Monday, April 23, 2007

Thread Ligthly

Thread lightly begitu ringan melompat-lompat dalam irama jazz, yang begitu kentara memberikan ruang untuk improvisasi dan kesempatan untuk merefleksikan kepiawaian ancamannya. Begitulah ancaman dalam kehidupan terwujud dengan nyata dan terkadang lembut seperti air Bengawan Solo menggenangi desa dan bantaran sepanjang bengawan menuju muara. Semakin dekat dengan muara, semakin besar ancaman genangan itu karena berkolaborasi dengan pasang air laut yang bersifat siklus bulanan. Lalu kita terhenyak dan terbenam dalam lumpur, dimana analogi bernafas dalam lumpur adalah sarkasme bercampur personifikasi yang meniskalakan hidup normal sebagai suatu kemewahan.

Demikianlah perjalanan hidup suatu ketika. Suatu ketika kita menyadari thread lightly adalah sifat alamiah kehidupan manusia. Kita hidup di negeri bencana dimana satu bencana akan memicu bencana berikutnya. Demikian pula jika kita salah memasuki babak sandiwara kehidupan, dimana ketika babak pertama harus berganti dengan babak belur. Kesalahan (kalau memang bisa disebut kesalahan), akan membawa pada jalur kesalahan berikutnya. Demikianlah masalah berteman dengan masalah dalam peternakan masalah kita.

Lalu ketika kita memutuskan sesuatu yang akan kita jalani, dan ternyata rencana strategis itu hanyalah rencana yang dibangun seperti piramida kertas, dimana kesalahan dalam salah satu pasal di dalam lembar kertas itu bisa menyebabkan bisa dalam arti yang mematikan, dan perlahan-lahan kita menyadari dan melihat lembar demi lembar kertas dalam piramida kehidupan kita bertebaran jatuh berserakan. Ketika musim gugur tiba, autumn leaves adalah sumber inspirasi yang mencerahkan, dan terbukti banyak seniman yang tercerahkan dengan penasbihan karya-karya monumental tentang hikayat daun-daun berguguran.
Tetapi ketika sebagian jiwamu terikat erat dalam lembaran di atas piramida kertas, tatkala salah satu susunan kertasmu keliru kau tuliskan, maka kertas-kertas yang berguguran adalah nyeri dada bak serangan jantung koroner menanti lembar-lembar terakhirmu rontok ke lantai, seiring dengan nyeri yang semakin tajam menarik tali jiwamu dari raga yang penuh penyesalan. Tak ada keindahan dan pencerahan di sana. Yang bisa didapatkan hanyalah kesakitan dan pembelajaran. No pain no gain. Terlalu banyak kesakitan yang diderita memerlukan counterpain untuk meringankan penderitaan, meluruskan dan menata kembali otot-otot yang kusut menjadikan hidup normal kembali.

Counterpain bukanlah melulu salep yang dioles kebagian yang sakit. Counterpain ini adalah keberanian jiwa dan akal pikiran untuk melakukan langkah pengorbanan demi menggapai kemenangan akhir. Mengorbankan kenikmatan hidup demi pencapaian sesuatu yang lebih hidup adalah philosofi hidup yang sebenar-benarnya: ”Memang hidup ini susah, tetapi lebih susah lagi kalau tidak bisa hidup!” kataku sambil bersiul di dalam kabut misteri kehidupan.
Lihatlah dalam sinar bulan di malam dingin yang mencekam, kita akan menemukan jalan di balik kelap-kelip cahaya aurora di ujung sana. Waktunya tidak akan lama, sebentar lagi tibalah saatnya memanggul pelangi di atas pundak, dan membawakan semburat warna-warni keceriaan di dunia yang semakin muram. Hai, lagi-lagi hukum thermodinamika mewujudkan kebenarannya dalam teori panah waktu, entropi semakin meningkat secara spontan dengan bertambahnya waktu. Setidaknya, inilah sebagian retorika dibalik logika. Di balik entropi tersimpan wacana Tuhan akan kehidupan setelah kehidupan.

1 comment:

Anonymous said...

Kalaulah memang nasi telah jadi bubur, kan masih bisa dipanaskan kembali menjadi nasi lembek. Kalau toh tujuannya pingin makan nasi, tapi yang keluar bubur ayam yang lezat kan juga nggak salah. Kecelakaan sejarah juga nggak apa-apa koq. Ken Arok saja bisa jadi raja. Jadi apalah lagi yang membikin abang berkeluh kesah, just do it, ya memang duit!