Dalam beberapa minggu ini, pemberitaan kenaikan harga minyak goreng yang menambah beban penderitaan rakyat menghiasi media cetak dan elektronik. Rakyat sudah kenyang dengan penderitaan yang silih berganti, mulai dari bencana alam, penyakit menular, dan kini kerawanan pangan. Licinnya harga minyak goreng yang melesat tinggi membuat status gizi masyarakat menurun karena berkurangnya asupan zat gizi yang mampu dibeli dan dikonsumsi.
Pemerintah telah melakukan serangkaian tindakan reaktif yang bersifat ad hoc seperti “mengimbau” produsen minyak makan menjual dengan harga Rp 5.000-6.000 per kg. Untuk itu, anggota asosiasi industri seperti AIMMI (refiner) dan GAPKI (perkebunan kelapa sawit) diminta tanggung jawab sosialnya sebagai perusahaan guna membantu pemerintah menstabilkan harga minyak goreng di pasar. Himbauan ini dilakukan dengan setengah ancaman, bahwa jika harga minyak goreng tidak kunjung turun, maka pemerintah akan menggunakan instrumen fiskal berupa kenaikan pajak ekspor CPO.
Industri CPO adalah industri yang dipengaruhi mekanisme pasar bebas. Keseimbangan permintaan dan penawaran adalah dasar penciptaan harga. Permintaan yang meningkat dipicu oleh pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan domestik bruto, tambahan permintaan biodiesel, adanya masalah trans-fat yang menyebabkan sebagian industri makanan di AS beralih ke CPO, dan faktor konsumsi CPO RRC yang terus tumbuh dengan pesat.
Industri biodiesel berkembang karena harga minyak-bumi mentah yang meningkat dan bertahan pada harga USD 60/barrel, ratifikasi protokol Kyoto untuk mengurangi lima persen tingkat emisi gas rumah kaca, dan insentif pajak bahan bakar Uni Eropa. Biodiesel dapat dibuat dari seluruh jenis minyak nabati seperti minyak kanola, kedelai, atau kelapa sawit. Permintaan bahan baku biodiesel akan mengurangi persediaan minyak nabati global, yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan harga seluruh minyak nabati termasuk CPO.
Menghadapi mekanisme pasar bebas dengan pendekatan ad hoc adalah seperti mengatasi datangnya banjir dengan membuka dapur umum. Memang hal tersebut sangat membantu para korban, tetapi akar permasalahannya tidak disentuh sama sekali. Usaha stabilisasi secara parsial dan ad hoc adalah tindakan korektif yang hanya menyentuh pinggiran permasalahan. Masalahnya adalah siklus kerusakan (harga tinggi CPO) yang pasti akan terjadi tidak di antisipasi secara sistematik. Menyikapi masalah sistemik dengan pendekatan taktik adalah seperti menggantang asap.
Sebagai negara pembelajar, kita tidak perlu malu-malu belajar dan melakukan patok-duga terhadap negara lain yang telah terbukti berhasil memecahkan masalah sejenis. Malaysia telah mampu meningkatkan nilai tambah produk CPO dan produk turunannya melalui ekspor tanpa menyebabkan krisis harga minyak goreng domestik.
Malaysia melalui Kementrian Industri Perkebunan dan Komoditi mempunyai Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB, Malaysia Palm Oil Board) yang kedudukannya setingkat dengan Direktorat Jenderal. MPOB inilah yang mengatur seluruh aspek yang berhubungan dengan para pemangku kepentingan industri CPO di Malaysia melalui pendekatan sistem agribisnis. MPOB sebenarnya meniru konsep CESS Indonesia berupa potongan keuntungan eksportir hasil perkebunan sebesar RM 15/ton atau sekitar USD 3.95/ton. Alokasi pungutan CESS ini RM 7.25/ton untuk riset dan pengembangan, RM 2/ton untuk promosi, RM 1.75/ton untuk Palm Oil Registration and Licensing Authority – PORLA, dan RM 4/ton untuk Safety Net Fund (dana cadangan stabilisasi harga sawit).
Pendekatan Indonesia memang menempatkan Dewan Komoditas (Dewan Minyak Sawit Indonesia) dalam pendekatan sistem sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Perkebunan No. 18/2004 pasal 19 ayat 2, yaitu: untuk membangun sinergi antarpelaku (subsistem) usaha agribisnis perkebunan, Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Dewan Komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis perkebunan bagi seluruh pemangku kepentingan perkebunan. Sayangnya, “kecelakaan redaksional” berupa kata mendorong dan memfasilitasi menyebabkan Pemerintah menyilahkan pihak swasta membentuk DMSI yang dalam kenyataannya tidak memiliki “kekuatan” setara kewenangan MPOB. Upaya stabilisasi harga minyak goreng domestik dengan pendekatan CESS pasti akan ditentang keras oleh para pengusaha yang telah dibebani pajak ekspor CPO. Sedangkan penggunaan dana pajak ekspor CPO hanya bisa dilakukan melalui jalur Departemen Teknis, yang jelas tidak bisa dilakukan DMSI.
Mengatasi licinnya harga minyak goreng domestik hanyalah salah satu fungsi DMSI. Pemberdayaan DMSI sebagai lembaga yang memiliki kekuatan mengikat, mutlak dilakukan dengan mengintegrasikannya sebagai salah satu Badan di dalam jajaran Departemen Teknis. Jalan tengah dapat dilakukan dengan merangkul jajaran menteri teknis (pertanian, perdagangan, perindustrian) dan menteri ekonomi menjadi Dewan Pembina dalam struktur organisasi DMSI.
Friday, May 4, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment