Aku merasakan sekelilingku sudah senyap, walaupun aktivitas bulan Ramadhan telah meningkatkan energi keimanan di sekeliling jagad. Walau Afghanistan dicungkup aura merah angkara murka, ramadhan putih tetap membiaskan kabut merah putih bagi sebagian insan dan derajat ketaqwaaannya. Ketika aku mulai menulis kata-kata ini, gemulai usapan jari-jariku diatas keyboard seakan terimajinasi oleh energi yang meluap disekujur tubuh. Kesadaran yang membuka relung-relung hati telah mencurahkan energi keimanan pada suatu kesadaran yang lebih tinggi. Seperti wawasan yang menyatakan bahwa energi kita merupakan suatu bentuk yang bisa ditransformasi ke dimensi lain. Bahwa energi yang ada dalam kefanaan kita adalah suatu getaran yang mempunyai osilasi dengan frekuensi tertentu dan mampu ditansmisikan kepada orang lain. Seperti suatu pengaruh baik ataupun pengaruh buruk yang bisa mempengaruhi orang lain dengan seketika. Mungkin kita pernah merasakan bahwa pada suatu ketika, ketika itu kita bertemu dengan seseorang yang mempunyai getaran osilasi energi positif yang focus dan diarahkannya secara transversal kepada sekelilingnya, seketika itu juga orang-orang merasakan ketentraman dan keteduhan jiwa. Kita merasa enak dan hidup menjadi tentram. Dengan energinya dia mampu mempersuasi dan mempersepsi sekelilingnya, bahwa semuanya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Dan kita menjadi terpesona oleh kharisma yang dibangkitkan oleh auranya. Kita perlu membuka diri untuk menerima limpahan energi, memperluas kepekaan diri untuk menyerap energi yang ada di sekitar kita. Ketika aku pergi ke Prapat, di pinggir danau Toba, kurasakan aliran energi yang melimpah masuk ke dalam raga. Hanya saja, pada saat itu aku belum menemukan jalan untuk membuka gua garba selebar-lebarnya sehingga sebagian file yang kuterima menjadi hilang: a part of file is missing. Puncak gunung, samudra luas, danau yang tenang, air bening yang mengalir, semuanya merupakan kumpulan energi yang terakumulasi. Mereka seperti magnet raksasa yang mempengaruhi medan magnet mikro di dalam jiwa kita. Kita merasakan ketenangan ketika kita menghirup udara pegunungan, di pinggir danau yang luas seakan tak bertepian. Energi makro ini telah mempengaruhi energi mikro kita, dia seperti magnet besar yang bisa menjadi ghost dan menyeimbangkan kembali medan magnet kita seperti keadaan alam yang masih murni dan sibernetik. Dalam perjalanan hidup ini, kita harus mencari cara untuk memperluas medan energi kita. Dengan perluasan ini, kita menjadi lebih reseptif dalam melihat aspek-aspek kehidupan. Dan ketika kehidupan berubah menjadi keras, menakutkan, dan menjemukan, jiwa yang telah menemukan jalan untuk memperluas medan energinya akan menyiasati kenyataan hidup sebagai sesuatu proses alami yang tak perlu ditakuti lagi. Hidup ini hanyalah suatu perjalanan. Seperti sebuah proyek, perjalanan itu ada awalnya dan ada akhirnya. Kenapa kita harus takut menghadapi akhir dari sebuah perjalanan jika tujuan perjalanan itu sudah tercapai. Jadi, siapa takut? Stay cool saja seperti iklan shampoo anti ketombe di televisi, yang kenyataannya ternyata tidak menghilangkan ketombe secara radikal. Jiwa yang sudah mendapat metode perluasan diri untuk memanen energi alam sekitar, adalah seperti mobil yang berjalan di malam hari di daerah pegunungan yang berkelok-kelok dan berliku-liku naik turun jalan yang bergelombang. Dia sudah memiliki lampu panjang yang bisa melihat lebih jauh ke depan dari pada lampu kabut yang menyorot permukaan jalan 5 meter di depan. Wawasannya sudah semakin berkembang, dan energinya sudah mulai meningkat ke taraf yang lebih waskita. Kemampuan untuk perluasan jiwa ini akan sampai pada suatu taraf, secara waskita orang mampu membangun energi di sekitarnya, dan berpindah dari satu phase ke phase lain. Ini seperti energi yang ditembakkan oleh suatu stasiun pemancar televisi ke sebuah satelit, kemudian satelit itu merelay energi itu ke suatu cakupan geografi tertentu di daerah lain, dan melalui suatu antena parabola diterima dan dipancarkan ke dalam pesawat televisi seperti kita menyaksikan CNN. Dengan metode ini pula, seorang teman saya yang bercerita bahwa seorang mahasiswa di Aceh yang mencela seorang sufi karena tidak sembahyang Jum’at, walaupun si sufi mengatakan bahwa di sudah Jum’atan di Mekah, si sufi di cap sebagai pembohong. Karena ketidakpercayaannya inilah, sufi itu menantang si mahasiswa untuk membuktikan kemampuan translokasi energinya. Sang sufi berkata bahwa dia tidak bohong, dan dia minta supaya anak muda itu segera pergi ke masjid kampus dan bertemu dia di sana. Dengan segera si mahasiswa melarikan sepeda motornya ke masjid kampus, dan dia menemukan sang Sufi sedang duduk-duduk santai di kaki lima masjid, seakan-akan sedang berkata: eeh koq lama banget baru sampe. Dan si mahasiswa itu mungkin Cuma bisa mengguman: OK, bang – get seperti iklan kacang Garuda.
Medan, 9 Desember 2001 dini hari
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment