Monday, June 25, 2007

Memoar Kehidupan Kebun 17 Tahun yang Lalu

Normark, 20 Mei 1990

Kepada Yth. Technical Advisor [TA] Agronomy
Padang Halaban Estate,
Labuhan Batu, Sumatra Utara

Dengan hormat,

Perjalanan waktu kadang sangat kencang, kadang sangat lambat. Kita ini adalah kerelatifan, maka dalam kerelatifan itu kita coba bandingkan sesuatu yang relatif dengan yang relatif. Dari pijakan ini kita coba menempuh hidup dan kehidupan. Ada makna yang bisa diraih. Kehidupan ini kadang kejam bak tentara Nazi, tetapi juga bisa lembut dan mewah seperti elusan kelas eksekutif di club internasional a’la Mercantile, Hilton atau dinner di Four Season. Kehidupan (di) kebun berarti merelakan diri menghadapi tiga rupa, tiga tantangan: kesepian, kebodohan dan kemiskinan.

Kesepian adalah suatu kepastian, hak segala bangsa, ujud insani, hampir dapat dikatakan fitrah, sebuah rasa untuk menyeimbangkan manusia dari keramaian. Sepi yang relatif, bukanlah manifestasi lingkungan yang sunyi saja, tetapi cermin keberadaan jiwa yang kurang dapat menyelaraskan diri dengan lingkungan. Seperti jiwa seorang eksekutif puncak di rimba belantara properti wall streetnya Indonesia, dari puncak sebuah gedung pintar di mana jalan Sudirman dan Thamrin terlihat berkabut, dalam pesona irama salsa dan usapan penyejuk ruangan yang serasa alami, kesepian akan datang. Kepura-puraan, wajah tanpa dosa dan hati yang luka tiba-tiba saja membuat jiwa menjadi tidak tenang. Stress dan insomania adalah penyakit yang kerap menghuni raga orang-orang penting yang ekstra sibuk. Dari sebuah music player terdengar sayup-sayup Live Version [Bento] celoteh Iwan ‘Swami’ Fals soal gaya hidup “Bos Eksekutif” yang berinisial Bento.

Banyak orang, terutama dari latar sosial budaya urban sensation, yang terlanjur besar dan terbiasa dengan nikmatnya suasana crowded a’la bis kota jam tujuh pagi, hiburan Studio 21 [termasuk dengar pengamen bis kota], bertukar pikiran dalam seminar, commodity auction dan symposia; akan menderita kesepian bila tiba-tiba saja berada dalam masyarakat yang tidak bisa memuaskan keinginan lahir dan keinginan batinnya. Keterasingan kan datang menjelang, orang bila cultural shock, tetapi saya rasa lebih tepat mind-brain s[h]ock [pintar … kan! Kaos kakinya nomor berapa … ya?] Kita boleh merasakan, seseorang dengan latar pendidikan sarjana, yang cenderung ingin menggali tuntas semua hal, tiba-tiba saja mentok dengan sikap masyarakat yang terbiasa dan terlanjur berorientasi pada practical use saja.

Kesepian di kebun sangat erat hubungannya dengan kebodohan. Kondisi kebun yang terisolir, kadang dan hampir pasti, menyulitkan akses terhadap informasi. Hakekat hidup jaman sekarang, keterlambatan dalam mengadopsi informasi [baca: pengetahuan] berarti mengurangi kapabilitas pemahaman suatu hal [teknologi] bila dibandingkan masyarakat yang tidak menghadapi lingkungan serupa [baca: kota]. Bagi praktisi murni tanpa tendensi ambisi menjadi yang terbaik [baca: pimpinan masa depan], hal ini bukan masalah. Bagi saya ini merupakan masya Allah yang besar, betapa tidak? Keterlanjuran memposisikan keunggulan kompetitif diri sebagai yang lebih tahu sedikit banyak hal-hal dari pada masyarakat sekitarnya akan kehilangan dominansi, perlahan dan pasti karena faktor lingkungan.

Pola pikiran [juga pola betindak], selalu dan selalu dibebani hal-hal yang praktis, yang rutin. Ketajaman pisau analisis dibatasi ruang lingkup yang disebut tembok ‘Berlin’ etika: Itu kapling orang lain, itu bukan urusan kamu, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain. Akhirnya kita pasrah, inilah yang terlanjur dihadapi di kebun. Dua tahun menggumuli kebun, sedikit banyak menimbulkan concern akan masalah kebun, untuk improvement alias kemajuan, tetapi bila kita buat saran atau rekomendasi – mereka bilang: you are not qualified guys! Apa artinya pengalaman kerja kebun Bung? Semuanya siklikal, pengalaman 30 tahun adalah pengalaman 1 tahun yang diulang 30 kali, saya yakin, dan bila kamu cukup pintar, setengah tahun cukup untuk mengerti semuanya, dan selanjutnya yang membedakan kamu dengan mereka hanyalah usia dan kemampuan dalam aksi tipu-tipu, termasuk menipu pekerja untuk lebih efisien, menghadapi orang minta sumbangan, utusan Kodim, Camat dan Lurah, ganti rugi tanah, penduduk yang kalap dan tetek bengek lainnya.

Lalu apakah saya harus quit alias berhenti kerja, atau pasrah saja? Hakekat peningkatan kemampuan teknis [dalam rangka mengisi diri] sudah dilaksanakan dengan motivasi kuat untuk sukses sebagai calon pemimpin suatu masa pada suatu tempat, tetapi tidak imbang dengan pengembangan kemampuan manajerial – alias mentok. Energi yang terakumulasi dalam rangka mengisi diri, akhirnya bisa meledak karena outlet lebih kecil dari inlet. Semuanya rugi, terlepas apakah perusahaan menganggap karyawan sebagai asset ataukan masih sebagai hutang melulu saja [menurut persamaan akuntansi, Asset = Modal + Hutang].

Kadang kita merasa lebih pintar tentang “sesuatu” dari pada orang yang digaji [baca: dianggap] oleh perusahaan “lebih tahu.” Lalu apakah kita harus paksa perusahaan: “ente pakai gue dong, gue kan sudah lebih tahu.” Atau bahasa halusnya: “kapan saya dipromosikan pada level yang lebih tinggi?” Itu kan juga kurang etis, tentu saja bila perusahaan juga tahu diri [sebelum karyawan menganggap tidak ada lagi prospek dalam karir]. Impian akan adanya employee stock ownership program [ESOP] bagi kesejahteraan karyawanpun menjadi buram dan lenyap ketika saya bangun dari tidur-tidur ayam. Janganlah bermimpi seperti serikat karyawan United Airlines yang mampu membeli perusahaannya sejumlah US$ 4.36 milyar.

Kebodohan struktural itu menghinggapi orang dengan kadar yang berbeda. Semakin tinggi kesadarannya akan indahnya belantika dan belantara hakekat ilmu di peradaban manusia [modern], semakin tinggi derajat stressnya menghadapi teror pembodohan di kebun. Secara jelas [fungsi waktu], seorang berpendidikan, katakanlah lulus dengan yudisium dipujikan dari sebuah universitas yang merupakan center of excellence akan menjadi lebih bodoh, seiring [berbanding lurus] dengan lamanya tinggal di kebun, bila dibandingkan dengan sarjana yang tinggal di kota di mana arus informasi sangat lancar, dan dia punya akses ke arah itu.

Berapa social cost yang harus dibayar oleh seorang sarjana yang ditempatkan di kebun? Jawabannya: tidak ada! Ternyata, hampir rata, penghasilannya di bawah kawan-kawanya yang di kota. Bukankah dia sudah mengorbankan kesempatannya untuk menjadi lebih pintar demi hal-hal praktis bagi kepentingan perusahaan? Inikah sistem imbal jasa perusahaan besar [konglomerat]? Penghargaan masih didasarkan pada ketrampilan lobbying, kemampuan untuk bermental ABS alias Asal Bapak Senang, atau adanya akses pribadi terhadap atasan melalui kesamaan hobby [yang umumnya dijadikan modus operandi]. Pokoknya kalau Boss hobby tennis, dan bila bermain double harus menang terhadap pasangan lain, tetapi bila main single, cukuplah skor 6 untuk Boss, dan angka kita harus lebih kecil dari itu [baca: <]. Kebodohan atau proses pembodohan secara perlahan tapi pasti itu akan terakumulasi menjadi kemiskinan intelektual yang tercermin dengan semakin sukarnya mencerna angka-angka pada indeks Dow Jones atau Nikkei yang ada pada Asian Wall Street Journal, bahkan membaca ulasan sederhana pada The Economist atau majalah Eksekutif pun kadang-kadang terasa berat di kepala.

Keadaan ini harus diatasi. Kesepian akan saya bakar dengan hasrat dan kesibukan menulis. Ya, menulis sebuah pengalaman hidup, menulis tentang teknologi, mengembangkan ide-ide yang tidak mau diterima perusahaan itu menjadi sesuatu yang diinginkan oleh perusahaan mana saja pada tahun-tahun mendatang. Demikian cara menggugah kebodohan, untuk belajar, untuk mencapai informasi, sekaligus memerangi kemiskian intelektual.
[CATATAN: IYUNG PAHAN MENERBITKAN 2 BUKU, YAITU KIAT KEBERHASILAN BISNIS SEPANJANG MASA (2004) BERSAMA PENERBIT INDEKS DARI KELOMPOK GRAMEDIA, DAN PANDUAN LENGKAP KELAPA SAWIT (2006) BERSAMA PENERBIT PENEBAR SWADAYA].

Kita coba, kita berusaha. Semua sudah ditakdirkan, dan dengan bekal kemampuan teknis, manajerial, kepemimpinan dan business sense yang diberikan Tuhan, juga dengan common sense, kita jelang tahun-tahun mendatang, awal kebangkitan profesional muda, sesuai dengan roh dua kosong lima alias Kebangkitan Nasional 20 Mei yang telah berumur 82 tahun. Kita jelang milenium kedua Naisbitt dan Aburdene sebagai abad pencapaian tujuan kita: Profesional muda, middle class yang bukan Yuppies apalagi Snobist.

Sekian dahulu, wassalam.

Iyung Pahan

CATATAN: DALAM BEBERAPA TAHUN MENDATANG, MEMOAR YANG DITULIS 17 TAHUN YANG LALU INI MENJADI SUMBER INSPIRASI LAHIR DAN BESARNYA KONGLOMERASI KELOMPOK DHC YANG BERPUSAT DI BOGOR.

No comments: