Oleh: Ki Denggleng Pagelaran
Pengantar: Hari Jum'at yang lalu di locker surat dosen-dosen Jurusan kami dimasuki selembar artikel gelap dengan judul KEGAMANGAN DOKTOR KUSWATA. Gelap, karena tidak dituliskan siapa nama penulisnya. Saya mencoba bertanya-tanya kepada pegawai dan dosen lain yang (waktu itu) datang lebih awal, jawabannya nihil. Berhubung isinya sangat menyentuh, maka artikel itu saya ketik ulang. Setelah kemarin (Rabuan menjadi salah satu topik pembicaraan dan gurauan para dosen)...
Doktor Kuswata betul-betul mencintai tugasnya sebagai seorang dosen. Dia kerjakan seluruh tugas akademiknya dengan bersemangat. Memberi kuliah itu baginya benar-benar "feeling - at - home." Begitulah kerjanya setiap hari, datang pagi sekali dan pulang paling akhir. Itulah dunianya, bukan dunia yang penuh intrik dan pamer gagasan besar (yang sering kosong). Doktor Kuswata yang lulusan luar negeri adalah seorang yang rajin, pintar, jujur, baik hati, suka membantu orang, sedikit bicara, dan sangat menghargai seniornya. Pokoknya sangat loyal pada institusinya. Tetapi dia itu tipikal rakyat jelata, yang lugu, bahkan sedikit naif. Ternyata itulah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya.
Saat ini dia sedang resah dan gamang terhadap nama besar yang disandangnya, seorang doktor lulusan luar negeri. Secara financial dia kumuh, bahkan dibanding seorang lulusan SMA yang bekerja di Dinas Pemakaman sekalipun. Walau sangat disegani muridnya, di hadapan anak dan isterinya dia tidak berwibawa, karena tidak sanggup memberi kehidupan yang baik. Mencari tambahan di luar? Itu suatu yang sulit dilakukannya, energinya habis oleh tugas remeh- temehnya mengurusi mahasiswa dan administrasi yang bikin bengek.
Sebenarnya tidak ada yang salah pada dirinya, bahkan dia tergolong makhluk langka. Tapi semua yang dia kerjakan sepenuh hati untuk membangun dunia akademis di laboratoriumnya itu tidak dipedulikan oleh institusinya. Tidak juga oleh para seniornya, yang malah 'memanfaatkan-nya' (jadi tumbal-red). Sebenarnya juga tidak ada yang bisa dipersalahkan atas nasibnya itu. Institusinya punya banyak doktor, maka tidak perlu memperhatikan seorang doktor yang rajin dan lugu. Bahkan untuk yang suka keluyuran pun tidak perlu digugat oleh institusi Doktor Kuswata. Institusi sepenuhnya bisa "memahami", dan tetap bisa 'survive' berkat jasa manusia-manusia rajin seperti Kuswata. Tidak ada istilah kehilangan dan tidak perlu juga menghargai yang rajin! Kita sudah terperangkap di dunia yang 'dingin dan sakit'.
Institusi tidak ramah bagi manusia seperti Kuswata yang naif. Tidak terasa lagi guyupnya sesama sivitas akademika institusi. Yang terasa adalah dunia ketidakpedulian dan kompetisi mengejar materi. Itulah dunia yang dibenci Kuswata, yang tetap setia memilih dunianya yang kumuh. Dunia yang memberinya penghasilan tambahan 10-20 ribu rupiah per bulan sebagai honor membimbing seorang mahasiswa pascasarjana (S2/S3), atau 2,500 rupiah untuk seorang mahasiswa S1. Pantaskah dia dihargai seperti itu? Konon 'efisiensi' adalah jawabannya, sementara akuntabilitas dan transparansi baru menjadi suatu wacana. Kalau hanya 'efisiensi' yang dijadikan ukuran, pasti Kuswata-kuswata di sini harus kerjabakti, sekaligus mengambil alih pekerjaan rekan lainnya yang suka keluyuran. Betul-betul dunia yang tega dan sakit!
Kuswata adalah sebuat ilustrasi dari kebanyakan populasi pendidik (di luar para elite). Karena jasanya Kuswata-Kuswata yang peduli itulah suatu institusi ujung tombak bisa survive. Kita yang berada di piramid paling bawah berkutat di dalamnya dengan mengais remah-remah, sisa komunitas elite piramid ubun-ubun. Tidak ada istilah reward bagi komunitas bawah, yang ada eksoploitasi komunitas marginal. Mana yang salah? Manajemen lokal ataukah kebijakan Nasional? Tidak perlu dijawab, karena pasti hanya jawaban penuh retorika.
Kini angin baru yang belum tentu segar ujungnya bertiup. OTONOMI pendidikan (OPEN) namanya, yang mungkin memberikan harapan baru bagi manusia seperti Kuswata. Binatang apa pula OPEN itu? Masih serba samar-samar, dan mudah-mudahan bukan hanya sebuah retorika baru. Dengan OPEN itu, akankah para Kuswata lebih sejahtera? Yang jelas demi yang namanya Otonomi, sekarang tugas Kuswata semakin banyak, untuk menyelesaikan pesanan para elite. Konon bakal ada sedikit perubahan, tetapi baru mungkin bisa terjadi setelah kira-kira sepuluh tahun masa transsisi. Yaaaah... manusia Kuswata masih harus bersabar menanti masa yang belum tentu pula. Bersabar dalam kegamangannya. Tetapi percayalah orang sepertinya akan tetap loyal, setia, lugu, cuek, naif dan menikmati kekumuhannya. Kasihaaaan ........
Demikianlah artikel gelap itu. Tentunya setelah sedikit saya hilangkan bagian-bagian yang sensitif, secara kelembagaan, sektoral maupun kolegial ...
Ki Denggleng Pagelaran
adalah Doktor Lulusan Luar Negeri yang bermukim di Taman Pagelaran - Bogor.
-----------------------------
Yang jelas Kuswata itu datang paling pagi (sebelum yang lain datang) dan pulang paling akhir (setelah yang lainnya pada pulang).... Satpam Fakultas mungkin tahu siapa Kuswata eh.. siapa penulis artikel itu.
Monday, July 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment