Wednesday, May 16, 2007

Tersangka dan Tanggung Jawab Moral Perusahaan

Secara leksikal, terminologi tersangka adalah seseorang yang dengan tidak sengaja disangka melakukan sesuatu. Tidak disangka-sangka adalah sesuatu yang terjadi diluar perkiraan atau sangkaan. Tetapi menjadi tersangka dalam suatu kasus hukum adalah salah satu tahapan menjelang status terdakwa di pengadilan. Bila kelak dakwaan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka status terdakwa menjadi terpidana. Walaupun semuanya menggunakan awalan ter yang berkonotasi sesuatu yang tidak sengaja, upaya para pihak yang terlibat adalah sesuatu yang sangat direncanakan, sangat disengaja dan jauh dari upaya yang kebetulan. Walaupun bisa jadi kebetulan itu sangat jauh dari kebenaran.
Tersebutlah seorang mantan pimpinan yang karena keluguannya dan bisa jadi kenaifan (atau ketololan?), ditunjuk menjadi direktur labi-labi sebuah perusahaan yang tidak menjalankan etika bisnis dan praktik good corporate governance, akhirnya diputuskan menjadi tersangka dalam suatu kasus pidana korporasi. Karena menandatangani dokumen-dokumen perusahaan tanpa menyadari implikasi hukumnya, beliau harus berhadapan dengan penyidik sebagai seorang tersangka. Lalu tindakan apa yang harus dilakukan agar terlepas dari status korban, entah itu terkorbankan atau dikorbankan.
Kejahatan korporasi mewajibkan subyek korporasi sebagai pelaku utama dan pejabat pelaksana sebagai bagian dari subyek korporasi secara hukum. Perusahaan bukan hanya sekedar badan hukum, tetapi juga pribadi moral yang memiliki tanggung jawab sosial-moral. Perusahaan tidak semata-mata memiliki tanggung jawab legal saja. Sebabnya, pertama, sebagaimana dikatakan Milton Friedman perusahaan dalam arti tertentu adalah pribadi artifisial. Hal ini terutama karena perusahaan terdiri dari lembaga atau organisasi manusia yang kegiatannya diputuskan, direncanakan, dan dijalankan oleh manusia. Atas dasar ini, kendati perusahaan bukanlah pribadi moral dalam arti sesungguh-sungguhnya, perusahaan tetap merupakan pribadi moral artifisial. Kegiatan bisnis perusahaan adalah kegiatan yang didasarkan pada perencanaan, keputusan rasional, bebas, dan atas dasar kemauan yang diambil oleh staf manajemen. Karena itu, sesungguhnya sampai tingkat tertentu (secara analogis) perusahaan itu memiliki suara hati.
Artinya, ada kelompok orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kunci yang akan mempertimbangkan dan memutuskan segala kegiatan bisnis suatu perusahaan berdasarkan apa yang dianggap paling tepat dan benar dari segala aspek: bisnis, keuntungan (jangka pendek dan jangka panjang), hukum, dst. Mereka adalah suara batin (inner-self) perusahaan. Karena itu, sebenarnya perusahaan tetap mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Anggapan bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral sama saja dengan mengatakan bahwa kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang dijalankan oleh manusia.
Kedua, adanya anggapan bahwa tanggung jawab moral dan sosial pada dasarnya bersifat pribadi, dan hanya orang yang bersangkutan yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Dalam konteks ini, ada benarnya apa yang dikatakan Friedman bahwa para pimpinan perusahaan tidak bisa mewakili dan mengambil alih tanggung jawab sosial dan moral perusahaan.
Kondisi yang dipostulatkan oleh Friedman di atas hanya berlaku bagi mereka yang masih bisa bertanggung jawab atas tindakannya, yaitu mereka yang bertindak secara sadar, bebas, dan atas kemauannya sendiri. Namun dalam banyak kasus, misalnya seorang anak innocent melakukan sesuatu tindakan yang berakibat merugikan orang lain, tindakan tersebut tidak bisa diterima begitu saja. Dalam kasus dimana kerugian ini sangat besar dan fatal, harus ada pihak tertentu yang bertanggung jawab – tidak hanya secara legal tetapi juga secara moral (kesediaan bertanggung jawab secara legal sudah dengan sendirinya mengisyaratkan kesediaan moral untuk bertanggung jawab). Terlepas dari kenyataan bahwa tindakan tersebut terjadi tanpa disengaja atau tanpa disadari, harus ada yang bertanggung jawab atas tindakan itu. Dalam kasus ini, orang tua atau pihak yang punya otoritas atas anak tersebut mewakili anak itu untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Hal yang sama terjadi pada binatang piaraan. Ketika anjing dobberman lepas dari kandangnya dan menggigit anak tetangga, binatang itu memang tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Namun, tetap saja pemiliknya harus bertanggung jawab, tidak saja secara legal melainkan juga secara moral dan sosial atas tindakan anjing piaraannya itu.
Dengan kedua contoh di atas, hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan sebagai pribadi artifisial. Ketika perusahaan melakukan tindakan bisnis tertentu yang merugikan pihak lain (sesungguhnya merupakan tindakan ”oknum” yang ada di dalam perusahaan tsb.), mau tidak mau harus ada orang yang bertanggung jawab atas tindakan itu. Kalau tidak, manusia-manusia yang bekerja dalam perusahaan itu akan seenaknya melakukan tindakan bisnis apa saja, termasuk merugikan pihak lain tanpa mau peduli, lalu tidak mau bertanggung jawab dengan dalih perusahaan tidak memiliki tanggung jawab moral. Hal ini akan membawa pada kondisi chaos dimana semua perusahaan (baca: manusia yang bekerja di dalam perusahaan) akan saling memakan satu sama lain tanpa ada perasaan tanggung jawab atas tindakannya.
Argumen ini dapat diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa dalam segala aspek kegiatannya perusahaan diwakili oleh staf manajemen. Oleh karena itu, sah saja dalam hal tanggung jawab moral dan sosial perusahaan dapat diwakili oleh staf manajemen. Seluruh kegiatan perusahaan mulai dari perencanaan sampai implementasi (yang berarti di dalamnya sudah melibatkan aspek-aspek moral) dijalankan oleh staf manajemen. Hanya saja konsep staf manajemen ini harus membedakan direktur pengelola dengan direktur labi-labi.
Ketiga, dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa dipindahkan dari tanggung jawab moral. Oleh karena itu, kenyataan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab legal sudah menyiratkan bahwa perusahaanpun memiliki tanggung jawab moral, karena tanggung jawab legal hanya mungkin dijalankan secara serius kalau ada sikap moral untuk bertanggung jawab. Tanpa sikap moral untuk menerima tanggung jawab itu, tanggung jawab legal tidak memiliki makna apapun.
Berdasarkan argumen-argumen yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan tetap memiliki tanggung jawab moral dan sosial. Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada di tangan para manajer, maka tanggung jawab moral dan sosial dipikul oleh para staf manajemen sebagai konsekuensi logis dari pelimpahan seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan kepada para manajer. Dalam kasus pimpinan yang merupakan direktur labi-labi, tanggung jawab staf manajemen secara tidak adil dipindahkan ke direktur labi-labi yang menjadi subyek dalam konteks pelengkap penderita.
Bahkan sesungguhnya, pada tingkat operasional bukan hanya staf manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan. Seluruh karyawan memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan dimana mereka bekerja. Ketika mereka menjalankan pekerjaan dan kegiatan bisnis apapun sebagai karyawan perusahaan, mereka dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan moral atas nama perusahaan mereka. Melalui karyawan inilah tanggung jawab sosial dan moral perusahaan menemukan bentuk dan manifestasinya yang paling nyata dan transparan.
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah kepedulian perusahaan terhadap kepentingan-kepentingan pihak lain secara lebih luas daripada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Artinya dalam mengejar keuntungan, perusahaan tidak dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan pihak-pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat luas dan tax avoidance yang ilegal. Kendati secara moral perusahaan dibenarkan mengejar keuntungan sebagai kepentingan utama, keuntungan itu harus dicapai dengan tetap mengindahkan kepentingan orang banyak.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan menuntut perusahaan dijalankan dengan tetap bersikap tanggap, peduli, dan bertanggung jawab atas hak dan kepentingan banyak pihak lainnya. Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, harus ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat, dimana manusia saling membutuhkan orang lain dan ikut menyumbangkan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing demi kepentingan hidup bersama.

3 comments:

Ibu said...

Boleh di link dengan blog kami?

IYUNG PAHAN said...

Ok, go ahead Ibu.

Samuel said...

Anda Berbicara tentang CSR tapi merujuk Milton Friedman ???? contradicio in terminis bung... Lihat Garriga and Mele... Pemetaan yang bagus untuk CSR