancy yang kubaca membawa pada pemahaman bahwa dengan usaha terbaik yang dilakukan pada saat ini, diyakini akan memberikan hasil terbaik di masa yang akan datang. Kelakuan masa lalu merupakan alat prediksi terbaik untuk meramalkan sukses di masa yang akan datang. Tetapi itu tidak untuk suasana konvensional hari ini.
Entah mengapa, tiba-tiba saja aku terpental dari orbital rutinku. Sepertinya tiba-tiba saja sebuah tingkatan energi yang lebih tinggi membuat keseimbangan proton dan elektron dalam model molekul diriku tereksitasi, dan diriku menjelma menjadi radikal bebas. Radikal bebas ini membuatku jutek dan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah radikal bebas ini akan permanen atau bersifat sementara, tetaplah dia membuat diriku mengambil satu keputusan.
Akankah kubiarkan diriku seperti tak ada apa-apa, padahal emosi jiwa sudah tereksitasi pada level yang semakin negatif ? Atau harus kubiarkan muatan negatif model molekul diriku menjadi radikal bebas yang akan mengacaukan keteraturan di dalam sistem dan membawaku pada suatu kondisi model molekul baru dengan nama baru, pemahaman baru dan fungsi baru.
Kalau persistensi sistem ini menjadi suatu kenyataan sepanjang jalan yang harus kutempuh, mungkin aku harus berani mengambil sebuah keputusan untuk menghancurkan apa yang sudah ada menjadi suatu bentuk yang benar-benar baru dan membiarkan kesetimbangan alam menjalankan perannya dengan cantik. Dalam kondisi ini, aku teringat pada sebuah skenario seni perang Sun Tzu yang merupakan sebuah dunia dimana tidak ada yang dapat dijamin, dengan tema kunci perubahan selalu akan menunjukkan wajah dalam rupa yang tidak terduga, maka kenalilah musuh dan lingkungan supaya kemenangan kita tidak hilang, dan kenalilah kekuatan diri sendiri dan suasana hati supaya kemenangan kita lengkap.
Ketika seorang karyawan berhenti dari sebuah perusahaan, mereka umumnya berusaha meninggalkan managernya dari pada pekerjaan dan perusahaannya. Inilah realitas baru bahwa manager dan perusahaan harus menghargai karyawannya jika mereka ingin menarik dan menjaga karyawan yang baik. Mengelola human capital adalah kompetensi bisnis yang kritikal dimana perusahaan-perusahaan kelas dunia harus melongok ke dalam “managers of choice.” Nancy Ahlrichs mendeskripsikan lima kompetensi yang kritikal dari managemen human capital: pencarian bakat, membangun hubungan, membangun kepercayaan, membangun ketrampilan, dan membangun merek.
Lalu ketika salah satu atau semua kompetensi itu sirna, si human capital akan mencari jalannya sendiri untuk mencari jati dirinya. Hal ini disebabkan karena human capital itu sendiri bukanlah orang yang ada di dalam organisasi semata-mata. Orang-orang mencoba mengatur hidupnya melalui mekanisme human capital dan bebas untuk melakukan investasi yang disukainya pada berbagai aspek-aspek kehidupan seperti : keluarga, kelompok minat dalam komunitas, menjalankan syariat agama, mencari kesehatan fisik, minat-minat lain, dan bekerja. Human capital sebuah organisasi adalah kumpulan atribut kolektif dari pengalaman hidup, pengetahuan, kreativitas, energi, dan antusiasme yang dipilih oleh orang-orang untuk diinvestasikan pada pekerjaannya. Semuanya adalah pilihan bebas, dan konsekuensi pilihan bebas adalah termasuk untuk tidak memilih apapun alias golput.
Ketika kepercayaan telah hilang, ketika itu pula suatu babak baru dimulai. Fenomena manusia sebagai makhluk sosial adalah dasar dari sistem kepercayaan. Segala norma dan tatanan budaya yang berlaku didukung oleh sistem kepercayaan yang dianut oleh orang-orang yang ada di dalam sistem tersebut. Ketika kepercayaan menguap, norma dan tatanan budayapun akan mengalami perubahan yang drastis. Perilaku yang dulunya tidak pernah terbayangkan akan muncul, tiba-tiba saja telah merebak secara masif dimana-mana. Siapa yang akan menyangka bahwa budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang ramah-tamah dan bersahabat dalam hitungan 1-2 tahun saja sudah menjadi beringas dan menebarkan aroma ketakutan di tempat-tempat sepi kala malam hari.
Dalam konsekuensi pilihan bebas, timbulnya apatisme alias golput merupakan mekanisme untuk menghukum status quo yang menyesakkan dada salah satu pihak yang teraniaya dalam interaksi tersebut. Kemenangan bagi satu pihak sering kali lebih merupakah hukuman dari masyarakat terhadap rejim berkuasa yang lalai dalam merawat rakyat dan kawulanya dengan baik-baik. Mereka membuat pilihan lain yang merupakan manifestasi asal-bukan-dia, karena putus asa dan putus kamus melihat realitas yang ada. Dalam kasus seorang karyawan, bila mereka mempunyai cukup pilihan, maka jalan termudah yang dapat mereka lakukan adalah meninggalkan atasannya. Mereka sebenarnya tidak ingin meninggalkan organisasi, tetapi mereka tidak tahan deraan atasan yang menurut mereka tidak patut dan tidak layak. Lalu, merekapun berlalu bersama semilirnya angin.
Mana yang harus diperbaiki? Sistem dulu atau mentalitas (budaya) orangnya? Ayam atau telur? Dan banyak orang yang terjebak dalam metafora ayam atau telur, serta membutuhkan waktu bertahun-tahun hanya untuk memulainya. Dibutuhkan dua tangan untuk bertepuk tangan. Kalau hanya satu tangan, itu namanya bertepuk sebelah tangan, alias kipas-kipas dan wes ewes ewes bablas angine. Bila dua tangan itu ditransformasikan sebagai kepercayaan yang harus ada, untuk membangun human capital di dalam organisasi diperlukan kebersihan hati dan keteguhan iman. Karyawan harus percaya bahwa masa depannya akan berkembang dan mencapai suatu penahapan baru seiring dengan berjalannya waktu, alias investasi waktunya di perusahaan akan menghasilkan pengembalian sebagaimana yang diharapkan. Di sisi lainnya, perusahaan juga membuat rencana pengembangan untuk meningkatkan nilai para pemegang saham dengan perluasan operasional yang akhirnya memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak dan lebih bermutu bagi karyawan-karyawan yang telah mengivestasikan waktunya diperusahaan tersebut. Masalahnya, apakah masa depan dan pengembangan perusahaan yang cerah itu merupakan bagian dari diri karyawannya? Kalau perusahaannya maju dan berkembang seperti bus Trans Jakarta yang melaju dengan kencang di jalan bebas hambatan (busway), pertanyaannya adalah apakah karyawan yang ada merasa menjadi bagian dari penumpang di dalam bus tersebut, ataukah merasa menjadi karyawan yang tertinggal di terminal.
Tidak ada jalan lain selain menjalani lingkaran yang ada tanpa berusaha mencari dimana awal dan akhirnya. Setelah kita berjalan satu lingkaran dan kembali ke kondisi awal, itulah realitas lingkaran yang telah kita jalani, tanpa kita perlu menentukan dimana awal dan dimana akhirnya. Tujuannya telah tercapai, tanpa perlu ribut-ribut mencari dimana awal untuk memulainya. Just do it! Ayam atau telur bukan lagi permasalahannya. Essensinya adalah keberanian untuk memulainya.

Jakarta, 5 November 2004.

Sambutan Natal di Sebuah Perusahaan

Assalamu’alaikum wr. wb. dan
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama, kepada rekan-rekan kita yang merayakan natal dan tahun baru, saya mengucapkan selamat. Semoga fenomena perayaan ini menjadi momentum untuk meningkatkan kebersamaan dan memberikan pencerahan yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas diri pribadi dan produktivitas kerja.

Rakhmat Sang Maha Pencipta kita, keadaan untuk berada dalam kebaikan-­Nya, adalah seperti sinar matahari yang menerangi bumi. Tanpa diskriminasi memancarkan cahaya-Nya pada semua umat-Nya, tidak peduli apapun agama dan dasar keyakinannya. Siapa yang berdiri di bawah matahari akan menyirami dirinya dengan kehangatan dan memperoleh manfaat sepenuhnya dari sang matahari. Siapa yang bersembunyi di balik bayangan pepohonan, berarti menghindarkan dirinya dari matahari.

Melalui kekuatan rakhmat Sang Maha Pencipta kita, alam semesta tercipta. Melalui kekuatan rakhmat-Nya, umat manusia mampu melakukan tugas sehari-­harinya dan mempertahankan kegunaan tubuh dan pikirannya.

Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa kemiskinan adalah kekejaman yang paling besar. Tetapi di sisi lain, banyak hadiah tak bertuan yang menumpuk tak tersentuh. Semua hadiah itu adalah apa yang dimohon oleh manusia di dalam doanya, namun mereka meninggalkan permohonannya tepat sebelum hadiah itu diberikan oleh yang maha kuasa.

Tuhan tidak pernah menghalangi manusia memiliki hadiah berharga (kekayaan). Adalah kekurangan keyakinan diri kita sendiri akan tanggung jawab memiliki hadiah itu yang menghalangi kita untuk memilikinya. Sebagian orang berhenti mengharapkannya karena kehilangan harapan, merasa yakin mereka tidak akan pernah mendapatkan apa yang mereka inginkan, seperti pungguk merindukan bulan. Bagi sebagian yang lain, barang yang mereka inginkan selalu berubah-ubah. Suatu saat mereka menginginkan cincin berlian yang baru, lain kali mobil baru. Ketika cuaca berubah dan bumi semakin panas, mereka mengimpikan bersantai di pantai Nusa Dua Bali. Keinginan mereka tak lebih dari impian sehari-hari.

Yakinlah, bila anda bersungguh-sungguh dalam usaha untuk meraih keinginan yang berharga, ia akan dapat anda raih, tetapi impian yang didiamkan saja tidak akan pernah terwujud. Hampir setiap orang berpikir ingin menjadi sukses dan kaya, tetapi dalam kenyataannya sebagian besar dari kita adalah tempat kita menghabiskan uang. Memperoleh kemakmuran bukanlah tentang apa yang kita lakukan untuk mendapatkannya; tetapi adalah apa yang siap kita lepaskan untuk mendapatkannya. Ini adalah prinsip yang sangat penting untuk diingat. Ini seperti prinsip untuk menciptakan atlet yang unggul. Hal pertama yang harus disadari oleh seorang atlet adalah menjawab pertanyaan:

  • Apakah aku siap untuk menjadi atlet yang hebat?
  • Apakah aku bersedia menyiapkan waktu yang biasanya aku lewatkan bersama kawan-kawan?
  • Apakah aku bersedia meninggalkan pesta-­pesta dan saat-saat menyenangkan yang dinikmati kawan-kawanku?
  • Apakah aku bersedia meninggalkan makanan lezat penuh lemak dan menggantinya dengan program diet yang ketat?
  • Dan daftar pertanyaan ini akan semakin panjang.

Dengan demikian untuk memperoleh kesuksesan dalam hidup dan pekerjaan, apakah kita telah siap untuk berjuang untuk mendapatkan kesuksesan yang kita cita­-citakan itu?

Kita mengukur kenyataan kita sesuai dengan pengalaman kita. Kalau pengalaman kita bertambah, kenyataan kita juga berubah.

Ketika aku berada di kota kelahiranku di Kalimantan Tengah, aku teringat bahwa sekolah dasar dan sekolah lanjutanku sangat besar dan memiliki lapangan bermain yang sangat luas. Dalam kunjunganku beberapa tahun yang lalu, aku menengok kedua sekolahku itu kembali. Apa yang kuingat sebagai lapangan yang luas ternyata hanya halaman sekolah yang sempit. Sekolahku yang mengesankan mendadak menyusut. Dalam kenyataannya, sekolah dan lapangan bermainnya tidak pernah berubah sama sekali, tetapi akulah yang telah berubah. Pemahamanku telah berubah, karena aku telah melihat dunia yang berbeda.

Suasana kerja adalah seperti sekolah dan halamannya, dia tidak berubah, tetapi kadang-kadang kita merasakannya tidak menyenangkan seperti dahulu lagi. Untuk itu, jika perubahan dalam diri kita telah kita arahkan pada arah yang benar, niscaya suasana kerja akan menjadi enak bagi semua. Untuk itu saya merekomendasikan supaya kita:

  • Jangan membeda-bedakan pertemanan dan hubungan dalam konteks SARA (Suku-Agama-Ras dan Antar golongan). Acara ini adalah suatu momentum yang baik untuk menerapkannya secara nyata.
  • Usahakan menjaga agar hubungan antar bawahan selalu baik.
  • Didalam berinteraksi/komunikasi dengan kolega supaya dijaga agar jangan timbul jarak psikologis. Misalnya kalau ada suatu ide yang menurut kita baik, di dalam penyampaiannya kepada atasan dan teman harus hati-hati.
  • Pupuk dan jaga kekompakan antar karyawan dengan saling mengunjungi seperlunya. Sempatkan waktu (walaupun sempit sekali) untuk bersilaturahmi pada saat lebaran dan tahun baru.
  • Usahakan menjaga agar hubungan antar atasan tetap baik dengan jalan tidak menjadi “provokator” dan “duduk manis” di pekerjaan kita saja.

Izinkan saya menutup sambutan ini dengan menyitir sebuah syair yang ditulis oleh seorang sufi yang bernama Kabir:

Maksud bekerja adalah untuk belajar.
Saat anda memahaminya, pekerjaan selesai.
Apel berbunga adalah untuk menghasilkan buah.
Saat ini terjadi, bunganya gugur beserakan.

Assalamu’alaikum wr. wb. dan selamat malam.
© Iyung Pahan (14 Desember 2002).

Kegamangan Dr. Kuswata

Oleh: Ki Denggleng Pagelaran

Pengantar: Hari Jum'at yang lalu di locker surat dosen-dosen Jurusan kami dimasuki selembar artikel gelap dengan judul KEGAMANGAN DOKTOR KUSWATA. Gelap, karena tidak dituliskan siapa nama penulisnya. Saya mencoba bertanya-tanya kepada pegawai dan dosen lain yang (waktu itu) datang lebih awal, jawabannya nihil. Berhubung isinya sangat menyentuh, maka artikel itu saya ketik ulang. Setelah kemarin (Rabuan menjadi salah satu topik pembicaraan dan gurauan para dosen)...

Doktor Kuswata betul-betul mencintai tugasnya sebagai seorang dosen. Dia kerjakan seluruh tugas akademiknya dengan bersemangat. Memberi kuliah itu baginya benar-benar "feeling - at - home." Begitulah kerjanya setiap hari, datang pagi sekali dan pulang paling akhir. Itulah dunianya, bukan dunia yang penuh intrik dan pamer gagasan besar (yang sering kosong). Doktor Kuswata yang lulusan luar negeri adalah seorang yang rajin, pintar, jujur, baik hati, suka membantu orang, sedikit bicara, dan sangat menghargai seniornya. Pokoknya sangat loyal pada institusinya. Tetapi dia itu tipikal rakyat jelata, yang lugu, bahkan sedikit naif. Ternyata itulah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya.

Saat ini dia sedang resah dan gamang terhadap nama besar yang disandangnya, seorang doktor lulusan luar negeri. Secara financial dia kumuh, bahkan dibanding seorang lulusan SMA yang bekerja di Dinas Pemakaman sekalipun. Walau sangat disegani muridnya, di hadapan anak dan isterinya dia tidak berwibawa, karena tidak sanggup memberi kehidupan yang baik. Mencari tambahan di luar? Itu suatu yang sulit dilakukannya, energinya habis oleh tugas remeh- temehnya mengurusi mahasiswa dan administrasi yang bikin bengek.

Sebenarnya tidak ada yang salah pada dirinya, bahkan dia tergolong makhluk langka. Tapi semua yang dia kerjakan sepenuh hati untuk membangun dunia akademis di laboratoriumnya itu tidak dipedulikan oleh institusinya. Tidak juga oleh para seniornya, yang malah 'memanfaatkan-nya' (jadi tumbal-red). Sebenarnya juga tidak ada yang bisa dipersalahkan atas nasibnya itu. Institusinya punya banyak doktor, maka tidak perlu memperhatikan seorang doktor yang rajin dan lugu. Bahkan untuk yang suka keluyuran pun tidak perlu digugat oleh institusi Doktor Kuswata. Institusi sepenuhnya bisa "memahami", dan tetap bisa 'survive' berkat jasa manusia-manusia rajin seperti Kuswata. Tidak ada istilah kehilangan dan tidak perlu juga menghargai yang rajin! Kita sudah terperangkap di dunia yang 'dingin dan sakit'.

Institusi tidak ramah bagi manusia seperti Kuswata yang naif. Tidak terasa lagi guyupnya sesama sivitas akademika institusi. Yang terasa adalah dunia ketidakpedulian dan kompetisi mengejar materi. Itulah dunia yang dibenci Kuswata, yang tetap setia memilih dunianya yang kumuh. Dunia yang memberinya penghasilan tambahan 10-20 ribu rupiah per bulan sebagai honor membimbing seorang mahasiswa pascasarjana (S2/S3), atau 2,500 rupiah untuk seorang mahasiswa S1. Pantaskah dia dihargai seperti itu? Konon 'efisiensi' adalah jawabannya, sementara akuntabilitas dan transparansi baru menjadi suatu wacana. Kalau hanya 'efisiensi' yang dijadikan ukuran, pasti Kuswata-kuswata di sini harus kerjabakti, sekaligus mengambil alih pekerjaan rekan lainnya yang suka keluyuran. Betul-betul dunia yang tega dan sakit!
Kuswata adalah sebuat ilustrasi dari kebanyakan populasi pendidik (di luar para elite). Karena jasanya Kuswata-Kuswata yang peduli itulah suatu institusi ujung tombak bisa survive. Kita yang berada di piramid paling bawah berkutat di dalamnya dengan mengais remah-remah, sisa komunitas elite piramid ubun-ubun. Tidak ada istilah reward bagi komunitas bawah, yang ada eksoploitasi komunitas marginal. Mana yang salah? Manajemen lokal ataukah kebijakan Nasional? Tidak perlu dijawab, karena pasti hanya jawaban penuh retorika.

Kini angin baru yang belum tentu segar ujungnya bertiup. OTONOMI pendidikan (OPEN) namanya, yang mungkin memberikan harapan baru bagi manusia seperti Kuswata. Binatang apa pula OPEN itu? Masih serba samar-samar, dan mudah-mudahan bukan hanya sebuah retorika baru. Dengan OPEN itu, akankah para Kuswata lebih sejahtera? Yang jelas demi yang namanya Otonomi, sekarang tugas Kuswata semakin banyak, untuk menyelesaikan pesanan para elite. Konon bakal ada sedikit perubahan, tetapi baru mungkin bisa terjadi setelah kira-kira sepuluh tahun masa transsisi. Yaaaah... manusia Kuswata masih harus bersabar menanti masa yang belum tentu pula. Bersabar dalam kegamangannya. Tetapi percayalah orang sepertinya akan tetap loyal, setia, lugu, cuek, naif dan menikmati kekumuhannya. Kasihaaaan ........
Demikianlah artikel gelap itu. Tentunya setelah sedikit saya hilangkan bagian-bagian yang sensitif, secara kelembagaan, sektoral maupun kolegial ...

Ki Denggleng Pagelaran
adalah Doktor Lulusan Luar Negeri yang bermukim di Taman Pagelaran - Bogor.
-----------------------------
Yang jelas Kuswata itu datang paling pagi (sebelum yang lain datang) dan pulang paling akhir (setelah yang lainnya pada pulang).... Satpam Fakultas mungkin tahu siapa Kuswata eh.. siapa penulis artikel itu.

Doa yang Selalu Dikabulkan

Oleh: Helvy Tiana Rosa *)

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal.
Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah. Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Mimin tiba. Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya. Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat.
Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar. "Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya."
Ia tersenyum. "Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah," Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum. "Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."
Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat kuliahnya itu-senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yang menunggu di atas," kenangnya.
Dan civitas academica yang lain? Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar. Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal saja."
Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya. "Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya. Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan sebagainya," ujarnya penuh syukur. Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah. Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimana pun saat seorang ibu melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua akan menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang."
Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.
Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur ke pelukannya. Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya, yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya. "Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin."
Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya pada Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

*) Pelangi Nurani: Penerbit Asy Syaamil, 2002.

Iyung Pahan's Travelling Note #5: Good Morning Medan

Ketika ritual puasa sampai pada hari yang ke-23, insiden sahur pukul 04.15 memberikanku pemahaman akan hakekat menyimpan dan menggunakan harta.
Sebotol kecap jamur yang mengingatkanku akan cairan blancher di pabrik pengemasan jamur Agaricus bisporus di Banjaran, menumbuhkan kenangan indah akan masa-masa lalu. Lalu aku membelinya di hyper market Makro. Kucoba rasanya, dan tak seindah kenangannya. Maka aku hanya memajangnya di atas pelataran areal makan. Dan pagi ini, atas kuasa yang maha berkehendak, mereka yang biasanya menyiapkan makan sahur tiba-tiba saja terlelap dan sampai menjelang imsak belum tersadar.
Istriku yang ditakdirkan untuk mengingatkanku akan fenomena ini, ketika menjalankan tugas memasak cepat saji, secara tiba-tiba menyenggol botol kecap itu dan jatuh berkeping-keping menimpa lantai. Membiaskan jalur-jalur hitam dan semburat warna-warni kelam di atas meja dan lantai putih.
Peringatan Yang Maha Memberi Peringatan: Menyimpan harta bukan untuk digunakan, adalah tidak produktif dan bisa menyebabkan gangguan emosional, serangan kekikiran dan kekerdilan jiwa.

Medan, 9 Desember 2001 pagi hari

Iyung Pahan's Travelling Note #4: Midnight at Medan

Aku merasakan sekelilingku sudah senyap, walaupun aktivitas bulan Ramadhan telah meningkatkan energi keimanan di sekeliling jagad. Walau Afghanistan dicungkup aura merah angkara murka, ramadhan putih tetap membiaskan kabut merah putih bagi sebagian insan dan derajat ketaqwaaannya.
Ketika aku mulai menulis kata-kata ini, gemulai usapan jari-jariku diatas keyboard seakan terimajinasi oleh energi yang meluap disekujur tubuh. Kesadaran yang membuka relung-relung hati telah mencurahkan energi keimanan pada suatu kesadaran yang lebih tinggi. Seperti wawasan yang menyatakan bahwa energi kita merupakan suatu bentuk yang bisa ditransformasi ke dimensi lain. Bahwa energi yang ada dalam kefanaan kita adalah suatu getaran yang mempunyai osilasi dengan frekuensi tertentu dan mampu ditansmisikan kepada orang lain. Seperti suatu pengaruh baik ataupun pengaruh buruk yang bisa mempengaruhi orang lain dengan seketika. Mungkin kita pernah merasakan bahwa pada suatu ketika, ketika itu kita bertemu dengan seseorang yang mempunyai getaran osilasi energi positif yang focus dan diarahkannya secara transversal kepada sekelilingnya, seketika itu juga orang-orang merasakan ketentraman dan keteduhan jiwa. Kita merasa enak dan hidup menjadi tentram. Dengan energinya dia mampu mempersuasi dan mempersepsi sekelilingnya, bahwa semuanya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan kita menjadi terpesona oleh kharisma yang dibangkitkan oleh auranya.
Kita perlu membuka diri untuk menerima limpahan energi, memperluas kepekaan diri untuk menyerap energi yang ada di sekitar kita. Ketika aku pergi ke Prapat, di pinggir danau Toba, kurasakan aliran energi yang melimpah masuk ke dalam raga. Hanya saja, pada saat itu aku belum menemukan jalan untuk membuka gua garba selebar-lebarnya sehingga sebagian file yang kuterima menjadi hilang: a part of file is missing.
Puncak gunung, samudra luas, danau yang tenang, air bening yang mengalir, semuanya merupakan kumpulan energi yang terakumulasi. Mereka seperti magnet raksasa yang mempengaruhi medan magnet mikro di dalam jiwa kita. Kita merasakan ketenangan ketika kita menghirup udara pegunungan, di pinggir danau yang luas seakan tak bertepian. Energi makro ini telah mempengaruhi energi mikro kita, dia seperti magnet besar yang bisa menjadi ghost dan menyeimbangkan kembali medan magnet kita seperti keadaan alam yang masih murni dan sibernetik.
Dalam perjalanan hidup ini, kita harus mencari cara untuk memperluas medan energi kita. Dengan perluasan ini, kita menjadi lebih reseptif dalam melihat aspek-aspek kehidupan. Dan ketika kehidupan berubah menjadi keras, menakutkan, dan menjemukan, jiwa yang telah menemukan jalan untuk memperluas medan energinya akan menyiasati kenyataan hidup sebagai sesuatu proses alami yang tak perlu ditakuti lagi. Hidup ini hanyalah suatu perjalanan. Seperti sebuah proyek, perjalanan itu ada awalnya dan ada akhirnya. Kenapa kita harus takut menghadapi akhir dari sebuah perjalanan jika tujuan perjalanan itu sudah tercapai. Jadi, siapa takut? Stay cool saja seperti iklan shampoo anti ketombe di televisi, yang kenyataannya ternyata tidak menghilangkan ketombe secara radikal.
Jiwa yang sudah mendapat metode perluasan diri untuk memanen energi alam sekitar, adalah seperti mobil yang berjalan di malam hari di daerah pegunungan yang berkelok-kelok dan berliku-liku naik turun jalan yang bergelombang. Dia sudah memiliki lampu panjang yang bisa melihat lebih jauh ke depan dari pada lampu kabut yang menyorot permukaan jalan 5 meter di depan. Wawasannya sudah semakin berkembang, dan energinya sudah mulai meningkat ke taraf yang lebih waskita.
Kemampuan untuk perluasan jiwa ini akan sampai pada suatu taraf, secara waskita orang mampu membangun energi di sekitarnya, dan berpindah dari satu phase ke phase lain. Ini seperti energi yang ditembakkan oleh suatu stasiun pemancar televisi ke sebuah satelit, kemudian satelit itu merelay energi itu ke suatu cakupan geografi tertentu di daerah lain, dan melalui suatu antena parabola diterima dan dipancarkan ke dalam pesawat televisi seperti kita menyaksikan CNN. Dengan metode ini pula, seorang teman saya yang bercerita bahwa seorang mahasiswa di Aceh yang mencela seorang sufi karena tidak sembahyang Jum’at, walaupun si sufi mengatakan bahwa di sudah Jum’atan di Mekah, si sufi di cap sebagai pembohong. Karena ketidakpercayaannya inilah, sufi itu menantang si mahasiswa untuk membuktikan kemampuan translokasi energinya. Sang sufi berkata bahwa dia tidak bohong, dan dia minta supaya anak muda itu segera pergi ke masjid kampus dan bertemu dia di sana. Dengan segera si mahasiswa melarikan sepeda motornya ke masjid kampus, dan dia menemukan sang Sufi sedang duduk-duduk santai di kaki lima masjid, seakan-akan sedang berkata: eeh koq lama banget baru sampe. Dan si mahasiswa itu mungkin Cuma bisa mengguman: OK, bang – get seperti iklan kacang Garuda.

Medan, 9 Desember 2001 dini hari

Iyung Pahan's Travelling Note #3: Lake Toba

Aku bermimpi pagi ini. Mimpi di hari Sabtu ketika aku hendak pulang dari Prapat menuju Medan.
Aku terlempar dari kehidupan normalku, dan sangat membekas walau aku telah sadar di pagi hari. Sesuatu yang belum pernah kualami sedramatis ini. Aku keluar dari pekerjaanku. Entah mengapa itu terjadi begitu saja, dan aku menganggur.
Tiba-tiba ku meluncur ke dalam sumur, suatu lorong yang membawaku ke pesisir sebuah dunia yang lain. Alamnya masih ramah, binatang-binatang yang tak pernah diburu sehingga mereka begitu jinak terhadap manusia. Musik tradisional Sunda kuno yang menyejukkan. Sekolah dengan mutu terbaik pada kurikulum moralitas, tanpa kekerasan tanpa pemaksaan pada kehendak-bebas si anak.
Seorang penyanyi terkenal Indonesia masa kini menyanyikan sebuah lagu tentang ketenangan hidup di pesisir pantai, kemudian tiba-tiba saja dia menyanyi secara live di hadapanku. Kami menjadi berteman dan menyatu dalam diskusi dan pemahaman keabadian estuarin yang perlu dijaga.
Dan tiba-tiba aku terbangun dan tersentuh suatu realita. Aku masih duduk di dunia yang sama. Aku bukanlah Harry Potter yang sedang menuntut ilmu di Hogwart, sebuah institusi masyarakat penyihir ciptaan Rowling yang telah menyihir dunia.
Aku tetaplah seorang pekerja yang harus menghidupi diriku dengan bekerja walaupun itu dalam mimpiku.

Hotel Niagara Prapat #504, 17 Maret 2001.

Iyung Pahan's Travelling Note #2, Singapore River

Banyak kejutan yang mewarnai hari
Membuatnya berwarna-warni
Dan menjebluskanku ke dalam biru yang sendu
Ketika senandung rindu menyuarakan kelu
Out of the blue, jangan pernah berpaling dariku
Ketika suara mistis itu menghujam kalbu.

Mesjid Moulana Muhammad Ali di basement UOB Plaza Satu
Berada di bawah permukaan air Singapore River
Tapi tetap kering dan sejuk
Ketika kuinjakkan kaki untuk shalat lohor
Melaporkan diri kepada ilahi
Tanpa tahu apa yang akan besok terjadi
Kumulai menuai hari-hari
Kumulai berhenti disini
Aku akan pulang ke Rendezvous

Singapore, OUB Plaza Satu
15 Oktober 2001 (Senin)

Iyung Pahan's Travelling Note #1: Rendezvous

Di Straits Café by the Park Bras Basah road kulihat kecoa yang kesepian
Tiada lagi nyamuk-nyamuk yang berani muncul di atmosfer kota (singa) ini
Mesjid Bencolen yang dulunya terkunci di pagi hari
Kini sudah rata dengan tanah,
Di sana akan dibangun sebuah Islamic Centre
Kedai kopi Mary Eating House masih hidup dari pagi sampai malam
Menjual bee hoon dan kopi hangat
Dalam kesendirian ku di hotel Rendezvous
Kutuliskan ini karena hidupku yang tidak seimbang dalam perspektif:
keuangan (financial),
sanak keluarga (customer), dan
anak istri (internal processes), serta
pertumbuhan dan pembelajaran diri (learning and growth)
Kucari strategic thrust, factor-sukses kunci dan indikator prestasi kuncinya,
Untuk apa aku ini hidup?
Apa visi dan misiku di dunia ini?
Dan bagaimana aku harus menyikapi kefanaan yang semakin merasuk kehidupan ini?
Kucoba mencari dan menuliskannya dalam buku:
The New Life’s Starter Kit: Essential Tools for Doing the Life Right!

Singapore, Hotel Rendezvous
14 Oktober 2001 (Minggu)