Thursday, April 19, 2007

Pembantai Virginia Tech. University

Cho Seung-Hui adalah seorang mahasiswa jurusan bahasa Virginia Tech. berusia 23 tahun yang pendiam dan pindah mengikuti orang tuanya dari Korea Selatan ke Amerika Serikat pada usia 8 tahun. Masa muda anak imigran yang orang tuanya bekerja sebagai tukang cuci di pinggiran Washington ini memberikan pemahaman dan deraan sebagai orang kebanyakan yang berkutat dengan dasar piramida masyarakat AS. Sesuatu yang dirasa kurang dalam dirinya membuatnya kalap dan ingin menghancurkan mereka yang dirasanya tidak adil karena lebih menikmati hidupnya.

Semakin lama pikirannya semakin liar dan tak terkendali menghadapi ketidakadilan hidup, dan menganggap dunia tidak berpihak kepada dirinya. “Kalian telah merusak hatiku, memperkosa jiwa dan menghancurkan keyakinanku. Kalian pikir aku hanyalah seorang anak lelaki yang lelah menjalani kehidupan yang kalian umbar. Terima kasihku untuk kalian semua, aku mati seperti Yesus Kristus, yang memberi inspirasi kepada orang-orang yang lemah dan tak berdaya,” ujar Cho di depan kamera sambil menunduk membaca manifestonya yang dikirim melalui pos ke NBC satu jam sebelum melakukan pembantaian pertama di asrama mahasiswa.

“Aku tidak ingin melakukan ini. Aku bisa pergi. Aku bisa kabur,” ujarnya. “Tapi tidak, aku tak akan menghindar lagi. Ini bukan untukku. Ini untuk anak-anakku, untuk saudara-saudaraku. …. Aku lakukan ini untuk mereka.”

Apakah gerangan yang dihindarinya? Apakah ini tangisan terakhir, jeritan minta pertolongan, atau pertunjukkan terakhir kebencian yang menggumpal? Apa yang ada di dalam batok kepala Cho sehingga dia berpikir dan membandingkan dirinya dengan Yesus? Apa yang dipikirkan dalam benaknya ketika dia menatap kamera dan meninggalkan pesan terakhirnya kepada dunia?

Remaja kesepian yang dijuluki “si tanda tanya” oleh teman-teman sekelasnya karena lebih banyak bertanya dari pada menjawab – terutama pertanyaan mengenai pembunuh, orang yang kesepian, dan delusi sebagai martir.

“Kalian memiliki ratusan juta kesempatan dan jalan untuk menghindari apa yang terjadi hari ini,” ujarnya. “Tapi kalian telah memutuskan untuk menumpahkan darahku. Kalian menyudutkanku dan hanya memberiku satu pilihan. Keputusan ini adalah pilihan kalian. Sekarang tangan kalian berlumuran darah yang tidak akan bisa tercuci selamanya.” Target kebencian Cho adalah mahasiswa Virginia Tech, dimana dia telah menembak secara membabi buta dan membantai 32 orang, sebelum membunuh dirinya sendiri pada hari Senin yang lalu (16 April 2007).

Kecemburuan sosial yang telah menjadi kecemburuan patologis itu dipicu oleh ketidakadilan yang dipendamnya. “Mercedesmu tidak cukup, kalian tidak bersyukur. Kalung emasmu tidak cukup, kalian snob. Dana perwalianmu tidak cukup. Vodka dan cognac-mu tidak cukup. Semua kenikmatan hidup kalian yang berlebihan itu juga masih belum cukup. Semua itu tidak cukup untuk memuaskan nafsu hedonistik kalian. Kalian menginginkan semuanya.” Sementara Cho, nampaknya tidak memiliki apa-apa. Dia tidak memiliki teman, tidak memiliki kehidupan kampus yang normal, dan tidak memiliki tujuan hidup.

Sungguh banyak orang-orang pinggiran yang labil dalam kehidupannya. Tanpa pegangan yang kuat, selalu ada potensi besar bagi mereka untuk tergelincir dan merubah kecemburuan sosialnya menjadi kecemburuan patologis. Ditambah dengan budaya senjata di AS yang masih terobsesi jaman koboi wild wild west, maka sempurnalah akses untuk meledakkan kecemburuan patologis tersebut menjadi aksi penembakan masal seperti pembantai Virginia Tech. Cho adalah satu dari sekian orang yang memiliki motif internal dan mengakumulasikannya dalam kegamangan hidupnya. Dan ketika dia telah melewati titik keseimbangannya, dia merasakan jiwanya tak bermakna dan tak ada lagi tujuan hidupnya. Dia ingin mati, dan ingin kematiannya menyeimbangkan apa yang dianggapnya tidak seimbang. Dia lalu terbangun pada senin pagi (16 April 2007), mengemasi senjatanya, mengisi semua amunisi, mengirimkan foto, video dan pesan terakhir lewat pos, pergi ke asrama mahasiswa dan membunuh dua orang. Satu jam kemudian, dia masuk ke ruang kuliah dan secara acak membunuh 30 orang, sebelum kemudian menembak dirinya sendiri. Cerita ini bagi Cho telah selesai dan NBC kemudian menyiarkan manifestonya. Pesan yang diinginkannya juga telah tersebar. Sekarang terpulang bagaimana kita sebagai masyarakat menyikapi hal ini: Apakah keamanan masyarakat harus diatur secara eksternal (dengan pembatasan senjata api), atau secara internal (memberikan keteduhan melalui nilai-nilai pegangan hidup sehingga membuat hidup menjadi bermakna)?

Mudah bagi kita sebagai pengamat untuk berkata-kata, karena kita tidak memiliki keterikatan emosional dengan peristiwa yang terjadi. Bagaimana dengan keluarga korban, seperti Sugiyarti (56) ibu dari Partahi Mamora Halomoan Lombantoruan (Mora) yang meninggal. “Anakku cuma sekolah, mengapa ditembak?” Matanya sembab karena terlalu banyak meneteskan air mata. Pandangan matanya menerawang, dan seusai membisikkan nama anaknya, tangis kembali tak terbendung dan air matanya jatuh berderai.

Mora adalah korban yang berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Dan kesalahan demi kesalahan itu adalah dimensi takdir yang ditentukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa untuk menyeimbangkan piramida dasar dan piramida ubun-ubun dalam masyarakat manusia. Kalau tidak ada keseimbangan homestasis di alam, apakah yang akan terjadi dengan peradaban manusia? Apa yang akan terjadi bila tidak ada perang dan kelaparan sehingga manusia semakin beranak-pinak sehingga daya dukung lingkungan semakin menurun, kualitas hidup menurun, dan manusia akhirnya menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Perang dan kelaparan adalah mekanisme besar yang diciptakan Tuhan untuk keseimbangan. Pembantaian Virginia Tech. adalah pesan untuk masyarakat AS khususnya, dan dunia umumnya, bahwa jiwa yang tercabik-cabik akan menggoyangkan keseimbangan-keseimbangan kecil untuk memperbaiki kualitas hidup manusia di masa depan. Jika jiwa yang koyak itu bersemi di dalam raga seorang yang berkuasa, maka Hitler kedua akan memporakporandakan peradaban manusia dengan pembantaian yang jauh lebih besar dan dahsyat dari pembantaian Virginia Tech.

Marilah kita kembali kepada alam spritual kehidupan kita, apapun dasar kepercayaan dan agama yang kita yakini. Inilah katup pengaman yang memberikan kepastian dalam manajemen resiko di dunia yang serba tak pasti ini. Percaya dan mempercayai adalah dua subyek yang memiliki pemahaman berbeda. Orang yang percaya adalah orang yang yakin bahwa bila buah apel dilempar ke atas maka dia akan jatuh ke bawah karena gaya gravitasi bumi. Orang yang menonton seorang ahli akrobat berjalan di atas tambang terbentang antara lantai 60 menara kembar Petronas di Kuala Lumpur, percaya bahwa dia bisa berjalan di atas tambang tersebut setelah melihatnya berjalan dari menara pertama mencapai ujung tambang di menara kedua, sebagaimana mereka percaya hukum gravitasi.

Kemudian ketika si ahli akrobat menawarkan siapa penonton yang mau naik dipunggungnya untuk kembali berjalan di atas tambang dari menara kedua menuju menara pertama, maka orang-orang tidak ada yang mau, kecuali seorang anak kecil berumur lima tahun. Anak kecil itu naik ke punggung si ahli akrobat, dan mereka berdua berjalan di atas tambang sampai kembali dengan selamat di menara pertama. Ketika anak kecil itu ditanya, mengapa dia berani naik ke punggung ahli akrobat itu, dia menjawab: ”Saya mempercayai si ahli akrobat ini, karena dia adalah ayahku. Aku meyakini bahwa sebagai ayah yang baik, dia tidak akan melibatkanku dalam suatu situasi yang akan mencelakakan aku.” Anak kecil itu telah sampai pada tahapan mempercayai, sementara para penonton lainnya hanya percaya. Inilah fenomena percaya secara kognitif (pengetahuan), tetapi belum mempercayai secara psikomotorik (ketrampilan) dan afektif (perilaku).

3 comments:

Anonymous said...

Isi tulisannya "menakutkan" dan menyebarkan aroma teror walaupun orangnya sudah mati. Bagaimana dengan bom bunuh diri di Baghdad yang membunuh lebih banyak orang? Pembunuhnya sama-sama bunug diri, koq liputannya beda ya ....
Comment dong!

IYUNG PAHAN said...

Pembom bunuh diri di Baghdad melakukannya atas nama keyakinan mati syahid sedangkan Cho melakukannya atas nama kebencian pada sistem (walaupun ia menyamakan dirinya seperti Yesus). Dua-duanya memang bunuh diri, dan memang mati. Yang perlu diwaspadai adalah pemahaman dasar keyakinan masing-masing agama, karena kalau sesuatu yang benar sekalipun(seperti obat) diberikan dalam dosis yang berlebihan dapat menjadi racun yang mematikan.

IYUNG PAHAN said...

Bagi yang mengutip blog ini mohon disebutkan sumbernya, dan tinggalkan komentar anda. Semoga bermanfaat.