Belum surut pemberitaan kekerasan di IPDN Sumedang yang menewaskan praja Cliff Muntu, publik kembali digoncang praktik kekerasan di SD yang berbuntut meninggalnya seorang anak SD kelas 2 di Jakarta Timur karena dipukul oleh 4 orang rekannya, yang tiga diantaranya adalah anak perempuan. Kekerasan juga terjadi di SMA Pangudi Luhur Jakarta. Praktik kekerasan (bullying) telah merebak dari perguruan tinggi, sekolah menengah, sampai sekolah dasar dalam berbagai rupa yang secara homogen menasbihkan perilaku kekerasan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia telah mencapai tipping point yang mengkhawatirkan. Tidak perduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda, seakan-akan perilaku kekerasan telah menjadi menu wajib dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah dan berbudi pekerti lembut. Budi pekerti yang lembut mungkin telah menjadi budi pekerti lelembut, yang telah mencampuraduk dan mengharubiru perilaku manusia dari anasir tanah dengan perilaku kaum lelembut yang dibuat dari anasir api. Dan ketika tanah bercampur dengan api, maka terjadilah proses pengerasan hati yang membuat suara hati bungkam, sehingga terefleksi dalam perilaku doyan kekerasan yang merupakan manifestasi homo homini lupus.
Memang belum ada penelitian ilmiah yang dilakukan terhadap para pelajar dan mahasiswa Indonesia tentang perilaku kekerasan dan penganiayaan di sekolah. Memang belum ada alat yang teruji secara ilmiah untuk mengukur penganiayaan dan kekerasan di antara murid sekolah. Tarshis dan Huffman (2007) yang melakukan penelitian perilaku kekerasan dan penganiayaan di Amerika Serikat, mengakui bahwa alat yang mereka gunakan lebih merupakan analisis pengurutan secara statistik terhadap respon kuesioner (http://www.bayareachild.org klik pada PIPS Questionnaire) yang mereka kirim ke sekolah-sekolah untuk melihat apakah pendekatan itu merupakan alat pengukuran yang baik.Hasil penelitian Dr. Thomas P. Tarshis dari Bay Area Children’s Association di Cupertino, California dan Dr. Lynne C. Huffman dari Stanford University School of Medicine seperti dilaporkan oleh Anne Harding dari Reuters Health (2007): Kekerasan dan penganiayaan telah menyebar secara subur di sekolah-sekolah AS. Peneliti yang mengirim kuesioner ke sekolah-sekolah menemukan fakta bahwa para pelajar mengalami berbagai tindak kekerasan dan penganiayaan, seperti: ”mereka membuatku menangis, memaksaku, memalakku, menolakku.” Setelah menganalisis seluruh respon, para peneliti menemukan bahwa 89.5% anak-anak menjadi korban kekerasan, dan 59.0% para pelajar melakukan tindak kekerasan dalam berbagai purwa rupa. Untuk melakukan tindak pencegahan kekerasan di sekolah kelihatannya harus dilakukan secara terpadu, dengan melibatkan tidak hanya para pelajar tetapi juga para guru, pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat. Tindakan secara ad hoc seperti mengawasi para pelajar secara ketat tidak akan menyelesaikan masalah. Kunci keberhasilannya adalah membuat perubahan paradigma bahwa perilaku kekerasan dan penganiayaan adalah sesuatu yang tidak benar, dengan menekankan kepada para pelajar bahwa mereka harus melakukan perlawanan terhadap praktik kekerasan sehingga mereka tidak akan menjadi korban. Dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dinamis, dimana praktik kekerasan mencapai status quo karena semua pihak saling menahan diri untuk melakukan kekerasan. Pada saat itulah tercipta perdamaian di sekolah-sekolah secara permanen.Sumber: Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, April 2007.
2 comments:
Boleh di link dengan blog kami?
Go ahead. Thanks.
Post a Comment