Perspektif gender adalah suatu hal usang yang selalu menarik untuk dipelajari dan diperbaharui dalam perspektif kekinian. Kali ini saya akan mencoba bicara soal anak, membesarkan anak, fenomena tawuran di kalangan pelajar dan konsumsi narkoba yang semakin menakutkan para orang tua dari perspektif ini. Inti dari fenomena ini menggejala karena ketidakseimbangan porsi pengasuhan anak antara figur bapak dan figur ibu. Jakarta tahun 2007 adalah kota persaingan. Jika kita tidak bisa mengorbankan waktu untuk memberikan pelayanan terhadap pekerjaan kita, maka 90% penduduk bandar raya ini mungkin akan punah dan berganti dengan bentuk masyarakat yang sama sekali baru. Artinya, orang yang tidak bisa berangkat kerja pagi hari (subuh) dan pulang petang (sampai dirumah pukul 20.00), adalah mereka-mereka yang harus punah sesuai teori survival of the fittest nya Darwin. Jelas, karena tidak akan ada orang yang mau memperkerjakan mereka. Jika kita mengikuti pola ritmik yang dianggap baku oleh masyarakat Jakarta tersebut, maka suatu kebersamaan dalam keluarga adalah suatu kemewahan yang langka. Kita tidak akan punya waktu untuk berinteraksi secara intens dengan anak. Anak hanya diposisikan sebagai hasil ikutan (by product) dari suatu simbol ikatan perkawinan. Dia tidak mempunyai hak untuk menerima kasih sayang dalam suatu pola sistematis, dan hanya bisa merasakan kelangkaan kasih sayang dalam kejutan-kejutan ala MTV land, yang didapatkannya dari jendela kotak kaca budaya popular, memperhatikan trend pergaulan yang semakin mudah terpeleset ke pelarian seperti penggunaan narkoba, tawuran dan pergaulan bebas yang audzubillah mindzalik. Pergeseran pola hidup karena tekanan lingkungan urban sensation, membuat kita para manusia sebagai pelaku kehidupan membentuk budaya yang sama sekali baru bila dibandingkan era tahun 70-an. Pada tahun-tahun yang telah berlalu itu, kota tidaklah seramai dan serumit sekarang. Berjalan kaki dari Slipi ke Cililitan bagi seorang mahasiswa di tengah panasnya Jakarta adalah sesuatu yang biasa. Kini, jangan mengharap lagi ada orang yang mau melakoni itu secara sadar untuk sebuah perjalanan. Di Jakarta tahun 2007, pergi kemana-mana harus selalu dengan kendaraan. Mentalitas jalan kaki sudah usang. Salah satu pergeseran budaya rumahan pun menjadi semakin mengkristal. Pola rumah – kantor di lokasi berdekatan hanyalah valid untuk segelintir orang super kaya atau mayoritas karyawan baru yang miskin dan bersedia indekos di rumah-rumah sederhana di belakang jalan Sudirman dan Thamrin. Setelah para karyawan baru ini merasa mantap dan berumah tangga, sebuah rumah adalah keharusan (atau mungkin mereka belum cukup kuat mental untuk memiliki tangganya saja). Dan dengan adanya disparitas harga jual properti dan kemampuan daya beli, pasangan-pasangan baru ini harus merelakan diri terhempas ke kawasan rumah saya sendiri (RSS) jauh di luar Jakarta. Kalau dahulu rumah di Bekasi dianggap murah bila dibandingkan Jakarta, maka sekarang jarak itu semakin bergeser ke Tambun dan Krawang. Dan jadilah perjalanan ke dan dari tempat kerja menjadi suatu petualangan ala Indiana Jones. Cuma bedanya, kalau Indiana Jones bisa menembus waktu, maka kita hanya bisa merelakan waktu menelan kita dalam sebuah ritual perjalanan. Dan kehidupan pun terus berlanjut. Yakinlah apa yang dikatakan orang bijak: Kehidupan itu akan menemukan jalannya sendiri. Dari titik inilah saya akan mencermati fenomena tawuran pelajar, narkoba, dan menanti apakah kelak 2 generasi bangsa ini menjadi generasi yang hilang, atau menjadi generasi bangsa(t) Indonesia.
Buah perkawinan itupun akhirnya muncul ditengah kebahagian pasangan suami istri. Dan karena si ibu harus bekerja untuk menopang kehidupan keluarga juga (di Jakarta kalau suami istri tidak bekerja kedua-duanya maka ibarat mobil bukan 4WD dilintasan off-road), maka si anak mesti direlakan untuk diasuh orang lain. Bisa jadi orang lain itu adalah neneknya, baby sitter, atau pembantu rumah tangga (istilah kerennya: mamahnya anak-anak). Generasi MTV ini adalah generasi yang terutama dibesarkan oleh wanita, apakah wanita itu ibunya, baby sitter, pembantu rumah tangga, atau malah tetangganya. Dibesarkan tanpa ada figur bapak yang ikut mewarnai karakternya, karena posisi bapak sudah dipostulatkan sebagai pencari nafkah, dan untuk itu sang ayah bebas untuk berangkat kerja kapan saja dan pulangnya hampir selalu kemalaman. Karena kalau dia tidak lakukan itu, dia akan punah dari spesies Homo faber (manusia sebagai makhluk pekerja). Dia mencari pembenaran dalam ritual kerja dan perjalanan ke tempat kerjanya. Anak dibesarkan wanita, siapapun dia, dan tidak di poles sentuhan akhir seorang pria untuk menyempurnakannya. Hal ini akan menjadi lebih parah lagi kalau wanita yang membesarkannya itu ternyata bukan ibu kandungnya. Banyak ibu-ibu yang mampu bereproduksi, tetapi tidak memiliki kesadaran untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya secara seimbang. Pemandangan yang umum di mal dan plaza adalah melihat keluarga kontemporer Indonesia dengan paling tidak seorang baby sitter menemani mereka berbelanja. Seorang ibu yang menikmati proses berbelanja di mal dan plaza yang sejuk, tetapi kurang menyikapi pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dan secara psikologis, anak akan lebih dekat dan tergantung kepada pengasuhnya. Anak tidak mau makan bila disuapin ibunya, tetapi langsung melahap semuanya jika baby sitter yang memberikannya. Anak yang menangis meronta-ronta ketika digendong ibunya, tiba-tiba menjadi senyap dan tersenyum manis ketika digendong pengasuhnya. Semuanya adalah kejadian-kejadian kecil yang memberikan dampak besar kepada perkembangan pribadi anak ketika mereka berusaha mencari jati dirinya kelak. Anak laki-laki itupun akan kehilangan kejantanannya dalam arti kiasan dan sebenarnya. Mereka secara bulat-bulat menelan dan meniru pola manipulatif wanita dalam kehidupan laki-lakinya. Mereka telah kehilangan konsep berani dan jantan, dan menterjemahkannya dengan interface mereka sendiri menjadi berani keroyokan, berani karena bawa beceng, karena punya samurai dan seterusnya dan sebagainya. Dan kondisi ini akan menjadi semakin parah, karena secara substantif akan meningkatkan kecenderungan anak laki-laki menjadi gay alias homo. Semua ini karena figur bapak telah gagal bersemi di dalam kalbu si anak yang digerus oleh budaya urban sensation. Maka tawuran pelajar pun terjadi semakin dini dan meluas, dari anak SMU kini telah merambah ke anak SD, SMP dan juga ke Perguruan Tinggi. Jika figur bapak ada dalam hatinya, bila dia berkelahi, dia akan jantan dan berani berkelahi satu lawan satu, dan pasti mengharamkan tawuran. Mereka-mereka yang akan tawuran biasanya terangsang untuk mengkonsumsi minuman keras dan akhirnya bermuara pada narkoba, guna memompa semangat dan keberanian. Mereka meniru atlet yang ingin berprestasi dengan cara doping, hanya saja cara mereka salah, dan tujuan mereka juga salah. Lalu anak-anak itu menjadi gamang dalam perjalanan menuju ke kedewasaannya. Ketidakseimbangan itu akan membuatnya mudah tersandung dan terjerumus dalam sisi negatif budaya popular. Budaya anak muda dengan atribut dan asesorisnya sendiri, yang cenderung mencari pembenaran dan membenarkan semua apa yang dilakukannya dalam kehidupan ini. Dan menurut mereka kebenaran itu adalah kebenaran yang dianut oleh norma kolektif kelompok mereka. Jika merokok telah menjadi suatu kebiasaan, walaupun peringatan pemerintahan merokok itu bisa membahayakan kesehatan dan menyebabkan impotensi, orang-orang yang pernah merokok tentu memahami sulitnya melepaskan diri dari rokok. Lalu bagaimana dengan putauw, bong dan segala turunannya dalam fenomena sakauw yang berapa kali lipat lebih dahsyat dari rokok? Budaya popular dalam masyarakat kota sekarang ini memberikan sensasi dan cenderung kepada hal-hal seperti itu. Strategi pemasaran kelompok pengedar narkoba adalah memposisikan produknya sebagai sesuatu yang diasosiasikan dengan kemajuan zaman, budaya modern yang akan mengantarkan para pemula ke dunia nikmat yang maya, walau itu tidak disebutkan secara jelas-jelas: hanya untuk sementara! Dan setelah itu budaya modern itu akan membuatnya modaren (mati). Mereka-mereka yang terjebak dalam labirin kenikmatan semu ini hampir selalu akan berakhir dengan kematian sebagai ujung siklusnya. Dan berakhirlah sebuah kehidupan, yang secara agregat berarti menghilangkan sekian talenta produktif, kuncup bunga bangsa yang layu sebelum berkembang, dan secara nyata akan membuat bangsa ini terpuruk dalam persaingan global. Mereka-mereka ini lah generasi penerus yang akan menjadi anggota DPR, pejabat, tentara, atau apa saja di masa yang akan datang. Lalu mau jadi apakah negara kita ini kelak? Untuk itu, dengarlah wahai kaum Adam, cobalah luangkan 1-2 kali dalam seminggu untuk menjalin persamaan dan kebersamaan dengan anak-anak kita guna menyemai ketahanan keluarga. Niscaya, ketahanan keluarga macam inilah yang akan ampuh dan menjadi modal Indonesia untuk meniti masa depan. Pemasyarakatan hal-hal seperti ini pada pasangan muda yang akan menikah, mudah-mudahan akan memberikan tuntunan kepada mereka untuk membina keluarganya guna menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Semoga.
Tuesday, May 8, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment