Sunday, September 28, 2008

Ojek

Oleh: Iyung Pahan

Ojek sudah menjadi fenomena transportasi di Indonesia, khususnya muncul sebagai akibat kekosongan sarana transportasi dari penghapusan becak di beberapa daerah tertentu maupun akibat keterbatasan angkutan umum dan telah dianggap sebagai suatu sarana berbasis komunitas pascakrisis moneter, serta sarana bagi sebagian warga kota untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, sudah saatnya ojek diatur agar tidak menimbulkan masalah dan dapat dikendalikan melalui suatu payung hukum, terutama dalam pengkoordinasian yang terkait dengan perilaku berlalu lintas dan izin trayek, serta organisasi di kalangan pengojek.

Perkembangan ojek secara keseluruhan yang marak diberbagai penjuru tanah air pada akhir-akhir ini tidak lepas dari penjualan sepeda motor selama 5 tahun terakhir (2001-2005) yang rataan pertumbuhannya mencapai 37,37% dengan rincian sbb.:

  • 2001 = 1.650.770 unit (68,55%).
  • 2002 = 2.317.991 unit (40,42%)
  • 2003 = 2.823.702 unit (21,82%)
  • 2004 = 3.900.518 unit (38,13%)
  • 2005 = 4.600.000 unit (17,93%)
  • Rataan = (37,37%)

Kondisi lainnya dikarenakan faktor ketenagakerjaan yang terlalu kaku yang telah menimbulkan pengangguran penuh di atas 10 juta jiwa dan kemiskinan yang melilit sebagian besar penduduk akibat ekonomi yang tidak kunjung usai.

Hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah secara umum dan khususnya pemerintah daerah beserta instansi terkait (misal, Dinas Perhubungan, Kepolisian Daerah, Real Estate dan Asosiasi) dalam mengatur keberadaan ojek agar menghindari atau mengurangi terjadinya konflik yang tidak diinginkan dalam rangka pengembangan sarana transportasi berbasis komunitas dan upaya kegiatan mencari nafkah (kegiatan usaha informal dan penyerapan tenaga kerja masyarakat).

Jika ada masalah tikus di lumbung padi, solusinya adalah mengendalikan tikus-tikus tersebut tanpa membakar lumbungnya. Demikian juga dengan masalah ojek, jika ada ekses negatifnya, maka ekses negatif tersebut harus diselesaikan tanpa melarang praktik perojekan di daerah tersebut. Nilai ekonomi bisnis ojek sangat besar ditinjau dari penyerapannya terhadap peningkatan penjualan sepeda motor nasional, selain nilai sosialnya sebagai bisnis informal yang menjadi kantong penyerap pengangguran penuh sehingga mampu menjadi bantal kerusuhan sosial akibat menciutnya kesempatan kerja di sektor formal. Melarang praktik perojekan karena adanya beberapa ekses negatif akan menimbulkan kerugian besar baik secara makro maupun mikro.

Bisnis perojekan adalah bisnis yang tumbuh secara swadaya karena bertemunya faktor permintaan dan penawaran secara bebas. Permintaan yang tercipta karena kosongnya suatu ceruk pasar akibat keterbatasan angkutan umum dan penghapusan becak bertemu dengan penawaran yang tercipta karena tumbuhnya sektor informal akibat menciutnya kesempatan kerja di sektor formal pascakrisis moneter 1998. Bisnis perojekan adalah bisnis yang muncul secara swadaya masyarakat karena bertemunya berbagai kepentingan pada sisi penawaran dan permintaan. Karena dampaknya yang sangat besar terhadap pertumbuhan bisnis otomotif nasional (sepeda motor) selama 5 tahun terakhir dan besarnya fungsi jaring pengaman sosial yang melekat pada praktik perojekan, maka bisnis ini harus dilestarikan dengan perbaikan disana-sini untuk meminimumkan konflik yang terjadi di lapangan.

Harapan yang diinginkan adalah bisnis perojekan menjadi bisnis berbasis komunitas yang aman bagi pelaku bisnis maupun konsumennya. Akibat tidak berimbangnya faktor permintaan (jumlah konsumen ojek yang terbatas) dengan faktor penawaran (jumlah penarik ojek yang banyak), maka penarik ojek memiliki kecenderungan untuk saling berebut konsumen dan setengah memaksakan tarif yang mahal. Dalam kondisi tertentu, terjadi persaingan antara angkutan umum dengan ojek. Beberapa organisasi atau paguyuban penarik ojek menjalankan pendekatan premanisme dengan membentuk teritorial tertentu sebagai daerah operasi yang terlarang bagi angkutan umum, utamanya di daerah kompleks perumahan. Situasi ini menciptakan konflik antara penarik ojek dengan sopir angkutan umum, yang berdampak pada ketidaknyamanan dan biaya tinggi bagi konsumen.

Untuk mengatasi hal-hal ini diperlukan teknik-teknik penanganan konflik untuk menghasilkan resolusi konflik sehingga bisnis perojekan dapat dijalankan dengan dampak negatif yang sesedikit mungkin. Penyelesaian atau resolusi konflik perojekan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau teknik. Strategi yang paling sederhana adalah fokus pada pendekatan yang berbeda baik berupa kerjasama atau kompetisi, tetapi secara umum dapat dikelompokkan paling tidak dalam 3 tipologi yang berbeda seperti penekanan dan dominansi, kompromi, dan pemecahan masalah secara integratif.

Strategi penekanan dan dominansi adalah menekan konflik dan memaksanya “lenyap” ke bawah permukaan dengan menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Penekanan dan dominansi dapat dilakukan dengan: (1) Menghindari (avoiding) pengambilan posisi tertentu atau berpura-pura menganggap tidak ada konflik, (2) Meredakan (smoothing) konflik secara diplomatis dengan meminimumkan ketidaksesuain paham serta membujuk salah satu pihak untuk mengalah, (3) Memaksakan (forcing) dengan menggunakan kekuasaan struktural dan menolak seluruh argumentasi yang diajukan, (4) Melakukan penyelesaian melalui suara terbanyak (majority rule).

Kompromi dilakukan untuk meyakinkan pihak yang bersengketa guna mengorbankan sasaran-sasaran tertentu demi meraih sasaran-sasaran lain. Kompromi adalah metode resolusi konflik yang lemah karena selalu berusaha mengakomodir kepentingan seluruh pihak, sehingga sering kali akar perselisihan kepentingannya tidak disinggung sama sekali. Kompromi dapat terwujud dengan melakukan: (1) Pemisahan (separation) dimana pihak yang berkonflik dipisahkan satu sama lain sampai mencapai suatu solusi, (2) Arbitrase (arbitration) dimana pihak yang bekonflik menyerahkan solusi kepada penilaian pihak ketiga, (3) Penyelesaian alamiah karena faktor kebetulan (settling by chance) atau kejadian acak (random event), (4) Penyelesaian menurut peraturan-peraturan yang berlaku (resort to rules), dimana para pihak yang berkonflik tidak mencapai titik temu akhirnya setuju mengikuti peraturan-peraturan yang ada (go by the book), dan (5) Tindakan menyogok (bribing), dimana salah satu pihak yang bekonflik menerima imbalan tertentu untuk mengakhiri koflik yang belangsung.

Penyelesaian konflik secara integratif merubah konflik antarkelompok menjadi situasi pemecahan masalah bersama dengan bantuan teknik pemecahan masalah (problem solving). Pemecahan masalah secara integratif dilakukan dengan merubah konflik menjadi sebuah situasi pemecahan masalah dengan teknik konsensus, konfrontasi dan penggunaan tujuan-tujuan superordinat. Dengan teknik konsensus, pihak yang berkonflik dipertemukan guna mencapai solusi terbaik sehingga tidak ada satu pihakpun yang dikorbankan. Pada metode konfrontasi, asosiasi penarik ojek dan asosiasi pengemudi angkutan umum menyatakan pandangan masing-masing secara langsung dan terbuka kepada masing-masing pihak guna mencapai solusi rasional yang memaksimumkan pencapaian target masing-masing dan saling menguntungkan. Penetapan tujuan-tujuan superordinat merupakan metode penyelesaian konflik dengan mengalihkan perhatian para pihak yang bertikai dari konflik yang ada ke tujuan-tujuan superordinat. Sejenak mereka akan melupakan konflik yang ada dan terbius dengan tujuan-tujuan superordinat. Meskipun penyelesaian konflik secara integratif merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam praktiknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan konflik.

Dari keseluruhan teknik penyelesaian konflik yang ada, hanya strategi konfrontasi yang dapat dianggap sebagai pendekatan resolusi konflik karena memberikan kesempatan untuk berbeda pendapat dan kemudian menghilangkannya melalui pemecahan masalah yang kreatif. Keberhasilan metode konfrontasi antara lain disebabkan oleh: (1) Para pihak yang berkonflik setuju untuk memecahkan masalah sebagai sasaran utamanya, (2) Mereka membuat komitmen kepada diri sendiri untuk selalu mengambil posisi yang luwes ketimbang posisi yang kaku, (3) Para pihak mampu menjelaskan kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing, (4) Kemampuan memahami kebutuhan orang lain (dan dirinya sendiri) untuk menyelamatkan muka masing-masing, (5) Sikap apa adanya dan tidak menyembunyikan informasi-informasi penting, (6) Kemampuan mengendalikan emosi diri dan mencegah penggunaan kata “ya-tapi,” (7) Kemauan untuk memahami sudut pandang, kebutuhan dan sasaran pihak lain, (9) Kepiawaian mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi, menggali pemahaman dan dukungan lebih lanjut, (10) Kemampuan meyakinkan pada pihak yang memiliki kepentingan berbeda untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan (11) Kemampuan menghargai pihak lain ketika konflik telah selesai.

Keberhasilan dalam bernegosiasi menciptakan komunikasi terbuka, kemampuan mengenali kebutuhan dan kecemasan masing-masing pihak serta merespon kebutuhan tersebut secara timbal balik. Kondisi ini membawa pada jalan kompromi yang akhirnya bermuara menjadi konfrontasi yang menyelesaikan konflik secara integratif.

No comments: