Tuesday, April 10, 2007

Korupsi dan Konsumerisme


Setiap kejahatan korupsi yang terjadi harus memenuhi keberadaan dua unsur, yaitu adanya motif (baca: niat) dan adanya kesempatan. Unsur motif akan lebih dominan, karena tiadanya unsur kesempatan bisa diciptakan bila cukup banyak energi untuk menjalankan niat korupsi tersebut. Fokus pengendalian korupsi yang efektif sebaiknya diarahkan pada akar penyebabnya, yaitu pada zona motif ketimbang zona kesempatan.


Kecenderungan korupsi di Indonesia telah mencapai tingkatan ekstrim dengan fenomena korupsi berjamaah, dimana pimpinan secara kasat mata melakukan korupsi dan diikuti oleh bawahannya. Membaca laporan LSM Transparansi Indonesia, kondisi dekaden ini terjadi hampir merata pada seluruh pranata trias politica.


Siapakah orang kaya yang mau menggunakan milyaran rupiah kekayaannya untuk modal kampanye Pilkada, dimana jika dia terpilih hanya menerima pendapatan resmi Rp 5-10 juta per bulan. Dengan masa pengabdian 5 tahun, secara rasio ekonomi pendapatan Rp 300-600 juta adalah tidak layak. Apakah kesadaran elite politik sudah sedemikian tinggi, sehingga banyak “idealis” yang mau menjadi kepala daerah dengan niat mulia membangun kemaslahatan bangsa dan daerah, walaupun secara ekonomi harus berdarah-darah.


Seorang abdi negara (artinya dia mengabdi kepada negara), bisa saja tidak mengabdi kepada rakyat dan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam konteks ini, negara dan rakyat adalah dua tesis yang berbeda. Negara adalah kekuasaan, dan rakyat adalah obyek kekuasaan. Menjalankan pengabdian kepada negara bisa saja berupa pelaksanaan strategi tidak populer yang mengorbankan sebagian masyarakat demi menanggung defisit neraca tahun berjalan seperti pengurangan subsidi BBM. Dalam lingkup yang lebih mikro, prinsip ekonomi akan menyeret abdi negara dalam konsep investasi dan titik impas. Prinsip ekonomi adalah dengan pengorbanan minimum untuk mendapatkan kenikmatan maksimum, yaitu pendapatan yang didapatkan dari hasil kekuasaan harus lebih besar dari pengeluaran untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Ini adalah tingkat lanjutan (advanced) dari perkembangan unsur motif.


Bagian dasar dari unsur motif adalah kekuatan ekonomi yang menggerakkan media informasi meningkatkan indeks konsumerisme sehari-hari. Mulai dari bangun tidur sampai kita tidur kembali, seluruh media informasi memborbadir kita dengan informasi yang menggiurkan. Belilah produk ini. Belilah produk itu. Mereka begitu mempesona, bahkan dalam mimpipun kita masih terus tergoda menjadi konsumtif (bayangkan seperti ABG yang dicekoki film-film biru sepanjang hari, bagaimana orientasi perilaku seksual mereka?) Hal ini dapat dikonfirmasi dengan membludaknya kunjungan masyarakat pada pameran barang-barang konsumsi seperti pameran mobil, alat-alat elektronik, komputer, telepon genggam dengan sunyi senyapnya pameran mesin-mesin pabrik di Expo Kemayoran.


Memang tidak ada yang salah dengan konsumsi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun masih ditunjang oleh belanja konsumsi ketimbang investasi, tetapi konsumerisme yang berlebihan sangatlah tidak baik dan menyebabkan ketidakseimbangan arus kas pada level mikro. Strategi mengurangi konsumsi jauh lebih efektif dan mudah dilaksanakan daripada strategi meningkatkan pendapatan.

Penggunaan telepon genggam telah mencapai tipping point dengan semakin murahnya perangkat handset dan semakin murahnya kartu SIM pasca bayar. Tiba-tiba saja semua orang telah memiliki telepon genggam. Telepon genggam telah menciptakan ketergantungan, dan menciptakan konsumerisme yang mengganggu arus kas pada level mikro. Beberapa distributor nasional produk makanan akhir-akhir ini mengeluhkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat, dan menyiasatinya dengan kemasan produk yang mini. Ternyata ukuran pasar produk makanan yang secara tradisional kebal resesi telah menciut karena terjadinya perpindahan alokasi dana dari mengurangi pembelian makanan untuk membeli pulsa telepon genggam pasca bayar, utamanya untuk penggunaan SMS pada ajang variety show di televisi.
Konsumerisme akan menciptakan defisit pada transaksi neraca bulanan. Jalan pintas menutup defisit bisa dilakukan dengan berutang dari masa depan. Bahasa kasarnya adalah mengambil hak kita sebelum waktunya tiba. Dan kalau jabatan seseorang cukup strategis dan basah, maka mereka dapat merubah jabatan menjadi wahana penghasilan tambahan yang akhirnya bermuara pada korupsi.

Untuk melindungi bangsa ini supaya motif korupsinya lemah, pemerintah sebaiknya membatasi akses informasi yang berdampak pada peningkatan konsumerisme, karena motif untuk korupsi akan meningkat bila konsumerisme tidak diimbangi peningkatan pendapatan. Karena meningkatkan PDB lebih sukar, maka pilihan yang paling mudah untuk mengendalikan korupsi adalah membatasi akses informasi dan akses pembelian terhadap barang-barang mewah dan eksklusif yang tidak perlu (apa bedanya dengan melarang DVD porno yang sama-sama merusak mental masyakat). Kalau kita rajin menyimak majalah belanja dan inforial yang muncul di surat kabar, di Jakarta telah ada butik arloji eksklusif dengan koleksi terbatas yang dibuat dengan tangan. Satu unit arloji ada yang bernilai sampai 12 milyar rupiah, dan masih ada juga yang ”tega” membelinya.

Setelah unsur motif diredam, barulah penegakkan supremasi hukum dapat diadministrasikan secara sistematik untuk meminimumkan kesempatan melakukan korupsi. Tanpa melakukan ini, memberantas korupsi hanyalah jargon yang akan lekang dimakan waktu. Permasalahannya adalah maukah kita bersama-sama secara sadar dan suka rela mengurangi kenikmatan yang telah kita nikmati selama ini. Mudah-mudah tulisan ini bisa menjadi masukan untuk kita bersama.

1 comment:

Anonymous said...

Korupsi, korupsih, kroupsi, semuanya terasa real. Kentutpun sudah beraroma korupsi, apa lagi makan di Toni Romas ..., semua bulu roma merinding karenanya.