Sunday, September 28, 2008

Geliat Pasar Tradisional Melawan Fenomena Pasar Modern

Oleh: Iyung Pahan

Maraknya pembangunan pasar modern seperti hypermarket dan supermarket telah menyudutkan pasar tradisional di kawasan perkotaan, karena menggunakan konsep penjualan produk yang lebih lengkap dan dikelola lebih profesional. Kemunculan pasar modern di Indonesia berawal dari pusat perbelanjaan modern Sarinah di Jakarta pada tahun 1966 dan selanjutnya diikuti pasar-pasar modern lain (1973 dimulai dari Sarinah Jaya, Gelael dan Hero; 1996 munculnya hypermarket Alfa, Super, Goro dan Makro; 1997 dimulai peritel asing besar seperti Carrefour dan Continent; 1998 munculnya minimarket secara besar-besaran oleh Alfamart dan Indomaret; 2000-an liberalisasi perdagangan besar kepada pemodal asing), serta melibatkan pihak swasta lokal maupun asing. Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat dan dikuasai oleh satu manajemen tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat kebijakan penanaman modal asing.

Dampak dari hal yang dikemukakan, menurut survei AC Nielsen pada tahun 2004 didapatkan data bahwa pertumbuhan pasar modern 31,4% dan pasar tradisional bahkan minus 8,1%. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang dihadapi pasar tradisional sebagai wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi skala menengah kecil, yaitu:


  • Jumlah pedagangnya terus meningkat.
  • Kesadarannya rendah terhadap kedisiplinan, kebersihan dan ketertiban.
  • Pemahamannya rendah terhadap perilaku konsumen.
  • Visi dan misi pengelola pasar tidak jelas.
  • Pengelola pasar belum berfungsi dan bertugas secara efektif.
  • Standard operating procedures (SOP)-nya tidak jelas.
  • Manajemen keuangannya tidak akuntabel dan tidak transparan.
  • Kurang perhatian terhadap pemeliharaan sarana fisik (becek, bau dan kotor).
  • Pedagang kaki lima yang tidak tertib karena mendapatkan tempat yang tidak layak.
  • Adanya premanisme.
  • Tidak ada pengawasan terhadap barang yang dijual, serta standarisasi ukuran dan timbangan.
  • Masalah fasilitas umum.
  • Penataan los/kios/lapak yang tidak beraturan.

Namun demikian, pemerintah tetap berupaya membangun pasar tradisional di seluruh daerah dan juga hasil survei AC Nielsen, 29% konsumen tetap mengunjungi pasar tradisional dengan alasan harga lebih murah, harga dapat ditawar, banyak pilihan makanan dan produk segar, lokasi dekat dengan rumah, menyediakan segala yang diperlukan dan lainnya.

Dari ilustrasi (fakta dan data) yang dikemukan, banyak hal yang sebenarnya membuat pasar tradisional mulai kehilangan tempat di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Perilaku konsumen semakin demanding karena konsumen kian memahami haknya, sedangkan di sisi lain mereka hanya memiliki waktu dan kesempatan yang semakin terbatas untuk berbelanja. Perubahan perilaku konsumen yang cenderung demanding menyebabkan mereka beralih ke pasar modern. Pasar-pasar modern dikemas dalam tata ruang yang apik, terang, lapang, dan sejuk. Pengalaman berbelanja tidak lagi disuguhi dengan suasana yang kotor, panas, sumpek, dan becek. Konsumen kian senang menjadi raja yang dimanja.

Pasar tradisional beroperasi dalam jam yang terbatas, umumnya hanya beroperasi pada pagi hari dan tidak buka sampai sore atau malam hari. Para wanita yang bekerja biasanya memanfaatkan waktu istirahat makan siang untuk sekaligus berbelanja kebutuhan keluarga di pasar modern yang dekat dengan lokasi kerjanya. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan semakin meningkat, kurang dapat ditangkap oleh pengelola pasar tradisional yang tidak begitu memerhatikan kebersihan pasar dan fasilitas pasar. Kehadiran pasar-pasar modern membuat belanja menjadi suatu wisata keluarga yang memberikan pengalaman tersendiri.

Tahapan yang diperlukan oleh pasar tradisional untuk meningkatkan daya saing usahanya maupun bertahan (menghindar dari kematian) dalam kompetisi bisnis ritel menurut analisis masa depan terhadap organisasinya dalam memunculkan kegiatan ekonomi yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah (praktik dan strategik) adalah kemampuan daya tanggap, kelincahan, kemampuan belajar, kompetensi modal insani (human capital) dan kreativitas operator pasar tradisional sebagai bagian dari keunggulan organisasi belum menghasilkan kapasitas, fleksibilitas dan keragaman yang luas. Sebagai akibatnya pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, becek serta bau, dan karenanya hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah.

Pembangunan pasar tradisional pada tempat-tempat khusus yang nyaman seperti pasar tradisional kompleks perumahan BSD yang terintegrasi dengan melibatkan pengembang sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaannya (CSR), terbukti berhasil meningkatkan status pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat luas yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah. Pasar tradisional BSD terbukti dapat hidup dan berkembang pesat karena ramai dikunjungi seluruh lapisan masyarakat, yang tidak hanya dari BSD tetapi juga dari daerah sekitarnya seperti Bintaro dan Pondok Indah.

Kebijakan pemerintah (Keppres, Kepmen) yang berkaitan dengan pasar modern dan konsep manajemen kewirausahaan dalam memperbaiki pasar tradisional harus dilakukan dengan meningkatkan keunggulan pasar tradisional sehingga menghasilkan kapasitas, fleksibilitas dan keragaman yang luas sehingga membuat pasar tradisional menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat luas yang dapat menyerap kesempatan kerja dan pengembangan wilayah.

Membiarkan pasar tradisional apa adanya dan meminta pemerintah menghambat pengembangan pasar modern tidak akan membantu pasar tradisional untuk bertahan hidup. Masyarakat selaku konsumen semakin menuntut kenyamanan, dan jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi pasar tradisional, maka secara otomatis mereka akan beralih ke pasar modern. Lonceng kematian pasar tradisional telah berdentang, dan pengunjung setia yang terakhir akan meninggalkan pasar tradisional ketika pasar tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhannya lagi. Keberadaan pasar tradisional tidak dapat diatur atau dilindungi oleh peraturan pemerintah setingkat apapun. Pasar tradisional hanya dapat dipertahankan jika mereka disediakan tempat khusus yang nyaman dan disediakan oleh pemerintah. Atas alasan itu pula, pasar modern tidak dapat dipersalahkan.

Pemerintah kurang melakukan pemberdayaan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi yang masih dibutuhkan oleh masyarakat luas, dan agak lambat menerapkan teknologi yang efektif dan metode baru untuk mengubah pasar tradisional menjadi pasar yang bersih dan nyaman bagi pengunjung tanpa membebani pedagang dengan biaya renovasi kios yang cenderung mahal.

Visi pemerintah dalam konteks logik, sistemik, lateral dan shared vision telah dicoba untuk dilaksanakan dengan revisi perda No. 6/1992 tentang pengelolaan pasar, dan perda No. 12/1999 tentang PD. Pasar Jaya, dimana operator memiliki kesempatan lebih besar untuk membangun fasilitas tambahan di pasar. Berdasarkan kedua perda tersebut, PD. Pasar Jaya (sebagai perpanjangan tangan pemerintah) dapat membangun fasilitas tambahan seperti kantor dan apartemen di atas pasar tradisional setelah mendapat persetujuan Dewan Kota. Pembangunan fasilitas tambahan akan mensubsidi harga renovasi kios bagi pedagang, sehingga renovasi pasar dapat dilakukan tanpa pembebanan biaya tambahan bagi pedagang yang sangat elastis terhadap kenaikan harga kios. Penterjemahan visi pemerintah dalam content teknologi, produk dan jasa, strategi dan struktur, serta budaya organisasi dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing usaha dan mempertahankan eksistensi pasar tradisional dalam lingkungan bisnis ritel di masa depan.

Meskipun informasi tentang gaya hidup modern dengan mudah diperoleh, masyarakat tampaknya masih memiliki budaya untuk tetap berkunjung dan berbelanja ke pasar tradisional. Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara pasar tradisional dan pasar modern. Perbedaannya adalah masih adanya proses tawar-menawar harga di pasar tradisional, sedangkan di pasar modern harga kondisinya sudah “kaku” dengan label harga. Dalam proses tawar-menawar terjalin kedekatan personal dan emosional antara penjual dan pembeli yang tidak mungkin didapatkan ketika berbelanja di pasar modern. Romantisme masa lalu ini masih dan mendapat tempat dalam budaya tradisional yang mempertahankan eksistensi pasar tradisional. Hal ini sejalan dengan hasil survei AC Nielsen yang masih menempatkan 29% konsumen sebagai konsumen fanatik pasar tradisional dengan berbagai alasan. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" dan telah menjadi bagian dari nilai budaya tradisional antara lain adalah pasar Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, dan pasar Johar di Semarang.

Dengan menempatkan rumusan efektivitas diatas efisiensi, ketika lonceng kematian pasar tradisional telah berdentang dan pengunjung setia yang terakhir telah meninggalkan pasar tradisional yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, sebesar apapun romantisme yang merepresentasikan nilai-nilai budaya tradisional, pasar tradisional akan tinggal kenangan dan menjadi ikon penghias musium peradaban masa lalu bangsa ini. Pasar tradisional yang tidak mampu berubah menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (zaman), jelas bukan tipe organisasi masa depan yang dapat selalu menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan. Untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional, dibutuhkan intervensi seluruh pemangku kepentingan untuk merubah organisasi pasar tradisional saat ini menjadi organisasi masa depan yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang selalu berubah. Semoga.