Sunday, April 6, 2008

Salah Urus Industri CPO Indonesia

Oleh: Iyung Pahan

Industri CPO Indonesia sedang booming karena meningkatnya pendapatan yang dipicu oleh kenaikan harga CPO internasional. Harga CPO Februari 2008 telah menyentuh level psikologis USD 1,150/ton, yang membawa dampak pada semakin mahalnya harga produk turunan CPO seperti minyak goreng dan biodiesel.


Mahalnya Harga Minyak Goreng di Negara Produsen CPO

Sistem agribisnis CPO tersusun dari subsistem pemasok (agroindustri hulu), subsistem perkebunan (pertanian), subsistem pengolahan (agroindustri hilir), dan subsistem pemasaran. Kekuatan rantai industri CPO ditentukan oleh agregat kekuatan mata rantai penyusunnya. Rantai yang paling lemah dan mengkhawatirkan adalah mata rantai pada subsistem pemasaran.
Kenaikan harga minyak goreng telah menambah beban rakyat. Pemerintah telah melakukan serangkaian tindakan reaktif seperti “menghimbau” produsen menjual minyak goreng dengan harga murah sampai penerapan instrumen fiskal berupa kenaikan pungutan ekspor CPO secara progresif.
Industri CPO adalah industri yang dipengaruhi mekanisme pasar bebas. Keseimbangan permintaan dan penawaran adalah dasar penciptaan harga. Permintaan yang meningkat dipicu oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto, adanya masalah trans-fat yang menyebabkan sebagian industri makanan di AS beralih ke CPO, faktor konsumsi CPO Chindia (China dan India) yang terus tumbuh dengan pesat, dan perluasan pasar karena adanya tambahan permintaan biodiesel.
Struktur pasar CPO Indonesia didominasi oleh pasar internasional (75%) ketimbang diserap pasar domestik (25%). Harga domestik dipengaruhi oleh harga internasional. Konsep subsidi langsung kepada konsumen adalah konsep yang absurd dalam sistem ekonomi pasar bebas.
Upaya pemerintah mengatasi masalah fisikal dengan pendekatan fiskal belum mampu menurunkan harga minyak goreng ke level yang dianggap wajar. Kebijakan pungutan ekspor secara progresif menciptakan sentimen negatif ke pasar internasional. Pasar membaca sinyal tersebut sebagai faktor yang mengurangi volume pasokan dari Indonesia, sehingga harga internasional justru naik. Masalah fisikal CPO hanya dapat diatasi dengan mekanisme fisik model perberasan BULOG. Sejatinya, pemerintah mengembalikan sebagian pungutan ekspor untuk kemaslahatan industri CPO dalam bentuk subsidi.
Ancaman dari Pasar Uni Eropa
Parlemen Eropa membuat proposal untuk promosi penggunaan energi dari sumber yang dapat terbaharui pada tanggal 23 Januari 2008. Dalam proposal tersebut (http://www.erec.org/fileadmin/erec_docs/Documents/2008_res_directive_en.pdf) di­wajibkan kriteria biofuel dan bioliquid yang ramah lingkungan (pasal 15), verifikasi terhadap ketaatan kriteria biofuel dan bioliquid yang ramah lingkungan (pasal 16), serta kalkulasi dampak gas rumah kaca dari produksi biofuel dan bioliquid (pasal 17). Jika proposal ini disetujui Parlemen Eropa, industri CPO Indonesia akan sulit membuktikan secara ilmiah bahwa biofuel yang dihasilkan adalah ramah lingkungan, sehingga terancam larangan masuk ke Uni Eropa. Ramah lingkungan berarti penghematan emisi gas rumah kaca yang didapat dari penggunaan biofuel lebih besar dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan selama proses produksi CPO sampai menjadi biofuel.
Meningkatnya kekuatan konsumen yang digalang oleh lembaga swadaya masyarakat internasional bidang sosial maupun lingkungan, membawa seluruh pemangku kepentingan industri CPO untuk duduk bersama dalam wadah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) guna membicarakan prinsip dan kriteria industri CPO yang ramah lingkungan. Keanggotaan RSPO tumbuh dengan pesat, dan meliputi seluruh pemangku kepentingan industri CPO internasional dari hulu ke hilir, termasuk perkebunan rakyat. Inisiatif yang digagas RSPO dapat menjadi bumerang bagi perkembangan industri CPO Indonesia jika keinginan para pemangku kepentingan yang diwakili suara konsumen industri (prosesor) dan konsumen akhir (end user) berkembang lebih cepat dari kemampuan perkebunan kelapa sawit untuk memenuhinya.
Derasnya inisiatif “swasta” internasional dalam masalah sustainability belum seimbang dengan inisiatif pemerintah. Kondisi industri CPO Indonesia saat ini belum merupakan organisasi yang berpengetahuan, karena beragamnya kualitas modal insani yang menjadi pelaku dan penunjang keberadaan sistem agribisnis CPO dalam tiap subsistemnya, serta adanya fragmentasi dan disharmoni pada tataran proses antarsubsistem, perbedaan orientasi kepentingan pada tataran struktur organisasi, serta perbedaan orientasi rentang waktu pada tataran perilaku organisasi.
Peranan pemerintah dalam industri CPO terfragmentasi pada Departemen Pertanian (subsistem perkebunan), Departemen Perindustrian (subsistem pemasok dan subsistem pengolahan), serta Departemen Perdagangan (subsistem pemasaran). Ancaman dari parlemen Eropa sejatinya merupakan domain Departemen Perdagangan, tetapi jika para pemangku kepentingan ala RSPO menyetujui kriteria yang diusulkan, pemerintah akan menghadapi dilema.
Salah urus adalah cerminan penyimpangan dari kondisi ideal. Salah urus pada level teknis dapat diperbaiki dengan pendekatan teknis. Salah urus pada level strategi akan berdampak lebih intensif pada keseluruhan organisasi dan dapat diperbaiki dengan perencanaan strategik. Salah urus pada level kebijakan akan berdampak ekstensif dan intensif pada seluruh sistem agribisnis CPO, dan ketika lingkungan eksternal tidak lagi berpihak kepada industrinya (misalnya harga CPO turun ke titik nadir), maka seluruh sistem akan terancam eksistensinya.

1 comment:

Anonymous said...

Kenaikan pungutan ekspor CPO secara progresif dirasakan tidak efektif, selain merugikan pengusaha bisnis sawit dengan mengurangi keuntungan penjualannya juga berdampak pada petani kelapa sawit. Salah satunya, harga TBS ikut tertekan karena pengusaha bisnis sawit membebankan sebagian pungutan ekspor CPO-nya kepada petani kelapa sawit. Pemerintah seyogyanya harus segera menetapkan besaran Harga Patokan Ekspor (HET)yang nantinya dipakai sebagai rujukan utk menentukan nilai pungutan ekspor CPO. Dengan mengikuti perkembangan harga, bukan hanya melihat harga rata-rata pada bulan-bulan sebelumnya, hal ini hendaknya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan nilai pungutan ekspor CPO. Diharapkan besaran pungutan ekspor CPO yg mulai tgl 1 Agustus 2008 turun menjadi 15%, bisa diturunkan lagi menjadi 10% karena harga CPO di pasar internasional cenderung menurun. Dampak penurunan besaran pungutan ekspor CPO tsb juga akan dirasakan oleh petani dengan meningkatnya harga TBS.