Thursday, October 2, 2008

Entropi Setelah Lebaran

Oleh: Iyung Pahan

Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2005, Jakarta akan menjadi kota nomor 8 terbanyak penduduknya di dunia (17,3 juta jiwa) yang disebabkan oleh arus migrasi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, sementara lingkungan tidak siap menerima beban tambahan penduduk. Daerah sumber arus migrasi bagi kawasan Jabodetabek adalah sbb.:

· Jawa Tengah = 457.017 jiwa
· Jawa Barat = 403.062 jiwa
· Sumatra = 199.455 jiwa
· Jawa Timur = 123.441 jiwa
· Banten = 61.747 jiwa
· Yogyakarta = 41.687 jiwa
· Sulawesi = 27.995 jiwa
· Bali dan Nusa Tenggara = 18.579 jiwa
· Kalimantan = 18.091 jiwa
· Total = 1.351.074 jiwa (7,81%)

Kawasan Jabodetabek menjadi tujuan utama dalam menarik penduduk migran karena kawasan ini merupakan pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat telekomunikasi, pusat keuangan (bank sentral), pusat industri, pusat perhubungan darat dan udara, serta pusat pelabuhan nasional. Delapan puluh persen uang di Indonesia beredar di Jakarta sehingga merupakan kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia (5,6% per tahun).

Dari analisis kondisi pendatang menurut latar belakang pendidikan dan lapangan kerja di Jabodetabek pada tahun 2006, terlihat bahwa Jakarta telah menjadi pusat jasa dan kawasan Bodetabek sarat dengan kegiatan industri yang membutuhkan tenaga kerja berketrampilan, di sisi lain sebagian besar pendatang di Jabodetabek berpendidikan rendah (tidak tamat SD/lulus SD) sehingga pilihan yang tersedia adalah sektor informal (pemulung, pekerja kasar dan pedagang kaki lima).

Motivasi para pendatang ke Jabodetabek disebabkan oleh faktor penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik bagi para pendatang adalah adanya peluang pemenuhan kebutuhan tenaga kerja karena tumbuhnya kawasan bisnis dan jasa, kondisi infrastruktur yang lebih baik, serta transportasi dan layanan publik yang kian membaik di Jabodetabek ketimbang daerah asalnya para pendatang. Faktor pendorong penduduk migran meninggalkan daerah asalnya untuk merantau ke Jabodetabek adalah karena terbatasnya peluang kerja di daerah, sementara mereka tetap harus makan untuk bertahan hidup. Untuk tingkat pendidikan yang sama, pendapatan penduduk di perdesaan ternyata lebih kecil dari di perkotaan. Hal ini memicu timbulnya usaha perbaikan nasib dengan melakukan urbanisasi ke ibukota Kabupaten, Propinsi dan Negara akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian, dan lebih tingginya pendapatan di kota. Walaupun mereka menyadari kondisi di Jabodetabek membutuhkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan tinggi, mereka tetap ke Jabodetabek karena peluang untuk bertahan hidup disana masih lebih besar dibandingkan dengan di daerah asalnya.

Menurut kaidah termodinamika, energi akan mengalir dari sistem yang mempunyai derajat entropi lebih kecil ke sistem yang ber-entropi lebih besar sejalan dengan bertambah­nya waktu. Keragaman dapat dipostulatkan sebagai salah satu unsur energi. Arus migrasi penduduk dari daerah ke Jabodetabek merupakan contoh aliran energi dari daerah ber-entropi rendah (karena daerah relatif homogen) menuju Jabodetabek yang sangat heterogen (entropi tinggi) dan reaksi ini berlangsung spontan. Artinya bila keadaan tidak berubah (karena adanya gangguan sistem lain) aliran tersebut akan berjalan terus sampai mencapai suatu titik keseimbangan yang dinamis (homeostasis).

Aliran energi (dalam hal ini arus migrasi penduduk) berlangsung spontan dari daerah menuju Jabodetabek. Untuk mencegah aliran tersebut dan/atau membalikkan proses spontan tersebut, sistem pengelolaan pemerintahan di daerah (baca: pemerintah daerah asal pendatang) harus didukung oleh input energi (baca: Rupiah) berupa penciptaan lapangan kerja di daerah asal pendatang yang dijabarkan secara teknis dalam paket pembangunan agribisnis unggulan.

Pembangunan lima tahun di daerah asal pendatang dan di Jabodetabek harus dilakukan secara simultan dan saling melengkapi. Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan pemerintah selama ini ternyata belum berhasil meningkatkan kesejahteraaan petani dan perkembangan desa. Salah satu faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan selama ini adalah terjadinya kecenderungan aliran bersih (transfer netto) sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran dengan disertai derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk secara berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar (terutama ke Jabodetabek).

Perpindahan ini memberikan dampak di berbagai kota utama berupa urbanisasi berlebihan (over-urbanization), sementara desa kehilangan tenaga-tenaga produktif yang seharusnya merupakan bagian dari mata rantai roda kehidupan dan roda ekonomi perdesaan. Proses urbanisasi yang tidak terkendali ini juga mengakibatkan turunnya produktivitas pertanian secara makro dan terjadinya proses pemiskinan secara sistematik di perdesaan, karena pendekatan pembangunan yang selama ini banyak mengakibatkan urban bias. Orientasi pembangunan industri di Jabodetabek juga menyebabkan perkembangan kota yang tidak teratur (urban sprawl) sehingga justru menimbulkan tekanan terhadap lingkungan seperti pembukaan lahan pemukiman yang tak terkendali, penggundulan hutan, pemukiman liar di ruang publik dan konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri. Sebaliknya, pembangunan pertanian di perdesaan berjalan sangat lamban karena kurangnya infrastruktur fisik, infrastruktur sosial, pendanaan komersial, dan modal insani (human capital) yang mumpuni. Pembangunan perdesaan menjadi tidak berkelanjutan sehingga banyak proyek pemerintah yang akhirnya sekedar menjadi monumen, terhenti setelah tidak ada pembiayaan lagi dari pemerintah, dan akhirnya pelan-pelan hancur dimakan zaman. Hal ini terjadi karena perencanaan pembangunan pertanian dan perdesaan tidak dilakukan dengan matang karena output total dan produktivitas per kapita yang tidak dapat memberi manfaat langsung, dan sistem usaha tani yang dijalankan masih tradisional dan kurang produktif karena keterbatasan lahan. Rata-rata luas lahan 0,1-0,5 ha/petani di Jawa jelas tidak mampu mencapai skala ekonomi. Insentif ekonomi yang diharapkan justru menjadi dis-insentif dengan praktek pungli yang merajalela, dan peningkatan produktivitas di sektor produksi justru habis disedot para pencari rente ekonomi dalam bentuk marjin tataniaga yang sangat mengeksploitasi petani.

Pemerintah di daerah asal tidak mungkin bisa mengembangkan industri seperti di Jabodetabek karena memerlukan investasi yang mahal sementara dana APBD tidak mencukupi, sehingga alternatif yang tersedia hanyalah melakukan pembangunan industri berbasis bahan baku produk pertanian (agroindustri) sesuai dengan keunggulan komparatif setempat. Keunggulan komparatif daerah harus dikembangkan sebesar-besarnya dengan menggunakan kendaraan agribisnis, karena hanya agribisnislah yang sanggup memberdayakan tenaga kerja dari sektor pertanian untuk masuk ke sektor (agro)industri dengan pelatihan ketrampilan yang seadanya. Membangun agribisnis di daerah asal pendatang berarti harus didukung oleh energi (baca: anggaran) yang lebih besar dari pada tingkatan energi pada periode sebelumnya. Sementara itu pemerintah pusat (Jabodetabek) harus melakukan pengetatan manajemen kependudukan berupa kebijakan daerah Jabodetabek yang semi tertutup bagi pendatang dengan persyaratan pendidikan dan ketrampilan serta adanya penjamin yang merupakan penduduk resmi Jabodetabek.

Pembangunan kawasan Jabodetabek dan pengembangan kawasan baru di daerah sebaiknya dilakukan dengan pendekatan klaster ekonomi. Kawasan Jakarta diposisikan sebagai klaster jasa, kawasan bodetabek sebagai klaster industri, kawasan jawa (pantura) sebagai klaster tanaman pangan, sumatra dan kalimantan sebagai klaster tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet), Indonesia Timur sebagai klaster tanaman bioenergi (jarak pagar) dan tanaman pangan (terutama Papua).

Untuk melaksanakan pengembangan kawasan baru, baik di Jabodetabek maupun di daerah asal penduduk migran, dibutuhkan pendekatan pengelolaan perubahan dalam organisasi pemerintah. Proses perubahan dalam organisasi pemerintah yang terencana akan memudahkan peninjauan dan identifikasi kontinu mengenai masalah-masalah yang perlu diperhatikan, sebagai bagian integral dari kebudayaan organisasi dari suatu penanganan manajerial. Pelaksanaan dapat dilakukan dengan delapan langkah tindakan perubahan yang dilakukan secperubahan ara berurutan dengan hasil akhir berupa perubahan yang permanen dalam budaya pemerintah yang tercermin dalam kebiasaan orang-orang di dalam pemerintahan. Delapan langkah tersebut adalah:

  1. Memahami dan menerima alasan kenapa pemerintah harus berubah
  2. Membentuk sebuah tim untuk melakukan perubahan (pilot proyek klaster ekonomi di suatu wilayah).
  3. Membuat visi organisasi (pemerintah) yang baru (terkait dengan klaster ekonomi).
  4. Mengkomunikasikan visi tersebut kepada seluruh organisasi (jajaran di suku dinas).
  5. Memberikan kekuasaan kepada orang-orang untuk melaksanakan perubahan (pilot proyek).
    – Setelah butir 4 dilaksanakan dengan memuaskan.
    – Ada persetujuan dari kepala daerah.
    – Buat perubahan melalui rencana tindakan: Apa, Siapa, Kapan, Dimana, Bagaimana, Mengapa.
  6. Buat laporan kemajuan perubahan dari pilot proyek (1-3 bulan) melalui master calendar dan milestone chart. Ciptakan “kemenangan-kemenangan kecil.”
  7. Konsolidasi dan lembagakan hasil tersebut melalui orang, proses, dan sistem. Setelah pilot proyek berhasil, terapkan perubahan tersebut pada keseluruhan organisasi.
  8. Membuat perubahan tersebut menjadi perubahan yang permanen melalui budaya organisasi sehingga menjadi kebiasaan bagi semua orang di dalam organisasi pemerintahan.

No comments: