Monday, April 16, 2007

Penciutan BUMN Perkebunan: Tanggapan untuk Faisal Basri

Dalam analisis ekonomi tanggal 26 Februari 2007, Faisal Basri melontarkan ide penciutan badan usaha milik negara (BUMN) perkebunan dengan membagikan perkebunan milik negara kepada rakyat sekitar dan para karyawan.

Jalan pintas likuidasi BUMN perkebunan dan membagikannya kepada rakyat adalah suatu pemikiran radikal yang perlu ditelaah kembali, baik secara akademis maupun secara kepala dingin. Bangsa kita memang hebat berargumen dalam ranah konseptual, tetapi tahapan implementasinya menyisakan banyak koridor penyimpangan, dan kita menganggapnya wajar sebagai stigma negara berkembang.

Dahulu Ayam atau Telur?
Isu penciutan BUMN perkebunan dipicu dari masalah produktivitas tanaman yang rendah. Hal ini harus menjadi pangkal kajian untuk menentukan langkah selanjutnya, sehingga tidak melebar menjadi bola salju liar yang bisa menyebabkan pembakaran seluruh lumbung padi gara-gara ingin membasmi sekelompok “tikus”.

Perkebunan pada awal perkembangannya merupakan sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem perkebunan ini dibawa oleh perusahaan kapitalis asing dan sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa (European plantation) yang sangat berbeda dengan sistem perkebunan rakyat setempat (garden system) yang bersifat tradisional dan diusahakan dalam skala kecil dengan penyertaan modal yang seadanya.
Mengelola perkebunan memerlukan kompetensi dalam pengelolaan faktor innate (genetik), enforce (lingkungan), dan induce (teknik budidaya). Resultante pengelolaan ketiga faktor di atas tercermin dari produktivitas tanaman per satuan luas tertentu. Produksi CPO/ha perkebunan kelapa sawit rakyat adalah yang paling rendah bila dibandingkan dengan perkebunan swasta maupun perkebunan negara. Bila rakyat diberikan akses untuk memiliki perkebunan negara, apakah dengan serta merta produktivitasnya dapat dipertahankan atau meningkat? Perubahan BUMN menjadi badan usaha milik rakyat (BUMR) seperti yang diusulkan Faisal Basri adalah solusi teoritis yang belum teruji pada ranah praktik. Kalau isu yang dipermasalahkan adalah produktivitas, mengapa solusinya adalah redistribusi asset? Kalau Malaysia sebagai produsen CPO dunia terbesar telah melakukan merger tiga perusahaan perkebunan Golden Hope, Kumpulan Guthrie dan Sime Darby dengan kapitalisasi USD 8.96 miliar sebagai kendaraan strategis mengatur pola pasokan CPO dunia, mengapa pembenahan BUMN perkebunan berujung dengan likuidasi. BUMN perkebunan yang harus unggul secara global (orientasi laba), dihadapkan kepada paradoks pada sisi lainnya sebagai parsel untuk rakyat (orientasi sosial).
Paradoks adalah sesuatu yang berlawanan azas, seperti menentukan dahulu ayam atau telur. Kalau sudut pandangnya adalah dahulu-ayam, maka BUMN perkebunan harus ditingkatkan produktivitasnya untuk memberikan kemaslahatan yang lebih besar melalui peningkatan laba yang meningkatkan setoran pajak. Kalau sudut pandangnya adalah dahulu-telur, maka likuidasi BUMN perkebunan dan transformasinya menjadi BUMR adalah solusi yang masuk akal. Permasalahannya adalah bagaimana kalau telur itu tidak bisa menetas menjadi ayam. Dalam konteks itu, Indonesia akan kehilangan lebih banyak produktivitas tanaman ketimbang membiarkan BUMN perkebunan seperti apa adanya sekarang ini.

Pengungkit Produktivitas
Dalam ilmu fisika terdapat kaidah pengungkit (leverage) yang menggunakan masukan minimal untuk mendapatkan keluaran maksimal. Pengungkit produktivitas bekerja dengan cara yang sama. Produktivitas BUMN perkebunan masih dapat ditingkatkan dengan biaya yang relatif kecil untuk menghasilkan unit usaha yang berdayasaing global. Solusi yang diusulkan adalah melakukan perubahan pada tingkat unit usaha dan pembentukan cluster industri.

Perubahan pada tingkat unit usaha adalah melakukan transformasi budaya BUMN perkebunan saat ini menjadi budaya BUMN perkebunan berbasis kinerja. Produktivitas kelapa sawit PTPN3 yang meraih the best CEO BUMN 2004 adalah 4.74 ton CPO/ha (2005). Angka produktivitas ini masih dibawah angka patok-duga-terbaik industri kelapa sawit Indonesia (Socfindo) yang mencapai 5.95 ton CPO/ha (2005).
Transformasi budaya BUMN perkebunan saat ini menjadi budaya berbasis kinerja memerlukan inisiatif perubahan wawasan dan struktural. Perubahan struktural dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama operasional (KSO) dengan perusahaan swasta yang memiliki kemampuan finansial dan teknis manajerial yang telah teruji. Masing-masing BUMN perkebunan dikelompokkan berdasarkan komoditas sebagai dasar melakukan KSO. Setiap kelompok komoditas dicarikan mitra KSO yang juga memiliki pengalaman di industri hilir. KSO dijalankan oleh perusahaan patungan (joint venture) yang pemegang sahamnya terdiri dari BUMN perkebunan dan perusahaan swasta pemenang tender. BUMN perkebunan tidak menjual lahan perkebunan negara, tetapi menjual opsi pengelolaan melalui KSO. Penyertaan modal BUMN perkebunan dalam perusahaan patungan diperhitungkan dari nilai lahan dan tanaman, sedangkan penyertaan modal swasta diberikan dalam bentuk modal kerja, investasi peremajaan, dan kewajiban membangun industri hilir di lokasi cluster industri yang telah disepakati. Manajemen KSO dilaksanakan oleh pihak swasta dengan memanfaatkankan seluruh sumberdaya yang tersedia. Tujuannya adalah mentransformasi budaya yang berorientasi pada kinerja ke dalam perusahaan patungan yang menjalankan KSO. Dengan cara ini produktivitas BUMN perkebunan yang di-KSO-kan akan meningkat karena perusahaan swasta akan mencari keuntungan dari peningkatan produktivitas tanaman dan nilai tambah produk industri hilir.

Penciutan BUMN dapat dilakukan dengan konsep cluster industri melalui penciptaan sinergi dalam kegiatan ekonomi dengan pengurangan biaya transportasi dan berbagai biaya overhead yang menyangkut pungutan-pungutan. Penciutan BUMN perkebunan masih valid dilakukan dengan basis komoditas dan geografis, bila dilakukan bersamaan dengan perubahan budaya perusahaan yang berorientasi pada kinerja.

1 comment:

IYUNG PAHAN said...

Pak Yosef, ini follow up diskusi kita tentang masa depan BUMN Perkebunan kita. Kalau cuma penggabungan fisik cuma akan membuat magnitude masalah. Harus ada perombakan di manajemennya, cuma kuncinya adalah level of trust yang harus balance antar-pihak, sehingga tidak seperti bertepuk sebelah tangan ... nggak bunyi tuh. Met cepat seminar hasil dan ujian.