Monday, April 16, 2007

Menyelamatkan Kejayaan Industri CPO Indonesia dari 'Ujung Tanduk'

Mulai 1 Januari 2007, Organisasi Maritim Internasional (IMO) memberlakukan Marine Pollution (Marpol) 73/78 Annex II yang mewajibkan ekspor minyak sawit mentah (CPO) memakai kapal lambung ganda (double hull). Tujuannya adalah untuk mengurangi kemungkinan pencemaran laut oleh minyak dan bahan kimia. Aturan ini sudah lama diwacanakan, “tapi tak tedeteksi” seperti pernyataan Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian Deptan pada Bisnis Indonesia 28 Desember 2006. Deptan dan pengusaha sawit baru mengetahui peraturan itu pada rapat kerja sama bilateral Malaysia-Indonesia, 1-4 Desember 2006 di Kuching, Serawak, Malaysia.
Situasi ini menyebabkan stake holder industri minyak sawit Indonesia seperti kebakaran jenggot, karena ketersediaan kapal tanker double hull hanya 40% dari jumlah armada pengangkut CPO. Selain itu biaya transportasi CPO akan naik 66,67% dari USD 27/ton (single hull) menjadi USD 45/ton (double hull). Dan akhirnya, kenaikan biaya ini harus diserap (baca: dibebankan kepada) para pengusaha dan petani sawit di sektor hulu berupa pengurangan marjin.

Terpecah-pecahnya pembinaan dan regulasi pada sistem agribisnis kelapa sawit Indonesia (SAKSI) di Deptan, Deperind, Depdag dan aspek lahan di BPN, Dephut, dan Pemda Tingkat II, dapat menyebabkan timbulnya masalah koordinasi yang berdampak pada menurunnya kejayaan industri CPO secara makro seperti kasus ekspor CPO dengan kapal lambung ganda.
Untuk menyelamatkan kejayaan industri CPO dari ‘ujung tanduk,’ dibutuhkan Dewan Komoditas seperti yang diamanahkan UU Perkebunan No. 18/2004 pasal 19 ayat 2, untuk membangun sinergi antarpelaku (subsistem) usaha agribisnis perkebunan kelapa sawit dan berfungsi sebagai wadah untuk pengembangan komoditas strategis kelapa sawit bagi seluruh stake holder-nya. Dewan Komoditas akan berkembang dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan bisnis nasional, regional dan global secara sustainable, sehingga mampu menjadi penghela ekonomi nasional yang dapat mensejahterakan para pelakunya.

Sistem Agribisnis Kelapa Sawit Indonesia (SAKSI)
Sistem agribisnis terdiri atas sub sistem kegiatan pengadaan sarana produksi (agroindustri hulu), kegiatan produksi primer (budidaya perkebunan), pengolahan (agroindustri hilir), dan pemasaran. Dengan kata lain, agribisnis adalah agroindustri + budidaya perkebunan + pemasaran.
Perkembangan SAKSI ditandai dengan semakin menyempitnya spesialisasi fungsional dan semakin jelasnya pembagian kerja berdasarkan fungsi-fungsi sistem agribisnis. Sebagian usaha agribisnis kelapa sawit Indonesia telah dikembangkan dengan orientasi bisnis untuk mencari keuntungan dengan konsep sistem agribisnis terpadu. Sayangnya, secara totalitas SAKSI saat ini belum merupakan organisasi yang berpengetahuan, karena beragamnya kualitas modal insani (human capital) yang menjadi pelaku dan penunjang keberadaan SAKSI dalam tiap subsistemnya, serta adanya fragmentasi dan disharmoni pada tataran proses antar subsistem SAKSI, perbedaan orientasi kepentingan pada tataran struktur, serta perbedaan orientasi rentang waktu pada tataran perilaku.

Untuk menyelamatkan kejayaan industri CPO Indonesia dari ’ujung tanduk,’ SAKSI harus dibangun menjadi organisasi yang berpengetahuan melalui mekanisme pembentukkan Dewan Komoditas. Dewan Komoditas adalah suatu unit sistem terkoordinasi pada empat subsistem agribisnis untuk mencapai sasaran atau serangkaian sasaran yang ditentukan. Dewan Komoditas adalah wadah yang memungkinkan masyarakat kelapa sawit Indonesia dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh tiap subsistem secara sendiri-sendiri.

Belajar dari Pengalaman MPOB
Patok duga (benchmarking, yang juga dinamakan ”patok duga praktik terbaik” atau ”patok duga proses”) adalah suatu proses yang digunakan dalam manajemen (terutama manajemen strategis), dimana organisasi mengevaluasi berbagai aspek proses bisnis untuk menghasilkan praktik terbaik di dalam industri, dengan membuat perbandingan sistematik kinerja dan proses organisasi untuk menghasilkan standar baru atau penyempurnaan proses. Model patok duga bermanfaat untuk menentukan bagaimana struktur dan kinerja Dewan Komoditas akan dibandingkan dengan organisasi yang serupa di dalam industri minyak sawit internasional seperti Malaysia Palm Oil Board (MPOB). Suatu patok duga adalah titik referensi suatu pengukuran. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan rencana pengembangan untuk mengadopsi praktik-praktik terbaik tersebut. Patok duga mungkin merupakan proses sekali-jadi, tetapi biasanya diperlakukan sebagai proses berkesinambungan dimana organisasi secara terus menerus menyempurnakan praktik-praktiknya.
Patok duga bisnis berhubungan dengan konsep continous improvement dan keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif adalah kemampuan atau kondisi organisasi yang lebih baik dari pesaingnya. Dalam konteks Dewan Komoditas, keunggulan kompetitif Indonesia adalah ketersediaan lahan yang sesuai dalam jumlah besar dan iklim yang sangat menunjang pertumbuhan kelapa sawit serta tenaga kerja yang berlimpah sehingga menyebabkan harga pokok penjualan CPO Indonesia menjadi yang termurah di dunia.
Patok duga yang dilakukan dalam upaya pengembangan Dewan Komoditas adalah patok duga fungsional dengan membandingkan proses-proses yang serupa di MPOB. Dalam konteks ini pemerintah secara sistematis sebaiknya:
  • Meningkatkan kuantitas dan kualitas modal insani dengan melakukan transformasi organisasi pendidikan umum, dengan penekanan pada aspek penalaran, penciptaan pengetahuan dan pengambilan keputusan yang akan berdampak pada ketersediaan modal insani organisasi SAKSI yang berkualitas dan lebih fleksibel

  • Melakukan transformasi organisasi SAKSI dengan membentuk Dewan Komoditas sebagai regulator dan fasilitator yang profesional dan adil antar pemangku kepentingan pada seluruh subsistem SAKSI tanpa mengorbankan salah satu subsistem, sehingga SAKSI menjadi lebih terintegrasi. Dewan Komoditas sebaiknya terdiri dari seluruh stake holders baik dari pemerintah (Deptan, Deperind, Depdag, Dephut, Depkeu), asosiasi industri (GAPKI, APKASINDO, AIMMI, APOLIN, dll.), lembaga penelitian (PPKS, BPPT, MAKSI, Peguruan Tinggi, Litbang Perusahaan Besar). Para Menteri duduk dalam Dewan secara ex-officio mewakili masing-masing Departemen Terkait, dan bersidang secara periodik (6 bulan) untuk menentukan Visi, Misi, dan Strategi. Pelaksanaan kerja harian dipimpin oleh Direktur Eksekutif yang bekerja secara profesional dan purnawaktu dengan dibantu kelengkapan pengurus harian sesuai struktur organisasi yang telah disetujui.

  • Mengkondisikan Dewan Komoditas untuk merubah budaya organisasi SAKSI melalui mekanisme organisasi pembelajaran sehingga mampu menambah luas areal tanaman dan meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit yang bertujuan untuk mengentaskan sebagian kemiskinan di Indonesia. Dewan Komoditas secara sistematis menggalang dana untuk pembinaan petani pekebun (rakyat) sehingga menjadi lebih produktif, sekaligus memfasilitasi ketersediaan benih unggul bersertifikat, dana peremajaan dan dana stabilisasi harga minyak sawit (lebih memuaskan anggotanya).

  • Penggalangan dana oleh Dewan Komoditas dapat dilakukan berupa penghapusan pajak ekspor CPO dan merubahnya menjadi menjadi potongan keuntungan eksportir hasil perkebunan (CESS) yang dikelola oleh Dewan Komoditas. Sebagai pembanding, CESS di Malaysia besarnya RM 15/ton atau sekitar USD 3.95/ton. Alokasi hasil pungutan CESS ini RM 7.25/ton untuk riset dan pengembangan melalui Palm Oil Research Institute of Malaysia – PORIM, RM 2/ton untuk promosi melalui Malaysian Palm Oil Promotion Council – MPOC, RM 1.75/ton untuk Palm Oil Registration and Licensing Authority – PORLA, dan RM 4/ton untuk Safety Net Fund (dana cadangan stabilisasi harga sawit). Artinya, seluruh hasil pungutan kembali ke industri unggulan Malaysia. Sementara akumulasi pajak ekspor CPO Indonesia sampai saat ini tidak pernah dinikmati industri minyak sawit Indonesia. Wacana penerapan CESS oleh Deptan bersamaan dengan pajak ekspor CPO jelas akan membuat industri minyak sawit Indonesia semakin meradang dan sulit bersaing dengan Malaysia.

Kebutuhan akan Dewan Komoditas
Metafora organisasi sebagai makhluk hidup adalah organisasi memiliki badan, pemikiran dan roh. Organisasi bisa lahir, tumbuh, sakit, sembuh, tua dan mati. Organisasi dapat dibuat lebih cepat, lebih pintar, lebih sehat dan lebih bermoral. Hal-hal inilah yang mendasari proses transformasi organisasi SAKSI menjadi organisasi yang berkembang.

Transformasi organisasi adalah seperti perancangan ulang bangunan secara harmonis terhadap arsitektur/kerangka organisasi secara genetik (bekerja secara simultan walaupun dengan kecepatan yang berbeda). Transformasi organisasi dapat dilakukan dengan reframe, restrukturisasi, revitalisasi, dan pembaharuan (renewal). Dalam konsep transformasi organisasi, hanya bagian yang bermasalah saja yang dirubah, sedangkan bagian yang masih baik tidak perlu dirubah. Dalam metafora kehidupan, reframe adalah otak, restrukturisasi adalah badan, revitalisasi adalah penyesuaian badan dengan lingkungan, dan pembaharuan adalah roh. Bila yang sakit adalah pikiran, maka hanya bagian otak yang diperbaiki (reframe). Bagian lain seperti tubuh dan roh tidak perlu diutak-atik.

Besarnya magnitude industri CPO menyebabkan terlalu banyak kepentingan terselubung (vested interest) dalam penentuan struktur dan proses organisasi Dewan Komoditas. Seluruh upaya yang dicurahkan untuk membentuk dan menjalankan Dewan Komoditas harus dilandasi oleh keinginan untuk membesarkan SAKSI yang secara positif memotivasi para pemangku kepentingannya untuk belajar, mencipta, beradaptasi dan berkontribusi untuk menjadikan SAKSI sebagai organisasi yang berpengetahuan dan menjadi organisasi yang berkembang.

Untuk meningkatkan efektivitas organisasi SAKSI saat ini, diperlukan intervensi pada tingkat organisasi dengan melibatkan tiga pilar utama yang dinamakan ABG (Academician, Businessmen, dan Government) untuk melaksanakan 8P (program, politik, people, planet, profit, pengelolaan, pemasaran dan penelitian). Peran utama government adalah membuat program yang tepat dengan memperhatikan keseimbangan aspek politik, people (masyarakat), planet (lingkungan hidup) dan profit dalam SAKSI, guna membuat bisnis CPO sustainable, mampu mengentaskan sebagian masalah kemiskinan dan menjadi penghela ekonomi nasional. Hal ini secara integral dilakukan oleh pemerintah dengan memfasilitasi pembentukan Dewan Komoditas. Peran businessman adalah melakukan pengelolaan dan pemasaran dengan baik sehingga program pemerintah dapat berjalan dan memberikan efek sinergi kepada SAKSI. Sedangkan peran academician adalah melakukan penelitian yang tepat guna sehingga dapat dimanfaatkan oleh para businessman untuk memperbesar skala penelitian menjadi skala industri sehingga mendapat nilai tambah yang lebih besar bagi SAKSI secara keseluruhan.

Jika transformasi Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI) menjadi Dewan Komoditas berjalan secara mulus, dan bersamaan dengan periode tersebut pangsa pasar CPO Indonesia telah melebihi Malaysia, maka kejayaan industri CPO Indonesia akan sustainable, dan tak akan ada lagi situasi-situasi di ujung tanduk yang tercipta karena lemahnya sistem agribisnis kelapa sawit kita.

No comments: