Monday, July 2, 2007

Iyung Pahan's Travelling Note #6: Jakarta - Chicken or Egg

Hari ini aku lagi jutek. Memang jiwaku lagi judes dan bete (bad temperament). Pandanganku mungkin cupat, tetapi itulah realitas diriku saat ini. Teori expectancy yang kubaca membawa pada pemahaman bahwa dengan usaha terbaik yang dilakukan pada saat ini, diyakini akan memberikan hasil terbaik di masa yang akan datang. Kelakuan masa lalu merupakan alat prediksi terbaik untuk meramalkan sukses di masa yang akan datang. Tetapi itu tidak untuk suasana konvensional hari ini.
Entah mengapa, tiba-tiba saja aku terpental dari orbital rutinku. Sepertinya tiba-tiba saja sebuah tingkatan energi yang lebih tinggi membuat keseimbangan proton dan elektron dalam model molekul diriku tereksitasi, dan diriku menjelma menjadi radikal bebas. Radikal bebas ini membuatku jutek dan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Apakah radikal bebas ini akan permanen atau bersifat sementara, tetaplah dia membuat diriku mengambil satu keputusan.
Akankah kubiarkan diriku seperti tak ada apa-apa, padahal emosi jiwa sudah tereksitasi pada level yang semakin negatif ? Atau harus kubiarkan muatan negatif model molekul diriku menjadi radikal bebas yang akan mengacaukan keteraturan di dalam sistem dan membawaku pada suatu kondisi model molekul baru dengan nama baru, pemahaman baru dan fungsi baru.
Kalau persistensi sistem ini menjadi suatu kenyataan sepanjang jalan yang harus kutempuh, mungkin aku harus berani mengambil sebuah keputusan untuk menghancurkan apa yang sudah ada menjadi suatu bentuk yang benar-benar baru dan membiarkan kesetimbangan alam menjalankan perannya dengan cantik. Dalam kondisi ini, aku teringat pada sebuah skenario seni perang Sun Tzu yang merupakan sebuah dunia dimana tidak ada yang dapat dijamin, dengan tema kunci perubahan selalu akan menunjukkan wajah dalam rupa yang tidak terduga, maka kenalilah musuh dan lingkungan supaya kemenangan kita tidak hilang, dan kenalilah kekuatan diri sendiri dan suasana hati supaya kemenangan kita lengkap.
Ketika seorang karyawan berhenti dari sebuah perusahaan, mereka umumnya berusaha meninggalkan managernya dari pada pekerjaan dan perusahaannya. Inilah realitas baru bahwa manager dan perusahaan harus menghargai karyawannya jika mereka ingin menarik dan menjaga karyawan yang baik. Mengelola human capital adalah kompetensi bisnis yang kritikal dimana perusahaan-perusahaan kelas dunia harus melongok ke dalam “managers of choice.” Nancy Ahlrichs mendeskripsikan lima kompetensi yang kritikal dari managemen human capital: pencarian bakat, membangun hubungan, membangun kepercayaan, membangun ketrampilan, dan membangun merek.
Lalu ketika salah satu atau semua kompetensi itu sirna, si human capital akan mencari jalannya sendiri untuk mencari jati dirinya. Hal ini disebabkan karena human capital itu sendiri bukanlah orang yang ada di dalam organisasi semata-mata. Orang-orang mencoba mengatur hidupnya melalui mekanisme human capital dan bebas untuk melakukan investasi yang disukainya pada berbagai aspek-aspek kehidupan seperti : keluarga, kelompok minat dalam komunitas, menjalankan syariat agama, mencari kesehatan fisik, minat-minat lain, dan bekerja. Human capital sebuah organisasi adalah kumpulan atribut kolektif dari pengalaman hidup, pengetahuan, kreativitas, energi, dan antusiasme yang dipilih oleh orang-orang untuk diinvestasikan pada pekerjaannya. Semuanya adalah pilihan bebas, dan konsekuensi pilihan bebas adalah termasuk untuk tidak memilih apapun alias golput.
Ketika kepercayaan telah hilang, ketika itu pula suatu babak baru dimulai. Fenomena manusia sebagai makhluk sosial adalah dasar dari sistem kepercayaan. Segala norma dan tatanan budaya yang berlaku didukung oleh sistem kepercayaan yang dianut oleh orang-orang yang ada di dalam sistem tersebut. Ketika kepercayaan menguap, norma dan tatanan budayapun akan mengalami perubahan yang drastis. Perilaku yang dulunya tidak pernah terbayangkan akan muncul, tiba-tiba saja telah merebak secara masif dimana-mana. Siapa yang akan menyangka bahwa budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang ramah-tamah dan bersahabat dalam hitungan 1-2 tahun saja sudah menjadi beringas dan menebarkan aroma ketakutan di tempat-tempat sepi kala malam hari.
Dalam konsekuensi pilihan bebas, timbulnya apatisme alias golput merupakan mekanisme untuk menghukum status quo yang menyesakkan dada salah satu pihak yang teraniaya dalam interaksi tersebut. Kemenangan bagi satu pihak sering kali lebih merupakah hukuman dari masyarakat terhadap rejim berkuasa yang lalai dalam merawat rakyat dan kawulanya dengan baik-baik. Mereka membuat pilihan lain yang merupakan manifestasi asal-bukan-dia, karena putus asa dan putus kamus melihat realitas yang ada. Dalam kasus seorang karyawan, bila mereka mempunyai cukup pilihan, maka jalan termudah yang dapat mereka lakukan adalah meninggalkan atasannya. Mereka sebenarnya tidak ingin meninggalkan organisasi, tetapi mereka tidak tahan deraan atasan yang menurut mereka tidak patut dan tidak layak. Lalu, merekapun berlalu bersama semilirnya angin.
Mana yang harus diperbaiki? Sistem dulu atau mentalitas (budaya) orangnya? Ayam atau telur? Dan banyak orang yang terjebak dalam metafora ayam atau telur, serta membutuhkan waktu bertahun-tahun hanya untuk memulainya. Dibutuhkan dua tangan untuk bertepuk tangan. Kalau hanya satu tangan, itu namanya bertepuk sebelah tangan, alias kipas-kipas dan wes ewes ewes bablas angine. Bila dua tangan itu ditransformasikan sebagai kepercayaan yang harus ada, untuk membangun human capital di dalam organisasi diperlukan kebersihan hati dan keteguhan iman. Karyawan harus percaya bahwa masa depannya akan berkembang dan mencapai suatu penahapan baru seiring dengan berjalannya waktu, alias investasi waktunya di perusahaan akan menghasilkan pengembalian sebagaimana yang diharapkan. Di sisi lainnya, perusahaan juga membuat rencana pengembangan untuk meningkatkan nilai para pemegang saham dengan perluasan operasional yang akhirnya memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak dan lebih bermutu bagi karyawan-karyawan yang telah mengivestasikan waktunya diperusahaan tersebut. Masalahnya, apakah masa depan dan pengembangan perusahaan yang cerah itu merupakan bagian dari diri karyawannya? Kalau perusahaannya maju dan berkembang seperti bus Trans Jakarta yang melaju dengan kencang di jalan bebas hambatan (busway), pertanyaannya adalah apakah karyawan yang ada merasa menjadi bagian dari penumpang di dalam bus tersebut, ataukah merasa menjadi karyawan yang tertinggal di terminal.
Tidak ada jalan lain selain menjalani lingkaran yang ada tanpa berusaha mencari dimana awal dan akhirnya. Setelah kita berjalan satu lingkaran dan kembali ke kondisi awal, itulah realitas lingkaran yang telah kita jalani, tanpa kita perlu menentukan dimana awal dan dimana akhirnya. Tujuannya telah tercapai, tanpa perlu ribut-ribut mencari dimana awal untuk memulainya. Just do it! Ayam atau telur bukan lagi permasalahannya. Essensinya adalah keberanian untuk memulainya.

Jakarta, 5 November 2004.

2 comments:

justin said...

saya setuju dgn statement "Ketika seorang karyawan berhenti dari sebuah perusahaan, mereka umumnya berusaha meninggalkan managernya dari pada pekerjaan dan perusahaannya".

Belum tentu karyawannya yg salah, dan belum tentu sebaliknya. Jadi mmg susah memutuskan mana yg mau diperbaiki duluan, sistem di perusahaan atau budaya personal si pekerja.

saya pribadi mengambil sikap, lebih baik gunakan waktu yang ada untuk memperkaya ilmu. Pada batasnya nanti, ada waktunya memutuskan untuk tetap tinggal atau pergi ke ke tempat lain :)

IYUNG PAHAN said...

Justin,
Kalau nggak dapat duitnya, carilah ilmunya, dan kalau nggak ada ilmunya juga, carilah hikmahnya. Pernyataan ini klasik, tapi sangat berguna dan positif banget. Memang yang ideal adalah melakukan perubahan dari diri sendiri, seperti kata Stephen Covey, berusahalah memahami, baru minta dipahami.
Iyung